Satu Hal
Haikal tersenyum kala melihat Ralita yang tengah duduk disampingnya saat ini.
Cantik.
Ralita selalu cantik bagi Haikal.
“Apa ih liatin terus?” Ucap Ralita yang hanya dibalas senyum singkat dari Haikal.
Duduk di bangku taman, sambil memperhatikan beberapa ekor bebek yang tengah berjalan, dengan udara sore yang sedikit sejuk. Membuat Haikal betah berada disini. Apalagi ada Ralita bersamanya.
“Ta ....” ucap Haikal membuat Ralita menoleh.
“Apa?”
“Tau gak sih?”
Ralita menggeleng.
“Gak tau.”
Haikal menoleh sekilas “Ya kan ge belum cerita.” Ucap Haikal membuat Ralita terkekeh.
“Ya kamu ngapain nanya tau atau enggak. Kan aku gatau.”
Lagi, Haikal menghela napasnya. Kemudian ia mengacap pelan pucuk kepala Ralita.
“Berantakan tau,” sambil membenarkan helaian rambut yang sedikit berantakan.
“Ta,”
“Hmm?”
“Lo tau gak?”
“Apa Haikal apa?”
“Gue sayang banget sama lo,” ucap Haikal yang kini tengah menyandarkan kepalanya pada pundak kecil Ralita.
Ralita hanya terkekeh, lalu jemarinya bergerak menggenggam jemari milik Haikal.
“Gue serius.”
“Kemarin pas ayah lo marah, gue kayak hancur banget,” ucap Haikal.
Jujur saja, ada sedikit sesak saat Haikal membicarakan ini.
“Lo tau gak sih, Ta? Sebenernya gue emang gak pantes sama lo.” Haikal berucap sambil memainkan jari mungil milik Ralita.
“Gue takut banget, gue beneran setakut itu,”
“Haikal ....”
“Satu yang selalu gue takutin, Ta.”
“Kehilangan lo.”
“Itu yang selalu gue takutin.”
Haikal lalu mengubah posisinya menghadap Ralita.
“Ta ....” ucap Haikal membuat Ralita menoleh.
Haikal tersenyum saat ia menatap wajah milik perempuannya ini.
“Cantik,” ucap Haikal yang kini tengah mengusap pelan pucuk kepala Ralita.
Tanpa sadar, Haikal memajukan wajahnya, mengikis jarak antara mereka berdua.
Kening keduanya beradu, Haikal lalu menatap lekat netra Ralita.
Seolah mengerti, Ralita hanya bisa mengangguk pelan.
Bibir mereka bertemu, lalu dengan pelan Haikal mencoba menyalurkan seluruh rasa yang ia pendam selama ini. Ralita kemudia memejamkan kedua matanya, merasakan benda kenyal itu bertemu dengan benda kenyal miliknya.
Ralita hanya bisa tersenyum pelan, merasakan semua ini dalam diamnya.
Rasanya aneh sekaligus menyenangkan.
Haikal melepaskan tautan itu, kemudian jemarinya bergerak untuk membenarkan helaian rambut Ralita yang menutupi wajahnya.
“Manis, Ta.” Ucap Haikal yang kini tengah menatap Ralita teduh.
Wajah Ralita memerah, kemudian ia menunduk.
“Jangan gitu!” Ucap Ralita yang dibalas kekehan oleh Haikal.
“Mau lagi, gak?”
Ralita menatap tajam Haikal, kemudian memukulnya pelan.
“APASIH!”
Haikal tertawa, “enggak becanda.”
“Maaf, ya?”
Ralita hanya terdiam sejenak, kemudian ia mengangguk pelan.
“Sini deh,” ucap Haikal yang kini menarik Ralita kedalam dekapannya.
“Rambut lo wangi,” ucap Haikal yang kini tengah mengendus wangi rambut milik perempuannya.
Ralita terkekeh, “Iyalah, emangnya kamu. Bau.”
“Heh! Sembarangan lo, ketek gue aja wangi!” Ucap Haikal membuat Ralita tertawa.
Haikal mengeratkan dekapan itu, seolah hanya ada dia dan Ralita disana.
Haikal menyayangi Ralita, sangat.
“Makasih, ya, Ta.”
“Makasih karena gak pernah nyerah buat ada disini sama gue,”
Ralita hanya mengangguk pelan dalam dekapan itu.
“Haikal maaf ....” gumamnya pelan, bahkan nyaris tak terdengar.