sakit

Persetan dengan keegoisan, yang Jerico mau saat ini adalah Haikal.

Lelaki itu berlari menuju kamar rawat yang dimana terdapat Haikal di dalamnya. Entah kenapa, hatinya terasa perih kala ia membaca pesan balasan dari Haikal sebelumnya.

Tak butuh waktu lama, Jerico sudah berdiri di depan pintu kamar itu, netranya berhasil menangkap Haikal yang tengah memeluk dirinya sendiri di dalam kamar ih.

Dengan ragu, Jerico membuka pintu itu, membuat netranya bertabrakan dengan netra Haikal.

“Adek ....” lirihnya.

Tatapan Haikal saat ini benar-benar terlihat sangat marah, bahkan jemarinya mengepal berusaha menahan amarah yang terus memaksa untuk keluar.

“Keluar.” Ucap Haikal sambil memalingkan pandangannya dari Jerico.

“Kel—“ belum sempat Haikal menyelesaikan kalimatnya. Jerico sudah lebih dulu mendekap tubuh rapuh itu, membuat Haikal terdiam.

Sakit.

Sakit sekali.

“Adek ....” lirih Jerico mendekap erat Haikal.

Rasanya hangat sekaligus ngilu.

Untuk pertama kalinya, Jerico berhasil mengalahkan ego yang selama ini selalu membuatnya terlihat jahat. Untuk pertama kalinya, Jerico berhasil melakukan satu hal yang selalu ia tahan. Dan untuk pertama kalinya Jerico berhasil mengutarakan kata itu langsung di hadapan Haikal.

Adik

Ia berhasil mengatakan itu setelah sekian lama.

Entah apa yang Haikal rasakan saat ini. Rasanya terlalu aneh, ia merasa hangat sekaligus sesak.

“Maaf, gue udah nyakitin lo ....” lirih Jerico.

“Lepasin gue,” ucap Haikal.

Jerico enggan melepas pelukan itu, yang ia mau hanya kata maaf dari Haikal.

“Lepasin anjing!” Umpat Haikal.

“Enggak!” Balas Jerico.

“Maafin kakak ....”

Haikal berdecih kala mendengar Jerico menyebut dirinya sebagai kakak.

“Kakak tai anjing!” Umpat Haikal.

“Lo tau gak? Sesakit apa gue, hah?!” Ucap Haikal yang masih berada pada posisi dekapan Jerico.

“Lo tau gak, gimana rasanya jadi gue? Lo tau gak anjing!” Teriaknya.

Jerico hanya terdiam sambil terus mendekap Haikal.

“Gue sakit, gue kesepian, gue gak punya siapa-siapa. GUE SENDIRIAN BANGSAT!” Teriak Haikal yang terdengar sangat menyakitkan.

“Lo tau gak gimana rasanya dipandang sebelah mata sama semua orang? Lo tau, gak? Gue sakit, gue sakit kak!” Ucap Haikal yang kini tengah terisak dalam pelukan Jerico.

“Gue emang kesalahan, kehadiran gue emang kesalahan. Tapi tolong ....”

“Tolong jangan nyakitin gue lebih jauh lagi, kak. Gue juga manusia yang bisa capek ...” Lirih Haikal.

“Gue ini enggak punya siapa-siapa, gue sendirian. GUE SENDIRIAN KAK!” Haikal kembali berteriak, mengeluarkan segala sesak yang selama ini ia tahan.

“Lo semua selalu bilang kalo gue ini kesalahan. Tapi gue juga gak pernah tahu dan gak pernah minta buat jadi kesalahan.”

“Kalau pun bisa, gue juga gak pengen kayak gini. GUE GAK PENGEN KAK, GUE SAKIT DISINI, GUE SENDIRIAN!” Lagi-lagi Haikal terisak.

Ia serapuh ini.

“Adek .... maaf ....” lirih Jerico yang juga tengah menahan tangis.

“Gue juga pengen dianggap ....”

“Gue juga pengen ngerasain gimana hangatnya keluarga. Tapi gue gak bisa, dan gak akan bis—“

“BISA! Lo adek gue, lo adek gue. Maaf, maafin gue adek, maaf ....” potong Jerico sambil berusaha meyakinkan Haikal.

“Pukul gue, ayo, pukul gue. Keluarin semua rasa sakitnya” ucap Jerico yang kini tengah merentangkan tangannya di hadapan Haikal, berharap Haikal memberinya sebuah pukulan.

“Pukul gue ...”

“Pukul gue adek. PUKUL!” Teriaknya yang juga terisak.

Haikal memalingkan pandangannya dari Jerico. Ia benci, sangat benci.

Entahlah, perasaan Haikal saat ini benar-benar tidak karuan. Disatu sisi ia benci melihat ini, tapi disisi laik ia juga ingin merasakan dekapan Jerico lagi.

Hangat rasanya.

Jerico menjatuhkan tubuhnya di hadapan Haikal. Kemudian ia terisak.

“Adek ....”

“Maaf ....”