Love is Gone

Benar saja, Haikal benar-benar pergi menemui Ralita ke kediamannya. Tidak peduli jika saat ini hujan tengah mengguyurnya.

Lihat, bahkan langit saja tiba-tiba menangis, seolah mereka ini tahu jika ada manusianya yang sedang tidak baik-baik saja.

“Ralita!” Teriak Haikal dari depan gerbang.

Sungguh, suara Haikal benar-benar terdengar sangat keras, membuat Ralita langsung beranjak untuk keluar menemuinya.

Ralita berlari, namun belum sempat ia keluar, sang Ayah menahannya.

“Masuk ke kamar, jangan keluar.” Titahnya dengan nada tegas.

“Ayah ...”

“Ayah bilang masuk, Ralita.” Lagi, sang ayah berkata lebih tegas.

“Haikal ayah .... dia kehujanan,”

“Masuk!” Ayah berteriak membuat Ralita memundurkan langkahnya dengan pelan.

Setelah berkata seperti itu, ayah melangkah keluar rumah menemui Haikal yang tengah menunggu Ralita.

“Ralita gue m—“

“Masih berani kamu nemuin anak saya?” Suara tegas itu terdengar dari balik gerbang, membuat Haikal terdiam sejenak.

“Pergi!”

“RALITA KELUAR, GUE MINTA MAAF!” Haikal berteriak, tidak peduli dengan ucapan lelaki paruh baya itu.

“RALI—“ Belum sempat Haikal menyelesaikan kalimatnya, badannya terhuyung kala ayah melayangkan sebuah pukulan pada Haikal.

“Saya bilang pergi ya pergi!”

Haikal berdecih, sambil mengelap darah yang keluar dari sudut bibirnya.

Haikal bangun, entah keberanian dari mana, ia mengabaikan eksistensi ayah Ralita disana.

“Ta, gue tau gue salah. Maaf, gue minta maa—“ lagi sebuah pukulan mendarat di wajah Haikal.

“Jangan bikin saya bertindak makin jauh!” Tegas ayah pada Haikal.

“Sudah berapa kali saya ingatkan untuk jangan bertemu Ralita!”

Haikal beranjak, kemudian ia melangkah mendekati ayah Ralita.

“Saya gak pernah sudi Ralita jatuh kepada orang seperti kamu.”

Haikal tersenyum simpul.

“Salah saya dimana om?”

“Apa karena saya anak dari wanita simpanan keluarga Haksara, iya?”

Mata Haikal memerah.

“Kamu enggak akan pernah pantas untuk putri saya.”

“Sebelum saya bertindak lebih kasar, pergi!” Ucap ayah.

“Om saya c—“

Keras baju Haikal ditarik kasar, lalu dengan tatapan marahnya. Ayah Ralita menunjuk wajah Haikal. “Pergi. Dari. Sini. Saya. Gak. Akan. Pernah. Sudi. Ralita. Bertemu. Dengan. Anak. Berandalan. Seperti. Kamu.” Ucapnya menekan setiap kata yang keluar.

Setelah itu Haikal tersungkur.

brak!

Suara bantingan pintu pagar terdengar sangat nyaring.

Lagi, Haikal berdecih. Ia kembali berdiri, tidak peduli sudah sebasah apa ia akibat air hujan yang terus berjatuhan.

Tidak peduli sesakit apa tubuh Haikal saat ini.

“SAYA BUKAN ANAK BERANDALAN!” Teriak Haikal lantang.

“SAYA INI JUGA PUNYA MASA DEPAN!” Lagi, Haikal berteriak.

Rasanya sesak sekali.

Dirinya sudah kacau.

“SAMPAI KAPAN PUN SAYA GAK BAKALAN PERNAH NYERAH!”

“RALITA!”

“GUE SAYANG SAMA LO, MAAFIN GUE RALITA!”

“TUNGGU ...”

“TUNGGU SAMPAI GUE BISA BUKTIIN KALO GUE INI JUGA LAYAK BUAT ADA DISAMPING LO!”

“RALITA GUE SAYANG SAMA LO, GUE MINTA MAAF. TA, SAMPAI KAPAN PUN GUE SAYANG SAMA LO!” Teriak Haikal sebelum akhirnya ia menjatuhkan dirinya dan terisak pelan.

Malam ini, dunianya Haikal benar-benar hancur.

Sehancur itu Haikal sampai-sampai ia tidak bisa merasakan apa-apa.

“Ta ...” lirih Haikal pelan.

“Maaf ....” lirihnya lagi.