Perihal Kepergian
Haikal beranjak dari tidurnya, tak peduli sesakit apa tubuhnya saat ini. Yang Haikal mau cuma satu, Ralita.
“Kemana heh?” Tanya Jerico yang memang tengah memainkan ponsel di samping Haikal.
“Bandara,” ucap Haikal sambil mencari hoodie miliknya.
“Ngapain adek?”
“Ralita abang, Ralita pergi,” ucap Haikal yang tengah sibuk mencari kunci motor miliknya.
Jerico berdecak, “gue anter ayo cepet.” Ucap Jerico yang diikuti Haikal dibelakangnya.
“Ah anjing,” umpat Haikal yang terlihat sangat khawatir.
“Abang cepet bang,” pinta Haikal.
Jerico menatap adiknya ini, sangat terlihat jelas bahwa sekarang banyak sekali ketakutan dimata anak ini.
Jerico menghela napasnya.
Mereka berdua langsung berangkat menuju bandara. Bilang saja Jerico gila, tapi ia benar-benar seperti hilang akal saat mengendarai mobilnya ini.
“Please jangan pergi dulu,” gumam Haikal yang terdengar jelas oleh Jerico.
Aneh, Jerico bahkan bisa merasakan ketakutan yang dirasakan adiknya ini.
Tak butuh waktu lama, mereka berdua sampai di bandara.
Haikal buru-buru turun dan berlari mencari pintu masuk penerbangan ke negara tujuan Ralita.
Lagi, ia tak peduli sesakit apa tubuhnya saat ini. Haikal berlari kesana-kemari mencari keberadaan Ralita.
Di belakanganya Jerico juga berlari mengikuti Haikal.
“Please, Ta ....” gumam Haikal.
Netranya bahkan menelisik setiap sudut tempat itu.
Ia berlari kesana-kemari, sampai akhirnya netra kecoklatan itu menangkap sosok yang sedari tadi ia cari.
Ralita disana, berdiri menunggu antrian masuk.
Dengan sekuat tenaga Haikal berlari.
“RALITA!” Teriaknya membuat beberapa orang disana termasuk Ralita menoleh pada Haikal.
Yang dipanggil benar-benar kaget, saat melihat Haikal berlari ke arahnya.
Baru saja Ralita ingin berlari pada Haikal, ayah menahannya dengan tatapan melarang.
Ralita menangis, “ayah ....”
“Sekali aja, ya? Terakhir kalinya ....” ucap Ralita yang entah mengapa dengan perlahan ayah melepaskan genggamannya.
Ralita berlari ke arah Haikal, begitupun sebaliknya.
“TA!” Teriak Haikal lagi, membuat Ralita semakin menangis.
“Haikal ....” lirih Ralita yang kini berapa di hadapan Haikal.
Tanpa aba-aba, Haikal menarik tubuh Ralita untuk masuk ke dalam pelukannya.
Ralita kemudian mendekap balik tubuh ini. Tubuh yang sebentar lagi akan ia rindukan.
“Maaf ...” lirih Ralita.
Haikal memejamkan matanya, berusaha menyalurkan ketakutannya dalam pelukan itu perihal kehilangan.
“Haikal maaf, maaf ....” lagi, ucap Ralita lirih.
Entahlah, Haikal ini rasanya seperti mati rasa, ia sangat takut, takut sekali.
Jika boleh, Haikal ingin egois. Haikal ingin melarang Ralita agar tidak meninggalkannya, Haikal ingin egois untuk kesekian kalinya.
Tapi, ini bukan tentang dirinya dan ketakutannya. Ini tentang mereka berdua.
Tidak, Haikal tidak bisa egois, meskipun dirinya selalu memaksa untuk egois, tapi ia tidak bisa.
Haikal paham, Haikal sadar, ini semua bukan keinginan Ralita, ini semua bukan kehendak Ralita.
Haikal melepas pelukan itu, kemudia ia menangkup wajah mungil milik perempuannya.
Jemarinya bergerak mengusap air mata yang membasahi wajah cantik perempuannya ini.
Demi apapun, rasanya sangat sakit.
“Jangan nangis ...” ucap Haikal tersenyum pelan.
“Lo kalo nangis jelek,” Haikal terkekeh, membuat Ralita semakin terisak.
Haikal kembali mendekap tubuh kecil Ralita.
“Enggak, jangan minta maaf. Jangan minta maaf, Ta,” ucap Haikal.
Lagi, Haikal kembali melepas pelukannya, kemudia jemarinya kembali mengusap sayang wajah Ralita.
“Maaf, ya, Ta? Karena selama ini gue gak pernah bisa ngasih yang terbaik buat lo, buat kita.”
Sesak, Haikal bahkan kesulitan untuk bernapas.
“Gue ...”
“Gue seneng bisa kenal lo, Ta.” Ucap Haikal semakin menbuat Ralita terisak.
“Gue seneng bisa ngabisin waktu sama lo, gue seneng bisa jadi bagian hidup lo, gue seneng banget, Ta.”
“Haikal ....”
Ralita menatap Haikal. Sedangkan yang ditatap menampilkan senyum tulus, yang benar-benar tulus.
“Gapapa ...” ucap Haikal tersenyum.
“Jangan nangis, gue gapapa, Ta,” ucapnya pelan.
Haikal bohong, ia berbohong.
Ia tidak baik-baik saja.
“Ta, mungkin ini jalannya. Mungkin ini yang terbaik buat kita. Gapapa, Ta, gue gapapa ....” ucap Haikal lembut.
“Janji sama gue, Ta.” Ucap Haikal.
“Janji kalo lo akan selalu bahagia disana, janji sama gue kalo lo harus baik-baik aja disana. Jangan sakit, ya?” Ucap Haikal yang kini tengah mengusap pelan pucuk kepala Ralita.
Ralita hanya terisak.
“Gue selalu sayang sama lo, Ta.” Ucap Haikal.
Ralita tiba-tiba saja mendekap Haikal, ia menggeleng pelan. Ia tidak ingin pergi, sungguh.
“Haikal ....” lirih Ralita terdengar begitu menyakitkan.
“Makasih, ya, Ta?”
“Karena lo udah ngajarin gue banyak hal, termasuk merelakan.”
“Makasih karena selalu berhasil bikin gue jatuh cinta, makasih karena lo selalu berhasil ngasih kebahagiaan walau itu kecil. Makasih, Ta. Makasih karena lo udah ngerubah hidup gue, lo hebat, Ta. Lo selalu ngajarin gue banyak hal, tentang mencintai, memaafkan, juga kehilangan.”
“Karena lo, gue jadi paham, Ta ....” ucap Haikal sambil menahan sesak.
“Karena lo, gue jadi paham. Kalau sebaik-baiknya mencintai adalah merelakan.”
“Makasih, ya, Ta. Makasih untuk semuanya,” ucap Haikal mengecup pelan pucuk kepala perempuan itu.
Lalu dengan perlahan Haikal melepaskan pelukannya.
Ia menatap netra teduh Ralita.
“Cantik, lo selalu cantik ....” ucap Haikal.
“Gih, ayah lo udah nunggu,” ucap Haikal tersenyum.
Ralita benar-benar tidak bisa mengatakan apapun selain kata maaf.
“Aku ....”
“Aku pamit, ya Kal?” Lirihnya yang dibalas anggukan kecil oleh Haikal.
Dengan pelan, Ralita melangkah pergi menjauh dari hadapan Haikal.
Lalu, dengan tangguhnya Haikal tersenyum.
Ia berhasil.
Ia berhasil merelakan kepergian.
Haikal tidak menangis, walaupun sejak tadi, rasa sesak selalu berusaha keluar.
Di sebrang sana, Ralita menoleh pada Haikal.
Haikal tersenyum sambil melambaikan tangannya pada Ralita.
Demi apapun, Haikal ini hancur, sangat hancur.
“RALITA!” Teriak Haikal sebelum daksa Ralita menghilang.
Ralita menoleh dari kejauhan.
“GUE SAYANG SAMA LO, MAKASIH BANYAK!” Teriaknya pada Ralita sebelum akhirnya Ralita menghilang dari pandangannya.
Haikal tersenyum, kemudian ia menjatuhkan dirinya. Tidak peduli jika saat ini orang-orang tengah memperhatikannya.
“Adek abang hebat ....” ucap Jerico yang kini tengah menepuk pelan pundak Haikal.
Lelaki itu menoleh, kemudia terkekeh pelan.
“Gue hebat, ya bang?” Tanya Haikal yang dibalas anggukan oleh Jerico.
“Ayo pulang,” ucap Jerico menuntun tubuh Haikal.
Ternyata akhirnya seperti ini? Haikal bahkan belum sempat menghabiskan banyak hal bersama Ralita. Rasanya terlalu singkat.
Semesta ini selalu pandai membalikan rencana. Haikal bahkan tidak pernah berpikir, jika suatu hari ini akan bertemu dengan kehilangan lagi.
Sebelum masuk ke dalam mobil, Haikal menatap langit, memperlihatkan sebuah pesawat yang tengah terbang di atasnya. Haikal menghela napasnya, kemudian ia berteriak.
“RALITA!”
“SAMPAI JUMPA DI WAKTU PALING BAIK MENURUT TAKDIR SEMESTA.”
“GUE SAYANG SAMA LO!”
Haikal berteriak dengan air yang mengalir dari pelupuk matanya.
Haikal menghela napasnya, berusaha menahan sesak yang membuncah di ruang dadanya.
“Sampai ketemu lagi kisah yang tak selesai, bahagia selalu ....” lirih Haikal.
Selamat merayakan kehilangan Haikal.