Patah
Dengan langkah cepatnya, Ralita segera bergegas menuju tempat yang diberitahukan. Saat ini ia benar-benar marah.
Tak butuh waktu lama, Ralita tiba disana. Terlihat beberapa orang yang tengah mengerubuni seseorang yang ternyata itu Haikal.
Tanpa basa-basi, ia melewati beberapa orang disana dengan amarahnya.
Netra Ralita menangkap Haikal yang tengah terduduk sambil menahan sakit dengan memar dan luka di wajahnya.
Semua orang disana menatap Ralita, kemudian perlahan menjauh seakan paham akan situasi yang tengah terjadi.
“Ngapain lagi?” Tanya Ralita datar.
Jujur Haikal sangat kaget melihat Ralita yang kini ada dihadapannya.
“Aku tanya, abis ngapain lagi? Abis bikin ulah apalagi?” Ucap Ralita dengan nada bicara yang terdengar sangat marah.
Haikal menghela napasnya, kemudian menarik Ralita agar mereka berdua menjauh dari kerumunan disana.
Setelah dirasa jauh, Haikal melepaskan genggaman tangannya pada lengan Ralita.
Lelaki itu menatap Ralita, sedangkan yang ditatap terlihat memerah.
“Abis ngapain aku tanya.” Lagi, Ralita bertanya.
Haikal menghela napasnya. “Maaf,” ucapnya menunduk.
Entah kenapa, rasanya saat ini Ralita benar-benar sangat marah pada Haikal.
“Kenapa sih, Kal?”
“Kenapa selalu kayak gin, hah?”
“Gak capek? Kamu gak capek selalu babak belur kayak gini?”
“Aku gak tau, Ta.” Ucap Haikal yang masih menunduk.
“Abis bikin ulah apalagi, Haikal?”
“Aku gak bikin ul—“ belum sempat Haikal menyelesaikan ucapanya, Ralita memotong.
“Gak usah bohong!”
“Aku gak bohong.” Lirih Haikal yang memang tengah menahan sakit akibat luka pukulan beberapa waktu lalu.
“Kamu tuh kenapa sih, Kal? Kenapa selalu bikin ulah, hah?! Udah berapa kali aku bilang buat enggak ngelakuin hal yang nyakitin kamu. Kenapa kamu selalu kayak gini? KENAPA HAIKAL!” Teriak Ralita yang kini tengah terisak.
“Gue gak ngelakuin apapun, Ta.”
“Kalo gak ngelakuin apapun kenapa bisa gini? Gak mungkin kamu tiba-tiba dikeroyok!”
Haikal menghela napasnya.
“Ta dengerin gue dulu, ya? Bukan gue yang m—“ ucapan Haikal terpotong.
“Aku gak suka, Kal.”
“Aku capek banget liat kamu kayak gini,”
Haikal terdiam.
“Capek?”
“Lo bilang capek, Ta?”
“Iya, aku capek. Aku capek liat kamu yang selalu bikin ulah kayak gini, aku cap—“
“GUE GAK BIKIN ULAH RALITA! BUKAN GUE YANG MULAI! LO DENGERIN DULU PENJELASAN GUE BISA GAK SIH?!” Bentak Haikal tiba-tiba.
“YA TERUS KENAPA BISA KAYAK GINI KALO GAK BIKIN ULAH, HAH?”
Haikal mengacak rambutnya frustasi.
“BUKAN GUE YANG MULAI, BUKAN GUE!” Lagi, Haikal berteriak.
Napas Ralita tak beraturan begitu juga Haikal. Mereka berdua sama-sama menahan amarah.
“Lo kenapa sih, Ta? Lo bahkan gak nanya keadaan gue ini baik atau enggak.”
“Kenapa lo tiba-tiba marah gak jelas. Kayak anak kecil tau gak.” Ucap Haikal sambil memalingkan pandangannya dari Ralita.
Perempuan itu menatap Haikal, “anak kecil? Kamu bilang anak kecil?”
“Aku marah gini karena aku gak suka liat kamu kesakitan Haikal. AKU GAK SUKA!”
“YA INI JUGA BUKAN KEHENDAK GUE RALITA!”
Ralita terdiam, rasanya sesak sekaligus marah melihat keadaan Haikal yang saat ini terlihat sangat kacau.
“Aku gak ma—“
“Gue juga capek, Ta. GUE CAPEK!” Lagi, Haikal mengacak rambutnya frustasi.
“Lo pikir gue mau kayak gini, hah? Enggak, Ta. Gue juga gak mau!”
“Bukan cuma lo yang capek, GUE JUGA!”
Napas Haikal tak beraturan, ia kemudian menatap Ralita.
“Ayo putus, Ta.” Ucap Haikal tiba-tiba membuat Ralita seketika terdiam.
“Haikal ....”
“Lo capek kan sama gue?Gue cuma bisa malu-maluin lo. Jadi ngapain? Ayo putus, gue juga capek.”
“Lo bahkan gak mau percaya sama apa yang gue bilang.” Ucap Haikal yang kini beranjak menjauh dari Ralita.
“Kekanakan lo, Ta.”