Pandai Bermain Peran
Haikal hanya memainkan kuku jarinya saat suara sambungan telepon terdengar. Entah apa yang ada dipikirannya saat ini. Sedih, senang, takut, resah, semuanya jadi satu.
“Halo?” Ucap Ralita dari sebrang sana.
Haikal terdiam sejenak, berusaha menenangkan pikirannya.
“Halo,” balas Haikal dengan hangat.
”Kenapa Ikal?” Ralita berbicara sangat lembut, membuat Haikal tersenyum.
Ikal
Panggilan yang selalu Haikal sukai.
“Gapapa sih, gue pengen denger suara lo aja, gak boleh emang?”
Dari sebrang sana terdengar kekehan kecil, ”ya boleh lah, kaget aja, udah lama gak nelepon”
“Lah, kemarin malem kan nelepon?” Ucap Haikal.
”Apaan, itu video call, kalo ini telepon.”
“Bedanya apa astaga,” ucap Haikal heran.
”bedanya ini mah gak bisa liat muka kamu, hahaha” Ralita tiba-tiba saja tertawa.
Mendengar tawa itu, Haikal hanya tersenyum.
“Ta,”
”Hmm?” gumam Ralita dari sebrang sana.
“Lo mau apa dari gue?”
Ralita terdiam.
“Ta?”
Terdengar suara helaan napas dari sebrang sana, ”perlu disebutin satu-satu?” tanya Ralita.
“Iyalah,” sahur Haikal.
Lagi, helaan napas terdengar.
”nih ya ....”
”mau main, mau makan, mau jalan-jalan, mau ngambil foto banyak-banyak sama kamu, mau cerita banyak-banyak sama kamu, mau stargazing, mau ke puncak, mau maskeran bareng, mau peluk, mau cium, mau dielus kepalanya sama kamu, mau liat senyum kamu, mau kamu bahagia, ma—“
“Stop,” ucap Haikal memotong ucapan Ralita.
Di sebrang sana Rakita terkekeh, “banyak, kan? Makanya jangan nyuruh nyebutin semua.”
“Ta,”
”Apa Haikal apa?”
“Ayo kabulin satu per satu,” ucap Haikal.
Ralita terdiam mendengar jawaban dari Haikal. Entahlah, tapi saat ini pikiran Ralita sangat kacau.
“Haikal,”
“Hmm?”
”Kamu mau apa dari aku?” tanya Ralita lembut.
“Apa ya ....”
“Gue mau ....”
”Apa?”
“Gue mau lo terus ada di samping gue, Ta. Udah itu aja, gue gak bakal minta apapun lagi sama Tuhan.”
Ralita lagi-lagi terdiam mendengar ucapan Haikal. Begitu pula dengan Haikal, ia pun kini sedang terdiam. Pikirannya saat ini kemungkinan tentang skenario apalagi yang akan ia hadapi nanti.
”Kal,”
”Are you ok?”
Haikal tersenyum simpul mendengar pertanyaan Ralita.
Enggak, Ta
Ingin sekali Haikal mengucapkan kata itu sekarang juga.
“Gue baik, gue ok, selalu ok.”
Bohong, Haikal berbohong.
Disebrang sana lagi-lagi Ralita menghela napas.
Ini terlalu menyesakkan.
“Gue yang nanya sekarang,”
“Lo baik-baik aja, kan?”
”Aku baik terus lah, gak liat nih kerjaan aku kalo ketemu kamu suka ketawa?” Ucap Ralita yang tanpa sepengetahuan Haikal ia kini sedang menangis.
Haikal terkekeh, “kenapa ya, Ta? Gue bisa sayang banget sama lo?”
“Lo pasti ngasih gue pelet? Rasanya gue mau gila kalo gak ada lo, hahaha”
“Ih gue jadi takut sama lo, beneran pake pelet, gak?”
“Soalnya ini rasa sayang gue ke lo gak pernah berkurang, malah bertambah, Ta. Aneh banget sumpah,” ucap Haikal tanpa henti.
“Ta ....” ucap Haikal saat ia tak mendengar jawaban dari Ralita.
”Hallo, Kal? Maaf abis ngambil minum, hehe”
Bohong, Ralita berbohong.
Haikal mengetahuinya, Ralita berbohong.
Karena sejak tadi Haikal bisa mendengar isakan kecil dari Ralita. Namun ia bersikap seolah tidak ada yang terjadi.
Mereka ini terlalu pandai.
Iya pandai. Pandai memainkan perannya masing-masing.
Pandai menyembunyikan rasanya. Pandai menyembunyikan ketakutannya. Pandai menyembunyikan keresahannya. Pandai menyembunyikan lukanya. Dan pandai bersandiwara seolah mereka ini baik-baik saja.
Mereka ini terlalu pandai memainkan peran, sampai akhirnya tidak menyadari bahwa yang mereka lakukan ini hanya akan saling menyakiti satu sama lain.
Mereka ini terlalu pandai memainkan peran, sampai akhirnya lupa, bahwa tidak seharusnya mereka bertingkah seolah semestanya ini sedang baik-baik saja. Padahal kenyataannya tidak.
Semuanya palsu, senyum mereka berdua ini palsu. Tidak ada yang baik-baik saja diantara keduanya.
Mereka ini terlalu naif untuk menyadari bahwa saat ini mereka sedang melarikan diri dari kata luka.
“Ta ....”
“Apa Haikal?”
“Makasih banyak udah jadi bagian paling indah dalam hidup gue. Gue janji gak bakal lepasin lo, mau sesulit apapun nanti kedepannya.”
“Makasih, ya, Ta?”