Jjaejaepeach

Rindu, ia terlalu merindukan lelakinya.

Hari ini merupakan hari ulang tahunnya. Sudah sejak seminggu lalu perempuan itu merancang rencana untuk merayakan ulang tahu lelaki kesayangannya.

Membeli kue, membeli baju baru, membeli hadiah, serta membeli pernak-pernik untuk ia pasangkan di ruangan itu.

Sebuah layar proyektor terpasang di hadapannya menampilkan putaran video lama yang ia simpan rapi.

Senyuman terukir di wajahnya diiringi dengan tawa kecil ketika menyaksikan putaran video itu.

Ia merengkuh tubuhnya sendiri, dadanya terasa sesak tiba-tiba, bahkan untuk bernapas rasanya sakit, seperti ada yang menusuk.

Air mata mengalir begitu saja tanpa instruksi. Tubuhnya bergetar menahan tangisan supaya tidak keluar, bahkan ia berusaha menutup mulutnya supaya tidak bersuara.

Lembaran kertas foto tergeletak berserakan di lantai sekitarnya, kemudian ia raih satu per satu. Ada yang masih utuh, ada yang sudah lusuh, dan ada juga yang sudah sobek.

“Bumi, kangen …,” gumam Senjani—perempuan itu.

Iya, perempuan itu adalah Senjani, perempuan kesayangannya Bumi. Ia sedang merayakan hari ulang tahun Bumi.

“Selamat ulang tahun Bumi Putra Langit,” gumamnya lagi.

Terdengar suara kekehan. “Selamat ulang tahun ya, meskipun usiamu sudah berhenti dan nggak bakalan bisa bertambah lagi. Tapi selamat ulang tahun, aku harap kamu sekarang ngeliat aku ya dari atas sana,” ucapnya sambil mengusap sebuah polaroid.

Senjani menatap langit-langit di ruangan itu seolah ia tengah bertatapan dengan seseorang.

“Nggak keliatan, tapi gapapa,” ucapnya diiringi tawa kecil.

“Maaf ya sekarang aku rayain ulang tahunnya sendiri dulu. Soalnya kalau ada Janu aku nggak boleh nangis,” ucapnya lagi.

Senjani menghela napasnya dalam. Ia mati-matian menahan tangisnya namun lagi-lagi gagal dan lama kelamaan tangisannya semakin keras, sulit ia tahan.

Serindu itu ia pada lelakinya.

Tangisannya terlalu keras, sampai Senjani tidak sadar jika di balik pintu ada seseorang yang sejak tadi hanya diam mendengarkan isak tangisnya.

Janu, itu adalah Janu. Ia yang sudah berada di sana enggan membuka pintu. Hanya isak tangis yang ia dengar dari balik pintu itu.

Sesak, dadanya terasa sesak.

“Masih lo ternyata yang jadi pemenangnya, Bumi,” gumam Janu.

Satu tahun?

Dua tahun?

Sepuluh tahun?

Lima puluh tahun?

Harus sampai kapan menunggu? Menunggu supaya ia jadi pemenangnya.

Bahkan sampai seribu tahun pun Janu akan tetap seperti ini. Meski bukan ia pemenangnya ia akan terus terus berada di samping Senjani. Menunggu dan mencintai seorang diri.

Janu menarik napasnya dalam. Ia lalu berusaha tersenyum. Lantas dengan berat hati, ia pun pergi dari sana, membiarkan Senjani merayakan ulang tahun Bumi, sendirian.

Sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian kecelakaan itu. Jauzan yang saat ini berada di ruang perawatan hanya bisa berbaring setelah sebelumnya ia tersadar.

Semua orang berkumpul di sana. Ada Ocean, Isya, Aciel, Jema, Jaydan, dan juga Agnes.

Ocean duduk di kursi roda dengan infusan yang masih menempel di tangannya, sebab ia juga sedang dalam perawatan.

“Sudah tahu,” ucap Jauzan melihat ke arah orang-orang.

Jaydan menghela napasnya. “Gue udah cari tau juga,” ucap Jaydan menyahut membuat Agnes dan Ocean keheranan.

“Maksudnya apa?” Tanya Ocean.

Jauzan yang masih lemas menatap Ocean dan tersenyum.

“Nggak apa, nanti sebentar lagi kamu tahu,” jawav Jauzan.

“Apasih, baru juga sadar udah main rahasia,” ketus Ocean membuat Jauzan terkekeh pelan.

“Maaf, udah bikin kalian khwatir,” ucap Jauzan lalu menatap satu persatu.

Isya—putri Jauzan, hanya bisa berdiri menahan tangisnya.

“Ayah …,” ucap Isya.

Jauzan tersenyum. “Ayah gap—“

Tiba-tiba saja Isya menangis dan memeluk Jauzan membuat Jauzan sedikit meringis.

“Ayah jangan sakit. Isya takut, takut ditinggalin Ayah. Takut Ayah ninggalin Isya kayak Bunda,” ucap Isya menangis.

Semua orang di sana terdiam, begitu juga Ocean yang perlahan mendekat dan mengusap pundak Isya.

Jauzan hanya tersenyum. “Ayah ini ada. Ayah nggak pergi. Maaf, ya,” ucap Jauzan lalu mencium puncak kepala Isya.

Aciel yang berdiri tak jauh dari sama sedikit terenyuh ketika melihat Jauzan memeluk Isya. Terasa sekali kasih sayang seorang anak.

Aciel berusaha memalingkan wajahnya menahan tangis.

Jema yang berdiri di samping Aciel melirik. Kemudian dengan iseng Jema angkat bicara.

“Om, si Ciel nangis tuh,” ucap Jema membuat Aciel segera memberikan tatapan kagetnya.

Jauzan dan Ocean menoleh pada Aciel dan benar saja matanya memerah.

“Apaan anjing nggak,” sangkal Aciel sambil memukul pundak Jema, membuat anak itu tertawa.

“Ciel,” panggil Jauzan.

“Sini …,” pintanya.

Aciel terdiam sejenak.

“Sini,” lagi, pinta Jauzan.

Perlahan Aciel mendekat kemudian Jauzan merai Aciel untuk ia bawa ke dalam pelukannya.

Lantas tanpa aba-aba air mata Aciel pun jatuh. Ia menangis tanpa suara.

Jauzan memeluk Isya dan Aciel dengan hati-hati.

Ocean yang melihat pemandangan itu lantas ikut terharu.

Jauzan melirik Ocean dan ia pun menyuruh Ocean mendekat. Dengan susah payah Jauzan mencoba merangkul tiga orang itu. Walau ia harus menahan sakit.

“Heh awas itu kaki si Jauzan patah,” sahut Jaydan. Jema berdecak.

“Ah elah, ganggu momen aja lu,” ucap Jema, membuat semua orang tertawa.

“Ela elu ela elu, gua bapak lu ye,” ucap Jaydan pada Jema dan lagi-lagi membuat semuanya tertawa.

Ocean hanya menggelang lantas ia mengusap tangan Jauzan.

Isya dan Aciel melepas pelukannya dan kembali berdiri ke tempat semula.

“Syukur, yang terjadi sama kamu gak terlalu parah,” ucap Ocean.

“Jantungny sampai sakit Mas, denger kamu kecelakaan gini,” ucap Ocean lagi.

“Maaf,” ucap Jauzan.

“Yang penting aku baik-baik aja. Aku kuat, kan ada yang harus aku jagain. Jadi Tuhan ngasih aku kekuatan buat bangun,” ucapnya tersenyum.

Jauzan kemudian menatap Jaydan. “Makasih juga Dan, udah mau bantuin dari awal sebelum ada kecelakaan ini,” ucap Jauzan.

Jaydan mengangguk.

“Bentar lagi juga kebongkar kok,” ucapnya.

Dini hari, terdengar suara pintu rumah terbuka, menampakan Agam yang berjalan perlahan memasuki rumahnya.

Agam menghela napasnya ketika melihat sekitar. Rasanya berbeda, dingin mencekam.

Lelaki itu kemudian menutup pintu dan menguncinya, perlahan ia berjalan ke arah tempat tidur Nadin—putrinya.

Sesak, rasanya sesak sekali. Apalagi ketika ia menyadari jika Nadin, putri yang ia besarkan dengan sepenuh hati, putri yang ia jaga dan rawat dengan susah payah, ternyata bukanlah darah dagingnya.

Hancur semuanya, dunia Agam rasanya sangat hancur.

Mati-matian ia bertahan, mengesampingkan egonya supaya kesalahannya perihal meninggalkan tidak terulang kembali.

Sudah mati-matian Agam mengorbankan banyak hal, namun ternyata balasannya tidak setimpal. Malah rasa sakit dan kehancuran yang Agam terima. Sebab kenyataannya, ia dikhianati.

Setelah kejadian di mana Agam mengetahui fakta ini, ia terus merenung dan menyadarkan dirinya jika memang semua hal yang ia dapatkan saat ini adalah buah dari apa yang ia tanam sebelumnya.

Ia sudah menyakiti Ocean berkali-kali, dan sekarang rasa sakit itu berbalik pada Agam.

Ingin sekali Agam mengulang waktu, namun kenyataanya tidak akan pernah bisa.

Hanya penyesalan dan rasa sakit yang tersisa.

Saat ini, Agam tengah duduk di tepian ranjang Nadin yang tengah tertidur pulas. Air matanya jatuh begitu saja. Tangannya terulur, mengusap puncak kepala anak itu.

“Maafin Ayah, ya. Maafin Bunda juga,” ucap Agam pelan.

“Maaf karena kamu harus punya orang tua seperti kami.”

Air mata Agam jatuh berkali-kali, ia tak kuasa menahan tangisnya.

Pelahan ia mencium kening Nadin dengan tulus.

“Anak Ayah, Putri kesayangan Ayah,” ucap agam lagi.

Agam mengusap wajah Nadin pelan, ia benar-benar sesak ketika lagi-lagi ia sadar, jika putri kecilnya ini bukanlah darah dagingnya.

“Selamanya kamu akan jadi putri Ayah. Meskipun nanti ke depannya Ayah gak tahu harus bagaimana,” gumam Agam kemudian ia kembali mencium kening Nadin yang tidak sedikitpun terbangun karena kehadiran Agam.

Perlahan Agam beranjak dari sana dan segera keluat menutup pintu kamar itu. Lantas setelah itu, Agam pergi menuju kamarnya, berniat membawa semua pakaian dan beberapa barang dari sana.

Tepat pukul 3 sore hari ini, seorang lelaki dengan perawakannya yang tinggi, rambut hitam legam, berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Sejak turun dari mobil, jantungnya berdetak tak karuan. Pasalnya, ia tengah berjalan menuju ruangan di mana Ocean—mantan istrinya di rawat.

Pikirannya berkecamuk, ia berusaha menyusun banyak kalimat untuk nanti ia sampaikan pada Ocean dan juga anaknya Aciel. Ia terlalu memutar otak sampai tidak sadar jika sekarang dirinya sudah sampai di tempat yang dituju.

Dari balik kaca pintu yang kecil, ia bisa melihat jika di dalam sana ada Ocean, Aciel dan juga kedua sahabat Ocean, Agnes dan Jaydan.

Agam, lelaki itu menarik napasnya dalam sebelum alhirnya ia memberanikan diri membuka pintu itu dan lantas membuat semua yang ada di sana menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka.

Semua terdiam seketika, yang tadinya ruangan itu penuh perbincangan tiba-tiba saja sunyi saat mereka menyadari kehadiran Agam di sana.

Dengan canggung, Agam melangkahkan kakinya lebih dalam, sampai baru beberapa langkah ia berhenti ketika mendengar Aciel putranya angkat bicara. “Ngapain ke sini?” Tanya Aciel dengan nada suara yang tegas.

Ocean segera meraih jemari Aciel menenangkan. “Ibu yang suruh,” ucap Ocean membuat Aciel menoleh.

“Kenap—“

“Jay, Nes, kalian keluar dulu boleh?” Pinta Ocean memotong ucapan Aciel.

Kedua orang yang dipanggil namanya itu tanpa basa-basi langsung keluar, menyisakan Agam, Aciel dan Ocean.

Agam menghela napasnya sebelum akhirnya ia memutuskan untuk duduk di ruangan itu.

Hening untuk beberapa saat. Sampai akhirnya Ocean angkat bicara.

“Jadi apa yang mau kamu obrolin, Gam?” Tanya Ocean.

Agam yang tadinya menunduk lantas menoleh pada Ocean yang duduk bersandar di ranjang rumah sakit itu, dengan infus yang masih menancap di tangan kanannya.

Agam tak langsung menjawab, ia perhatikan Ocean dalam.

Sesak, rasa sesak tiba-tiba menyeruak.

“Kenapa diem aja? Ibu nanya, Yah,” sahut Aciel kesal.

“Ayah …,” Agam menggantungkan ucapannya.

Hening.

“Kenapa?”

Agam menarik napasnya dalam. “Ayah, mau minta maaf,” ucap Agam menunduk.

Aciel berdecih mendengar ucapan Agam, sedangkan Ocean hanya terdiam.

“Ayah nggak baca ya apa yang aku bilang sebelumnya?” Tanya Aciel.

“Minta maaf sekarang itu buat apa, Yah?” Tanya Aciel lagi.

“Ayah minta maaf, minta maaf untuk semua kesalahan Ayah sama kamu, sama Ibu kamu. Ayah sadar, kalau Ayah memang buruk selama ini. Tapi Ayah gak bisa tegas sama keputusan Ayah sendiri. Maaf, maafin Ayah …,” ucap Agam.

Lagi-lagi Aciel hanya berdecih sambil memalingkan wajahnya.

“Semua kesalahan Ayah tuh yang mana aja sih, Yah?”

“Coba jabarin.”

“Kesalahan Ayah karena udah bikin masa depan Ibu hancur? Kesalahan Ayah karena udah bikin aku lahir ke dunia dan nyusahin Ibu? Kesalahan Ayah pas milih buat pisah sama Ibu? Kesalahan Ayah karena Ayah selalu jadi alasan buat rasa sakit Ibu? Kesalahan Ayah yang milih buat nikah lagi sama perempuan pilihan nenek? Kesalahan Ayah yang gak berusaha buat nyari dan ngerangkul aku? Kesalahan Ayah yang ternyata gagal milih jalan hidup? Atau kesalahan yang mana, Yah? Coba sebutin.” Aciel terus melontarkan pertanyaan pada Agam dengan wajahnya yang mulai memerah.

“Kok diem, Yah?”

Aciel terkekeh. “Yah, ngapain, sih? Emang dengan Ayah kayak gini, bisa merubah semua? Ayah bisa ngembaliin semua yang udah Ayah rusak? Gak bisa, kata maaf yang ribuan kali keluar dari mulut Ayah gak bisa ngembaliin semua yang udah Ayah rusak.”

Agam terdiam.

“Sekarang tujuan Ayah apa? Ayah datang ke sini setelah ada masalah sama rumah tanggak Ayah. Terus hubungannya sama Ibu dan Aku, apa?”

Agam menoleh pada Aciel dan Ocean bergantian.

“Ayah …”

“Ayah nyesel ninggalin kalian dan malah nurut sama semua permintaan Bunda, dulu.”

Agam tiba-tiba saja menangis.

“Ayah …”

“Ayah payah, maaf, maafin Ayah …,” lirih Agam.

“Sekarang Ayah sadar, kalau yang Ayah pilih itu salah.”

Agam beranjak dari duduknya dan mencoba mendekat pada Aciel dan Ocean, namun Aciel menolak dengan mendorong Agam menjauh.

“Di situ aja, jangan deket-deket.”

Ocean sejak tadi hanya terdiam. Semua hal menyakitkan muncul lagi di pikirannya.

“Ocean …” panggil Agam.

“Boleh kasih saya kesempatan buat perbaikin semuanya?” Tanya Agam membuat Ocean menoleh dan Aciel merasa terkejut dengan permintaan Agam.

“Apalg—“ ucapan Aciel terpotong.

“Nak, boleh Ibu bicara berdua sama Ayah?” Pinta Ocean.

Aciel hanya menghela napasnya lalu tanpa berbicara lagi ia pun keluar meninggalkan Ocean dan Agam.

Agam kini berhadapan dengan Ocean yang berada di bangsal.

“Ce, maaf,” ucapnya.

Ocean menghela napas.

“Sini, Gam,” ucap Ocean membuat Agam duduk di kursi di samping tempat Ocean.

Ocean memperhatikan Agam dalam. Semua memori perihal Agam berputar di kepalanya. Dari mulai hal menyenangkan sampai hal menyakitkan.

“Gam,” ucap Ocean, perlahan jemarinya bergerak mengusap puncak kepala Agam, membuat lelaki itu terdiam memejamkan matanya.

Usapan ini, usapan yang dulu menjadi hal kesukaan Agam.

“Kamu kurusan ya,” ucap Ocean tersenyum.

Agam membuka matanya dan melihat sebyjm itu.

Sial.

Rasa sesak, rasa bersalah, rasa rindu, semuanya bercampur satu.

Agam pikir, perasaan ini sudah menghilang, ternyata belum. Hanya tertimbun saja.

“Oce.”

“Hmm.”

“Jangan sakit …,” gumam Agam dan memberanikan dirinya mengusap wajah Ocean.

Ocean hanya tersenyjm. “Iya nggak, cuma kecapean.”

Air mata keluar, Agam menangis.

“Maaf, maafin aku …” lirihnya.

Ocean menarik napasnya dalam.

“Gam … jangan minta maaf lagi, ya?”

“Nggak capek?”

Agam terisak, ia menunduk lalu menggeleng pelan.

“Aku capek, capek banget. Jadi kamu gak perlu minta maaf lagi, ya?”

“Semua hal, semua hal baik itu yang menyenangkan atau menyakitkan sekalipun jangan diungkit lagi. Udah, ya udah cukup.”

“Aku, udah maafin kamu, semuanya udah aku maafin. Jadi aku harap kamu juga berhenti buat minta maaf atas semua hal yang berkaitan sama aku, ya?”

“Kamu gak payah, hebat kok. Kamu hebat jadi suami, walaupun bukan sama aku. Kamu juga hebat juga jadi Ayah buat anak-anak kamu. Buktinya Aciel selalu banggain kamu dari kecil,” ucap Ocean mengusap Agam yang menangis.

“Bisa nggak?” Tanya Agam.

“Apa?”

“Kasih aku kesempatan sekali lagi aja, buat perbaikin semuanya, boleh “

Ocean menatap Agam lantas ia menggeleng.

“Udah selesai, Gam. Gak ada yang perlu diperbaikin kok. Baik aku atau kamu, kita udah punya jalan masing-masing. Kamu, gak perlu berusaha memperbaiki apa yang udah rusak dan hilang di masa lalu. Karena walaupun kamu coba perbaikin, itu gak akan sama lagi. Jadi, daripada waktu kamu habis cuma buat memperbaiki yang udah terlanjur rusak dan mati, mending kamu tata kembali semua hal yang ada di depan mata. Jangan lihat aku, aku cuma bagian dari masa lalu kamu, Agam,” ucap Ocean tersenyum.

“Makasih ya karena udah berani datang ke sini.”

“Maafin aku juga karena semoat egois dan milih buat ngejauhin kamu sama Aciel.”

Ocean menarik napasnya dalam.

“Sekarang aku udah punya Jauzan. Dia, orang yang paling keras mencintai aku sekarang. Jadi aku harap, kamu paham, kalau duniaku nggak akan selalu ada buat kamu.”

Agam terdiam, rasanya terlalu sesak.

“Pulang ya? Udah aku maafin kok,” ucap Ocean lagi.

Agam mencoba menatap Ocean.

“Gak bisa, ya?”

Ocean menggeleng.

Agam menarik napasnya dalam lalu terpaksa ia mengangguk dan tersenyum.

“Maaf ya karena sudah lancang meminta kamu untuk ngasih satu kesempatan,” ucap Agam.

Agam kemudian beranjak dari duduknya dengan dadanya yang terasa sesak.

“Makasih Ocean,” ucap Agam.

“Untuk?”

“Makasih karena senyum kamu masih sama hangatnya kayak dulu,” ucapnya tersenyum.

Ocean menatap Agam.

“Aku pamit kalau gitu. Nanti kalau Aciel sudah tenang, aku bakal coba bicara lagi biar dia bisa maafin aku.”

Ocean mengangguk lalu tak lama Agam pun melangkahkan kakinya keluar meninggal Ocean sendiri di sana.

Lantas, seiiring dengan langkah kakinya Agam hanya bisa meratap dan menyesali semuanya.

Aku sudah kehilangan banyak hal. Tapi aku gak pernah sadar, kalau kehilangan kamu, aku sehancur itu ternyata.

Suasana di ruang rawat inap itu dipenuhi haru, apalagi ketika melihat Aciel yang saat ini tengah memeluk erat Ocean yang baru saja sadar setelah sebelumnya tidak sadarkan diri.

Jaydan dan juga Agnes juga ada di sana. Mereka berdua berada di samping Ocean sambil mengusap-ngusap tangan Ocean.

Aciel menangis dalam pelukan Ocean. “Ibu, maafin aku,” ucap Aciel yang sejak tadi terus saja meminta maaf pada Ocean.

Perempuan itu mengangguk dan mengusap pundak anak lelakinya.

“Maaf kalau aku udah nyakitin Ibu,” ucap Aciel lagi membuat Ocean ikut menangis.

“Sudah, nggak apa-apa. Terima kasih ya sudah pulang,” ucap Ocean memeluk erat putranya.

Ocean masih lemah, ia sekuat tenaga memeluk Aciel erat.

Aciel melepaskan pelukannya, tubuhnya sejajar dengan Ocean. Melihat air mata di wajah putranya Ocean terkekeh pelan. “Jagon Ibu kok nangis?” Tanya Ocean sambil tangannya bergerak mengusap air mata itu.

Aciel menggeleng kemudian ia juga terkekeh dan segera menunduk untuk menghapus air matanya.

Ocean tersenyum. “Terima kasih ya sudah pulang, Nak. Maafin Ibu karena saat kamu pulang, Ibu malah seperti ini,” ucap Ocean.

Aciel kembali menangis. “Jangan ninggalin aku, Bu. Kalau Ibu gak ada, aku sendirian,” ucap Aciel pada Ocean.

“Heh bocah, ada gua,” tiba-tiba saja Jaydan menimpal membuat Ocean menoleh dan terkekeh.

“Tau, gue gak dianggap apa gimana dah,” Jema juga ikut menimpal membuat Aciel menatapnya sinis.

“Hadeuh, udah-udah gak usah sedih. Ini Mak lo baru sadar ya, jangan dibikin nangis. Mak lo cengeng,” lanjut Jaydan pada Aciel.

Ocean dan Agnes hanya menggeleng.

“Ce,” panggil Agnes lantas perempuan itu memeluk Ocean erat.

Ocean tersenyun ia perlahan juga membalas pelukan itu.

Ocean baru sadar, jika di sana tidak ada Jauzan. “Nes, Jauzan di mana?” Tanya Ocean.

Mendengar itu Jaydan langsung menimpal. “Ce, Jauzan aman. Dia di ICU,” ucapnya lagi.

Ocean tiba-tiba saja menangis. “Jay, Jauzan …”

“Gapapa, Ce. Udah kita urus,” ucap Agnes.

“Maksudnya?”

“Gue tau siapa yang bikin Jauzan kecelakaan,“ ucap Jaydan.

Ocean menatap Jaydan. “Siapa?”

“Kalingga.”

Kepulan asap rokok memenuhi ruangan itu. Ada dua di dalamnya tengah bergelut dengan pikirannya masing-masing.

Langit sore ini tampak mendung, sejak pagi udara bahkan terasa dingin dan lembab. Tidak ada terik matahari yang terlihat.

“Kayaknya bakal hu-“

“KAN KATA GUE APA,” ucap Jema, lelaki yang saat ini duduk di samping Aciel.

“Orang tadi pagi juga gerimis,” jawab Aciel.

Aciel hanya menggeleng, kemudian ia lanjut menyesap rokok di tangannya.

“Jem,” panggil Aciel tiba-tiba.

“Hmm,” balas sahabatnya itu.

“Kita bentar lagi kuliah ya,” ucap Aciel membuat Jema mengangguk.

“Nanti gue kuliah di mana, ya,” ucap Aciel lagi.

Jema melirik ke arah Aciel, lantas ia mengangkat bahunya. “Mana gue tau. Bukannya lo pengen jadi dokter?”

Terdengar suara kekehan dari Aciel, kemudian tak lama ia beranjak dari duduknya dan meregangkan kedua tangannya sambil menguap. Ia lantas membuang rokoknya sembarang.

“Nggak mau,” jawab Aciel yang kini bersandar di tembok menghadap Jema.

“Lah, kenapa? tiba-tiba belok lo,” jawab Jema yang lagi-lagi membuat Acielbterkekeh.

“Gue nggak mau jadi kayak Ayah,” jawab Aciel.

“Lo paham, kan? Kenapa gue pengen jadi dokter?”

Ah, ya. Jema baru ingat. Aciel selalu mengatakan ia ingin menjadi dokter seperti Ayahnya.

“Sekarang gue gak mau. Gue gak mau jadi kayak Ayah.”

Jema menatap Aciel, ia kemudian menghela napasnya. Jema paham ke mana arah obrolan ini. Apalagi selama perjalanan Aciel menceritakan pada Jema apa yang terjadi ketika Jema menjemput Aciel ke kota Ayahnya.

“Cil,” panggil Jema.

“Jadi diri lo sendiri aja. Lo udah gede. Boleh kok lo kecewa sama keadaan. Tapi lo juga jangan jadi hilang arah, ya?”

Aciel menatap Jema.

“Hilang arah dalam artian lo kehilangan jadi diri lo akibat kejadian ini. Gue emang nggak bisa paham dan gak tau harus gimana buat bisa bikin lo baik-baik aja. Gue yakin kok, lo malah muak kalo misal gue ngomong ‘semangat’, ya, kan?”

Aciel terkekeh begitu juga Jema.

“Sekarang yang harus lo lakuin itu, bahagiain Ibu lo, ya, Cil. Jangan bikin dia kecewa.”

Jema kemudian berdiri dan juga membuang rokoknya. Lantas ia menepuk pundak Aciel.

“Semua hal yang selama ini udah Ibu lo lakuin, itu tuh karena dia pengen lo bahagia, Cil. Percaya sama gue.”

“Kalo misalkan gue jadi lo. Sedikitpun gue gak bakalan pernah berusaha buat nyari Ayah gue kalo emang posisinya gue sama kayak lo. Ya emang sih gak bisa disamain. Tapi ini kalo MISALKAN.”

“Meskipun emang mungkin ada rasa di mana gue pengen ketemu sosok Ayah. Tapi gue nggak bakalan mau. Gue mau fokus bahagiain Ibu aja yang udah ngejaga dari kecil dari pada harus nyari orang yang gak ada.”

“Ini kalo misalkan gue jadi lo ya,” ucap Jema dibarengi kekehan.

Jema kembali menghela napasnya.

“Cil. Gue sebagai anak yang dari kecil tinggal di panti asuhan. Gak tau gimana rasanya punya Ayah sama Ibu. Meskipun emang sekarang gue udah punya keluarga yang dengan tulus ngasih gue kasih sayang. Tapi jujur dalam hati kecil gue, gue juga pengen ketemu sama orang tua gue yang asli. Jadi gue cuma mau bilang, lo beruntung, seenggaknya meskipun memang keluarga lo nggak utuh, lo masih tau gimana sosok orang tua yang lo punya. Lo masih bisa ngeliat mereka, lo masih bisa interaksi sama mereka. Jadi gue harap lo nggak ngecewain orang tua lo, ya, Cil.“

Jema tersenyum dengan matanya yang mulai memerah.

“Anjing, jadinya gue pengen nangis kan,” ucap Jema tertawa.

Aciel menatap Jema kemudian ia menjitak kepala sahabatnya itu.

Aciel merentangkan tangannya membuat Jema mengerutkan dahinya.

“Ngapain?”

“Peluk?” ucap Aciel membuat Jema terkejut.

“ANJING! HAHAHA,” Jema tertawa.

Aciel tanpa basa-basi langsung menarik Jema ke pelukannya.

“Sorry ya Jem. Waktu itu gue ngomong kasar dan bikin lo sakit hati.”

Jema hanya terkekeh. “Iya, kalo deket udah gue tonjok muka lo,” jawab Jema.

Mereka lantas tertawa. Kemudian selang beberapa saat ponsel Aciel berbunyi menandakan telepon masuk kemudian ia mengangkatnya.

“IBU UDAH BANGUN!” Teriak Aciel.

Di sisi lain, Aciel dan Jema baru saja sampai di Rumah Sakit setelah menepuh perjalanan hampir 10 jam.

Jema langsung duduk di kursi ruang tunggu dekat dengan ruang rawat inap, sedangkan Aciel, anak itu buru-buru masuk ke dalam ruang rawat inap.

Tubuh Aciel terpaku ketika melihat Ocean terbaring dengan alat monitor juga infusan di tubuhnya.

Di ruangan itu ada Agnes dan juga Jaydan yang tengah tertidur.

Agnes sadar akan kehadiran Aciel lantas ia pun lamgsung bergegas memeluk Aciel.

Mata Aciel taj lepas dari Ibunya. Perlahan ia mendekat.

“Ibu …,” gumamnya.

“Ibu lagi istirahat, gapapa, Nak,” ucap Agnes pada Aciel.

Perlahan Agnes melepaskan pelukannya dan membiarkan Aciel duduk di samping Ocean.

Aciel menatap, perlahan tangannya bergerak mengusap. Lantas tak lama ia pun memeluk Ocean dari samping.

“Ibu maaf …,” lirih Aciel kemudian ia menangis pelan.

“Maaf kemarin Aciel ninggalin Ibu. Maaf Aciel sempet bentak dan marah sama Ibu.”

“Ibu bangun …,” lirih Aciel lagi.

Demi apapun rasanya sesak dan menyakitkan ketika melihat keadaan Ibunya yang seperti ini.

Seandainya saja waktu itu Aciel tidak termalan egonya sendiri. Pasti semua ini tidak akan terjadi.

Aciel menunduk menahan tangisnya yang terus saja memaksa keluar. Tiba-tiba saja ucapan sang Ayah terlintas mengenai dirinya yang merupakan anak di luar pernikahan sah.

Aciel memukul kepalanya berkali-kali.

Aciel menatap Aciel dan kembali mengusap.

“Ibu, ternyata di sini yang egois itu aku ya, Bu? Bukan Ibu.”

“Maaf, maaf seribu maaf karena aku pikir alasan Ibu buat pisah sama Ayah itu sepele.”

“Kenapa Ibu gak pernah bilang?”

Isakan terdengar. Agnes yang menyadari itu memilih membangunkan Jaydan lantas mereka berdua pun ke luar memberi ruang untun Aciel di sana.

Setelah Agnes dan Jaydan pergi, Aciel kembali menatap sang Ibu dan mengusapnya penuh sayang.

“Bu bangun … aku mau cerita banyak hal lagi,” ucap Aciel.

Sesak sangat sesak.

Isakan memenuhi ruangan itu. Aciel sudah berusaha menahannya namun rasanya tetap sakit.

“Bu …”

“Ibu malu nggak punya aku?” Tanya Aciel pada Ocean yang matanya masih terpejam itu.

Aciel menangis.

“Maafin Aciel ya Bu udah bikin hidup Ibu jadi susah karena harus ngelahirin aku, harus ngebesarin aku, aku nanggung malu karena ada aku di hidup Ibu …,” ucap Aciel yang perlahan meremat tangannya berusaha menahan sakit luar biasa.

“Ibu … bangun …,” lirih Aciel lagi.

“Ibu bakalan bangun, kan? Gak bakal ninggalin Aciel, kan, Bu?” Tanya Aciel meskipun tauu Ocean tidak akan menjawab.

Aciel memeluk Ocean kemudian mencium wajah sang Ibu penuh sayang.

“Bu, ternyata memang tempat pulang paling aman itu Ibu. Gak ada lain tempat lain selain hangatnya peluk Ibu. Bahkan di rumah Ayah yang aku pikir bakalan hangat, ternyata nggak, Bu. Di sana dingin gak sehangat kalau aku sama Ibu.”

Aciel menarik napasnya dalam.

“Aciel sayang sama Ibu. Maaf Bu maaf seribu maaf.”

“Jangan kemana-mana dulu ya Bu. Ibu harus bangun.”

“Maaf kalau aku banyak maunya.”

Aciel mengecup kening Ocean dan kembali memeluknyaa.

Sekarang ia paham. Bahwa memang tempat paling aman untuk pulang, tempat paling nyaman, dan tempat yang selalu mampu memberikan kasih sayang sebesar itu hanya Ibu.

Dan Ibu, ia akan selalu membuka pintu rumah bagi anak-anaknya.

Waktu menunjukan pukul 2 dini hari. Lelaki itu masih duduk di luar teras rumah dan menyesap rokoknya.

Sudah lama sekali ia tidak menikmati asap rokok ini. Bahkan ia sudah habis 6 batang rokok hanya dalam waktu 2 jam.

Agam menghela napasnya, kemudian tak lama ia berdiri dari duduknya dan memilih masuk ke dalam rumah.

Langkah Agam terhenti ketika melihat potret dirinya, Lestari dan juga Nadin yang terpajang. Ia menarik napasnya dalam berusaha menahan sesak yang menyeruak.

Agam kembali melangkahkan kakinya menuju kamar putrinya.

Dibukanya pintu itu perlahan, dan Agam menghampiri Nadin yang tengah tertidur pulas.

Lelaki itu duduk di tepian tempat tidur Nadin. Matanya santat fokus memperhatikan Nadin. Jemari Agam perlahan bergerak mengusap helaian rambut putrinya itu. Lalu diam-diam ia menangis.

“Nak …,” lirihnya

“Papa sayang sekali sama kamu. Kamu anak Papa, putri Papa, dunianya Papa,” ucap Agam menahan tangisnya.

Demi apapun rasanya sakit sekali.

Agam menangis dalam diam sambil mengusap dan mengecup Nadin berkali-kali.

“Papa bertahan selama ini demi kamu. Kalau aja gak ada kamu, Papa gak bakal bisa bertahan sampai sekarang, Nak,” ucap Agam lagi.

Demi Tuhan, Agam sangat menyayangi Nadin. Ia rela memberi semua hal yang ia punya di dunia ini untuk putri kecilnya ini.

Namun, dunia Agam seakan hancur ketika ia dihadapkan pada kenyataan bahwa ternyata Nadin bukan putri kandungnya.

Agam memang belum tahu kenyataannya. Tapi mendengar hal ini dunia Agam rasanya runtuh.

Kalau memang benar Nadin ini bukan putri kandungnya. Lantas untuk apa ia bertahan seperti ini?

Kalimat itu terus saja berputar di kepala Agam.

Agam kembali mencium Nadin penuh sayang.

“Maaf ya, Nak …,” gumam Agam sebelum akhirnya ia memilih pergi dan berjalan menuju kamar Aciel.

Agam menghela napasnya panjang sebelum akhirnya ia membuka pintu kamar tamu yang ditempati oleh Aciel.

Agam sedikit terkejut lantaran ia melihat Aciel masih terbangun.

Aciel yang sedang memainkan ponselnya terkejut ketika melihat Agam masuk.

“Kenapa belum tidur, Nak?” Tanya Agam menghampiri dan duduk di tepian tempat tidur.

Aciel hanya menyerengeh. “Belum ngantuk, Yah, hehe,” ucapnya.

Agam tersenyum, ia memperhatikan Aciel dalam.

Tangannya bergerak mengusap wajah Aciel penuh sayang.

“Kenapa, Yah?”

Agam menggeleng. “Gapapa,” jawab Agam tersenyum.

Aciel menatap Agam begitu juga sebaliknya.

Suasana saat ini terasa sangat berbeda. Ada sesuatu yang membuat hati Agam dan Aciel terasa ngilu.

“Yah …,” panggil Aciel.

“Hmm?”

Sebenarnya, banyak sekali pertanyaan yang ingin Aciel tanyakan pada Agam. Apalagi perihal alasan Agam menceraikan Ocean. Sebab tadi ketika Agam sedang bertengkar dengan Lestari. Aciel mendengar jika mereka menyebut nama Ocean berkai-kali. Namun setelah dipikir lagi, bukan waktunya untuk ia bertanya, alhasil ia urungkan.

Alih-alih menanyakan alasan-alasan itu. Aciel justru mengatakan.

“Boleh aku meluk, Ayah?” Tanya Aciel.

Agam terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia mengangguk dan membiarkan Aciel memeluknya.

Demi apapun, rasanya sakit sekali ketika Agam membiarkan Aciel memeluknya.

Tiba-tiba saja kejadian masa lampau terlintas. Dada Agam terasa nyeri. Apalagi ia teringat ketika Aciel masih kecil.

Seharusnya, Agam ada di sampingnya. Menemani Aciel tumbuh sampai sebesar ini.

Seandainya saja Agam tahu, seandainya dulu Agam tidak gegabah. Mungkin ia tidak akun hancur seperti ini.

Dalam pelukan itu Agam menangis tanpa suara.

“Ayah …,” ucap Aciel.

“Aku nggak pernah tau gimana sosok Ayah selama ini, karakter Ayah, diri Ayah, semua hal tentang Ayah, aku gak tau. Tapi aku boleh nggak bilang ini?”

Dalam pelukan itu Agam mengangguk. “Boleh, apa?”

“Aku sayang Ayah …,” ucap Aciel yang juga menahan tangisnya.

Mendengar itu perasaan sakit yang tengah ia tahan perlahan terasa semakin menyakitkan.

Aciel bisa merasakan jika Agam menangis.

“Maafin Ayah, ya, Nak …,” gumam Agam.

Lagi-lagi kesalahan-kesalahan yang dulu Agam lakukan kepada Ocean dan Aciel terlintas.

Bisa-bisanya ia melepaskan dua orang yang mencintainya tulus.

Dan sekarang, ketika Agam pikir hidup yang ia jalani sekarang dipenuhi ketulusan, nyatanya salah. Semuanya salah.

Palsu. Semua cinta yang Agam dapatkan hanya omong kosong.

Bodoh, Agam bodoh.

Suara teriakan dan tangisan memenuhi ruangan itu. Amarah yang meluap-luap, mata yang memerah, benar-benar menguasai Agam.

Di hadapan lelaki itu ada Lestari yang tengah duduk di tepian tempat tidur sambil menangis.

Napas Agam tak karuan, dadanya terasa rasanya sesak seperti dihantam ribuan batu.

“Bilang sama aku, BILANG!” Teriak Agam.

“Mas …”

“Sumpah, Mas. Aku gak tau sama sekali. Yang dia bilang itu gak bener, Mas percaya aku,” ucap Lestari pada Agam sambil berusaha merain tangannya.

“Nadin anak aku atau bukan?” Tanya Agam.

Lestari mengangguk dengan tangisannya.

“Anak aku atau bukan?”

Lagi-lagi Lestari mengangguk.

“Tes DNA, biar aku urus semuanya,” ucap Agam kemudian ia berbalik.

Namun belum sempat Agam meninggalkan ruangan itu, Lestari menariknya dan berteriak.

“MAS!”

“NGAPAIN TES DNA SAMA ANA SENDIRI, HAH?”

“KAMU GAK PERCAYA?”

“YA TUHAN …”

Lestari menangis sangat kencang.

“DIA ANAK KAMU MAS!”

“Bisa-bisanya gak percaya sampai mau tes DNA. Dia anak kamu Mas,” jelas Lestari lagi meyakinkan Agam.

“Terus ngapain Jauzan bilang dia bukan anak aku? Ngapain juga dia bilang kamu punya laki-laki lain.”

“KALO EMANG GAK TAU APA-APA NGAPAIN DIA SAMPAI DM KAMU KAYAK GITU, HAH?!”

“AKU GAK TAU!” Lestari balik berteriak pada Agam.

Agam memijat keningnya lalu ia berbalik dan kemudian memukul tembok.

“ANJING SEMUANYA ANJING!” umpat Agam.

Ia menatap Lestari dengan cukup lama.

“Mana hp kamu?” Tanya Agam tiba-tiba.

“Ngapain?”

“Mana?”

“Ya mau ngapain?”

“MANA?!” Kesabaran Agam habis, lantas ia berjalan mencari ponsel milik istirnya itu.

“MAS!” Teriak Lestari ketika Agam berhasil menemukan ponselnya. Buru-buru ia membuka ponsel Lestari.

Lestari berusaha meraih ponselnya.

Sampai tiba-tiba saja Agam terdiam dan menatap Lestari penuh Amarah.

“Ini apa?” Tanya Agam ketika ia memperlihatkan sebuah foto.

Lestari terpaku.

“Jawab.”

“INI APA?!” Teriak Agam lagi.

“ANJING!” Agam membanting ponsel Lestari sampai layarnya pecah.

Lestari terdiam tidak bisa membela diri.

Agam berkali-kali memukul kepalanya, rasanya sesak.

“Demi Tuhan, selama ini aku nyoba percaya sama kamu. Tapi ini apa? INI APA HAH?!” Teriak Agam lagi.

“BERTAHUN-TAHUN AKU NYOBA BERTAHAN SAMA KAMU. BERTAHUN-TAHUN AKU NYOBA NUMBUHIN RASA AKU BUAT KAMU. TAPI BALESAN KAMU APA, HAH?!”

“Mas ….” Lirih Lestari mencoba meraih Agam.

“Itu salah paham.”

“SALAH PAHAM APANYA. DIPIKIR AKU TOLOL!”

Agam menarik napasnya dalam. “Selama ini aku bertahan, mati-matian aku bela kamu demi Nadin. Mati-matian aku bertahan sama kamu supaya Nadin gak ngerasain apa yang aku lakuin ke Aciel. BERTAHUN-TAHUN AKU BERTAHAN!”

Lestari menggeleng, ia menangis.

“Mas sumpah,” ucap Lestari.

“Aku habisin waktu aku cuma buat mertahanin kamu. Ratusan kali aku nyoba buat ngilangin perasaan aku buat Ocean demi kamu, demi Bunda. BALESANNYA KAYAK GINI!”

“Kenapa, sih? KENAPA?!” Teriak Agam seperti orang gila yang kehilangan akal.

Agam menjatuhkan tubuhnya dengan tangis dan amarah.

Lestari bergerak berusaha mendekati Agam.

“Selama ini aku tuh buat kamu apa, Tar?”

“Aku pikir setelah semua yang kamu lakuin buat mertahanin aku itu bener. Aku pikir semua yang udah kamu korbanin demi aku itu nyata. Tapi palsu, ya?”

Agam terkekeh. “Bodoh banget ya, Tar? Selama ini aku udah mati-mati nyoba perbaikin kesalahan yang pernah aku lakuin ke Ocean supaya gak keulang lagi. Supaya Nadin gak ngerasain gimana rasanya orang tua yang pisah. Mati-matian juga aku numbuhin rasa aku buat kamu. Nyoba nerima semua tentang kamu selama ini.

“Masih kurang?”

“MASIH KURANG?!” Teriak Agam.

“GILA YA DEMI TUHAN!” Teriak Agam lagi.

Agam segera berdiri menghindari Lestari. Sedangkan perempuan itu menangis.

“Sampai semuanya kebukti bener, liat aja.”

“BRENGSEK!” umpat Agam lagi sambil menutup pintu dengan keras.

Lalu ketika Agam keluar dari kamar itu, ia berpapasan dengan Aciel yang tengah berjalan dari arah dapur.

Agam menghela napasnya. “Tidur gih,” ucap Agam yang menghampiri Aciel kemudian mengusap kepalanya.

Terlihat jelas wajah Agam yang memerah dan sembab.

“Ayah …,” panggil Aciel.

“Gapapa?”

Agam tersenyum kemudian ia mengangguk. “Ayah gapapa. Udah tidur sana udah jam dua belas,” ucap Agam kemudian memeluk Aciel sekilas sebelum akhirnya Aciel mengangguk dan pergi ke kamarnya.

Waktu menunjukan pukul 7 malam. Di rumah itu hanya ada dirinya dan juga Nadin yang sedang menonton televisi. Sedangkan Aciel bermain ponsel di dekat Nadin.

Aciel melirik jam, ia kemudian menghela napasnya. Aciel bosan.

Aciel melirik ke arah Nadin, yang tengah asik menonton televisi sambil memainkan boneka kesayangannya.

Nadin sadar jika Aciel memperhatikannya. “Kenapa kok liatin Nadin?”

Aciel terkekeh, cara bicara Nadin lucu pikirnya. “Gapapa, seru banget nonton tvnya,” ucap Aciel membuat Nadin mengangguk.

“Boleh Kakak duduk di deket Nadin, gak?” Tanya Aciel membuat Nadin mengangguk.

Aciel segera pindah setelah mendapat persetujuan dari Nadin, lantas ia menciumnya.

Aciel dan Nadin kini mengobrol, bahkan mereka tertawa bersama.

“Ih sebentar mau minum susu dulu,” ucap Nadin yang kemudian segera turun dari sofa.

Namun baru saja ia turun, ketika melangkan Nadin terjatuh sebab ia tak sengaja menginjak kaki Aciel.

Nadin terjatuh cukup keras membuat Aciel terkejut.

Nadin menangis, buru-buru Aciel menggendongnya.

“Bunda!” Teriaknya menangis dalam gendongan Aciel.

“Mana yang sa—“

“NADIN KENAPA?!” Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan dari arah belakang Aciel dan ternyata itu Lestari.

Melihat Nadin menangis, buru-buru Lestari menggendong Nadin dan mendorong Aciel.

“KAMU NGAPAIN BIKIN NADIN NANGIS?” Tanya Nadin berteriak dengan wajahnya yang memerah.

Aciel mengangkat sebelah alisnya.

“Dia jatuh sendiri, bukan aku yang bikin nangis.”

“Udah awas, awas. Bikin celaka anak saya aja,” ucap Lestari dengan amarahnya.

“Bisa gak, jangan bikin onar di rumah orang?!” Tanya Lestari lagi.

“LIAT ANAK SAYA JADI JATUH GINI!”!

“Lah orang bukan salah aku,” ucap Aciel membela diri.

“Dia yang—“

Belum sempat Aciel menyelesaikan kalimatnya. Lestari tiba-tiba menangis dan berjalan menghampiri Agam yang ternyata baru saja pulang.

“Mas, liat Nadin jatuh, aku kaget banget, Mas,” ucap Lestari menangis sambil menggendong Nadin.

Agam terlihat panik, apalagi mendengar tangisan Nadin putrinya.

“Mana yang sakit, Nak? Kok bisa?”

“Dia keple—“

“Tadi dia lagi main sama Aciel, terus pas aku dateng Nadin udah nangis. Aku gak ngerti lagi kenapa bisa kayak gini,” ucap Lestari lagi.

“Dia kepleset, Yah. Kena kaki aku. Mana aku tau di bakal jatuh,” ujar Aciel membela diri.

Lestari menatap Aciel. “Udahlah, gak usah banyak alasan. Liat Mas, anakmu itu bikin Nadin kesakitan.”

Agam menghela napasnya, ia sangat lelah sebab tadi di klinik pasien yang datang lebih banyak dari biasanya.

Agam menatap Aciel.

“Nadin digimanain sama kamu?” Agam bertanya.

Aciel terdiam, ia benar-benar terkejut dengan respon Agam.

“Lah, Yah. Kan udah aku bilang. Dia kepleset,” jelas Aciel.

“Bohong Mas,” sambung Lestari.

“Apa deh Tan, kok bohong. Nyatanya emang gitu.”

“Kamu kalau gak suka sama Saya bilang, jangan malah nyakitin anak saya.”

“Udah cukup,” ucap Agam memijat keningnya.

“Minta maaf sama Nadin, Ciel,” ucap Agam tiba-tiba.

Mendengar itu Aciel lantas mengerutkan keningnya. Kenapa harus dirinya yang minta maaf?

“Ayah gak percaya, aku?”

“Ya emang ini salah kamu,” sahut Lestari.

Aciel menatap Agam. Tatapannya sulit diartikan. Lantas tanpa basa-basi Aciel memilih berbalik arah ke kamarnya.

“Ngapain minta maaf orang gak salah.”

“ACIEL!”

“Terserah,” ucap Aciel yang langsung masuk ke kamarnya dan menutup pintunya dengan keras.

“Anjinglah,” umpat Aciel di dalam kamar.