Sia-sia

Suara teriakan dan tangisan memenuhi ruangan itu. Amarah yang meluap-luap, mata yang memerah, benar-benar menguasai Agam.

Di hadapan lelaki itu ada Lestari yang tengah duduk di tepian tempat tidur sambil menangis.

Napas Agam tak karuan, dadanya terasa rasanya sesak seperti dihantam ribuan batu.

“Bilang sama aku, BILANG!” Teriak Agam.

“Mas …”

“Sumpah, Mas. Aku gak tau sama sekali. Yang dia bilang itu gak bener, Mas percaya aku,” ucap Lestari pada Agam sambil berusaha merain tangannya.

“Nadin anak aku atau bukan?” Tanya Agam.

Lestari mengangguk dengan tangisannya.

“Anak aku atau bukan?”

Lagi-lagi Lestari mengangguk.

“Tes DNA, biar aku urus semuanya,” ucap Agam kemudian ia berbalik.

Namun belum sempat Agam meninggalkan ruangan itu, Lestari menariknya dan berteriak.

“MAS!”

“NGAPAIN TES DNA SAMA ANA SENDIRI, HAH?”

“KAMU GAK PERCAYA?”

“YA TUHAN …”

Lestari menangis sangat kencang.

“DIA ANAK KAMU MAS!”

“Bisa-bisanya gak percaya sampai mau tes DNA. Dia anak kamu Mas,” jelas Lestari lagi meyakinkan Agam.

“Terus ngapain Jauzan bilang dia bukan anak aku? Ngapain juga dia bilang kamu punya laki-laki lain.”

“KALO EMANG GAK TAU APA-APA NGAPAIN DIA SAMPAI DM KAMU KAYAK GITU, HAH?!”

“AKU GAK TAU!” Lestari balik berteriak pada Agam.

Agam memijat keningnya lalu ia berbalik dan kemudian memukul tembok.

“ANJING SEMUANYA ANJING!” umpat Agam.

Ia menatap Lestari dengan cukup lama.

“Mana hp kamu?” Tanya Agam tiba-tiba.

“Ngapain?”

“Mana?”

“Ya mau ngapain?”

“MANA?!” Kesabaran Agam habis, lantas ia berjalan mencari ponsel milik istirnya itu.

“MAS!” Teriak Lestari ketika Agam berhasil menemukan ponselnya. Buru-buru ia membuka ponsel Lestari.

Lestari berusaha meraih ponselnya.

Sampai tiba-tiba saja Agam terdiam dan menatap Lestari penuh Amarah.

“Ini apa?” Tanya Agam ketika ia memperlihatkan sebuah foto.

Lestari terpaku.

“Jawab.”

“INI APA?!” Teriak Agam lagi.

“ANJING!” Agam membanting ponsel Lestari sampai layarnya pecah.

Lestari terdiam tidak bisa membela diri.

Agam berkali-kali memukul kepalanya, rasanya sesak.

“Demi Tuhan, selama ini aku nyoba percaya sama kamu. Tapi ini apa? INI APA HAH?!” Teriak Agam lagi.

“BERTAHUN-TAHUN AKU NYOBA BERTAHAN SAMA KAMU. BERTAHUN-TAHUN AKU NYOBA NUMBUHIN RASA AKU BUAT KAMU. TAPI BALESAN KAMU APA, HAH?!”

“Mas ….” Lirih Lestari mencoba meraih Agam.

“Itu salah paham.”

“SALAH PAHAM APANYA. DIPIKIR AKU TOLOL!”

Agam menarik napasnya dalam. “Selama ini aku bertahan, mati-matian aku bela kamu demi Nadin. Mati-matian aku bertahan sama kamu supaya Nadin gak ngerasain apa yang aku lakuin ke Aciel. BERTAHUN-TAHUN AKU BERTAHAN!”

Lestari menggeleng, ia menangis.

“Mas sumpah,” ucap Lestari.

“Aku habisin waktu aku cuma buat mertahanin kamu. Ratusan kali aku nyoba buat ngilangin perasaan aku buat Ocean demi kamu, demi Bunda. BALESANNYA KAYAK GINI!”

“Kenapa, sih? KENAPA?!” Teriak Agam seperti orang gila yang kehilangan akal.

Agam menjatuhkan tubuhnya dengan tangis dan amarah.

Lestari bergerak berusaha mendekati Agam.

“Selama ini aku tuh buat kamu apa, Tar?”

“Aku pikir setelah semua yang kamu lakuin buat mertahanin aku itu bener. Aku pikir semua yang udah kamu korbanin demi aku itu nyata. Tapi palsu, ya?”

Agam terkekeh. “Bodoh banget ya, Tar? Selama ini aku udah mati-mati nyoba perbaikin kesalahan yang pernah aku lakuin ke Ocean supaya gak keulang lagi. Supaya Nadin gak ngerasain gimana rasanya orang tua yang pisah. Mati-matian juga aku numbuhin rasa aku buat kamu. Nyoba nerima semua tentang kamu selama ini.

“Masih kurang?”

“MASIH KURANG?!” Teriak Agam.

“GILA YA DEMI TUHAN!” Teriak Agam lagi.

Agam segera berdiri menghindari Lestari. Sedangkan perempuan itu menangis.

“Sampai semuanya kebukti bener, liat aja.”

“BRENGSEK!” umpat Agam lagi sambil menutup pintu dengan keras.

Lalu ketika Agam keluar dari kamar itu, ia berpapasan dengan Aciel yang tengah berjalan dari arah dapur.

Agam menghela napasnya. “Tidur gih,” ucap Agam yang menghampiri Aciel kemudian mengusap kepalanya.

Terlihat jelas wajah Agam yang memerah dan sembab.

“Ayah …,” panggil Aciel.

“Gapapa?”

Agam tersenyum kemudian ia mengangguk. “Ayah gapapa. Udah tidur sana udah jam dua belas,” ucap Agam kemudian memeluk Aciel sekilas sebelum akhirnya Aciel mengangguk dan pergi ke kamarnya.