Seribu Tahun.
Rindu, ia terlalu merindukan lelakinya.
Hari ini merupakan hari ulang tahunnya. Sudah sejak seminggu lalu perempuan itu merancang rencana untuk merayakan ulang tahu lelaki kesayangannya.
Membeli kue, membeli baju baru, membeli hadiah, serta membeli pernak-pernik untuk ia pasangkan di ruangan itu.
Sebuah layar proyektor terpasang di hadapannya menampilkan putaran video lama yang ia simpan rapi.
Senyuman terukir di wajahnya diiringi dengan tawa kecil ketika menyaksikan putaran video itu.
Ia merengkuh tubuhnya sendiri, dadanya terasa sesak tiba-tiba, bahkan untuk bernapas rasanya sakit, seperti ada yang menusuk.
Air mata mengalir begitu saja tanpa instruksi. Tubuhnya bergetar menahan tangisan supaya tidak keluar, bahkan ia berusaha menutup mulutnya supaya tidak bersuara.
Lembaran kertas foto tergeletak berserakan di lantai sekitarnya, kemudian ia raih satu per satu. Ada yang masih utuh, ada yang sudah lusuh, dan ada juga yang sudah sobek.
“Bumi, kangen …,” gumam Senjani—perempuan itu.
Iya, perempuan itu adalah Senjani, perempuan kesayangannya Bumi. Ia sedang merayakan hari ulang tahun Bumi.
“Selamat ulang tahun Bumi Putra Langit,” gumamnya lagi.
Terdengar suara kekehan. “Selamat ulang tahun ya, meskipun usiamu sudah berhenti dan nggak bakalan bisa bertambah lagi. Tapi selamat ulang tahun, aku harap kamu sekarang ngeliat aku ya dari atas sana,” ucapnya sambil mengusap sebuah polaroid.
Senjani menatap langit-langit di ruangan itu seolah ia tengah bertatapan dengan seseorang.
“Nggak keliatan, tapi gapapa,” ucapnya diiringi tawa kecil.
“Maaf ya sekarang aku rayain ulang tahunnya sendiri dulu. Soalnya kalau ada Janu aku nggak boleh nangis,” ucapnya lagi.
Senjani menghela napasnya dalam. Ia mati-matian menahan tangisnya namun lagi-lagi gagal dan lama kelamaan tangisannya semakin keras, sulit ia tahan.
Serindu itu ia pada lelakinya.
Tangisannya terlalu keras, sampai Senjani tidak sadar jika di balik pintu ada seseorang yang sejak tadi hanya diam mendengarkan isak tangisnya.
Janu, itu adalah Janu. Ia yang sudah berada di sana enggan membuka pintu. Hanya isak tangis yang ia dengar dari balik pintu itu.
Sesak, dadanya terasa sesak.
“Masih lo ternyata yang jadi pemenangnya, Bumi,” gumam Janu.
Satu tahun?
Dua tahun?
Sepuluh tahun?
Lima puluh tahun?
Harus sampai kapan menunggu? Menunggu supaya ia jadi pemenangnya.
Bahkan sampai seribu tahun pun Janu akan tetap seperti ini. Meski bukan ia pemenangnya ia akan terus terus berada di samping Senjani. Menunggu dan mencintai seorang diri.
Janu menarik napasnya dalam. Ia lalu berusaha tersenyum. Lantas dengan berat hati, ia pun pergi dari sana, membiarkan Senjani merayakan ulang tahun Bumi, sendirian.