Beruntung.
Kepulan asap rokok memenuhi ruangan itu. Ada dua di dalamnya tengah bergelut dengan pikirannya masing-masing.
Langit sore ini tampak mendung, sejak pagi udara bahkan terasa dingin dan lembab. Tidak ada terik matahari yang terlihat.
“Kayaknya bakal hu-“
“KAN KATA GUE APA,” ucap Jema, lelaki yang saat ini duduk di samping Aciel.
“Orang tadi pagi juga gerimis,” jawab Aciel.
Aciel hanya menggeleng, kemudian ia lanjut menyesap rokok di tangannya.
“Jem,” panggil Aciel tiba-tiba.
“Hmm,” balas sahabatnya itu.
“Kita bentar lagi kuliah ya,” ucap Aciel membuat Jema mengangguk.
“Nanti gue kuliah di mana, ya,” ucap Aciel lagi.
Jema melirik ke arah Aciel, lantas ia mengangkat bahunya. “Mana gue tau. Bukannya lo pengen jadi dokter?”
Terdengar suara kekehan dari Aciel, kemudian tak lama ia beranjak dari duduknya dan meregangkan kedua tangannya sambil menguap. Ia lantas membuang rokoknya sembarang.
“Nggak mau,” jawab Aciel yang kini bersandar di tembok menghadap Jema.
“Lah, kenapa? tiba-tiba belok lo,” jawab Jema yang lagi-lagi membuat Acielbterkekeh.
“Gue nggak mau jadi kayak Ayah,” jawab Aciel.
“Lo paham, kan? Kenapa gue pengen jadi dokter?”
Ah, ya. Jema baru ingat. Aciel selalu mengatakan ia ingin menjadi dokter seperti Ayahnya.
“Sekarang gue gak mau. Gue gak mau jadi kayak Ayah.”
Jema menatap Aciel, ia kemudian menghela napasnya. Jema paham ke mana arah obrolan ini. Apalagi selama perjalanan Aciel menceritakan pada Jema apa yang terjadi ketika Jema menjemput Aciel ke kota Ayahnya.
“Cil,” panggil Jema.
“Jadi diri lo sendiri aja. Lo udah gede. Boleh kok lo kecewa sama keadaan. Tapi lo juga jangan jadi hilang arah, ya?”
Aciel menatap Jema.
“Hilang arah dalam artian lo kehilangan jadi diri lo akibat kejadian ini. Gue emang nggak bisa paham dan gak tau harus gimana buat bisa bikin lo baik-baik aja. Gue yakin kok, lo malah muak kalo misal gue ngomong ‘semangat’, ya, kan?”
Aciel terkekeh begitu juga Jema.
“Sekarang yang harus lo lakuin itu, bahagiain Ibu lo, ya, Cil. Jangan bikin dia kecewa.”
Jema kemudian berdiri dan juga membuang rokoknya. Lantas ia menepuk pundak Aciel.
“Semua hal yang selama ini udah Ibu lo lakuin, itu tuh karena dia pengen lo bahagia, Cil. Percaya sama gue.”
“Kalo misalkan gue jadi lo. Sedikitpun gue gak bakalan pernah berusaha buat nyari Ayah gue kalo emang posisinya gue sama kayak lo. Ya emang sih gak bisa disamain. Tapi ini kalo MISALKAN.”
“Meskipun emang mungkin ada rasa di mana gue pengen ketemu sosok Ayah. Tapi gue nggak bakalan mau. Gue mau fokus bahagiain Ibu aja yang udah ngejaga dari kecil dari pada harus nyari orang yang gak ada.”
“Ini kalo misalkan gue jadi lo ya,” ucap Jema dibarengi kekehan.
Jema kembali menghela napasnya.
“Cil. Gue sebagai anak yang dari kecil tinggal di panti asuhan. Gak tau gimana rasanya punya Ayah sama Ibu. Meskipun emang sekarang gue udah punya keluarga yang dengan tulus ngasih gue kasih sayang. Tapi jujur dalam hati kecil gue, gue juga pengen ketemu sama orang tua gue yang asli. Jadi gue cuma mau bilang, lo beruntung, seenggaknya meskipun memang keluarga lo nggak utuh, lo masih tau gimana sosok orang tua yang lo punya. Lo masih bisa ngeliat mereka, lo masih bisa interaksi sama mereka. Jadi gue harap lo nggak ngecewain orang tua lo, ya, Cil.“
Jema tersenyum dengan matanya yang mulai memerah.
“Anjing, jadinya gue pengen nangis kan,” ucap Jema tertawa.
Aciel menatap Jema kemudian ia menjitak kepala sahabatnya itu.
Aciel merentangkan tangannya membuat Jema mengerutkan dahinya.
“Ngapain?”
“Peluk?” ucap Aciel membuat Jema terkejut.
“ANJING! HAHAHA,” Jema tertawa.
Aciel tanpa basa-basi langsung menarik Jema ke pelukannya.
“Sorry ya Jem. Waktu itu gue ngomong kasar dan bikin lo sakit hati.”
Jema hanya terkekeh. “Iya, kalo deket udah gue tonjok muka lo,” jawab Jema.
Mereka lantas tertawa. Kemudian selang beberapa saat ponsel Aciel berbunyi menandakan telepon masuk kemudian ia mengangkatnya.
“IBU UDAH BANGUN!” Teriak Aciel.