Bahkan jika harus berdiri di ujung dunia.

Dengan langkah kakinya yang terburu-buru, Haikal segera melangkah untuk masuk ke dalam rumah perempuannya. Beberapa kali ia menekan bel berharap seseorang segera membukanya. Dan benar saja, tak lama setelah itu pintu terbuka menampilkan Kak Dodo yang masih setia memakai setelan jas dokternya.

“Bang, Ita ada?” Tanya Haikal yang dibalas anggukan.

“Ada, masuk aja. Ayah sama Bunda lagi keluar, jangan macem-macem lo,” ucap Kak Dodo pada Haikal.

“Tenang bang.”

“Yaudah masuk aja, Ita di kamar,” ucap Kak Dodo yang langsung membuat Haikal melangkah ke kamar Ralita.

Dengan langkahnya yang pelan, perlahan ia membuka pintu kamar itu, memperlihatkan Ralita yang tengah duduk di kasurnya.

“Hei ....” ucap Haikal membuat Ralita menoleh dan terkejut sebab Haikal sudah ada disini.

Entah kenapa, tapi Ralita tiba-tiba saja menangis dan berlari kecil menghampiri Haikal, kemudian ia memeluknya.

“Eh, kok nangis?” Ucap Haikal berusaha menatap Ralita yang tengah menenggelamkan wajahnya di pundak Haikal.

“Maaf, ya ...” lirih Ralita.

Haikal terkekeh. “Kok minta maaf?”

“Maaf tadi aku gak bales chat kamu lama, jangan marah ...” ucap Haikal dengan nada suaranya yang terdengar menggemaskan bagi Haikal.

Lelaki itu lagi-lagi terkekeh. “Gapapa sayang, aku gak marah serius, aku cuma khawatir,” ucap Haikal yang kini memeluk erat tubuh yang lebih kecil darinya itu.

“Tadi aku banyak pikiran ....” ucap Ralita dalam pelukan itu.

“Pikiran apa? Pasti pikirannya jelek,” tanya Haikal membuat Ralita mengangguk kecil.

“Takut ....” ucap Ralita lagi.

Haikal meraih wajah mungil perempuan itu. Ditatapanya netra kecoklatan milik Ralita dengan sangat teduh.

“Cantik .... coba liat mata aku,” ucap Haikal.

Ralita kembali memeluk tubuh Haikal.

“Maaf ya, aku tadi takut banget. Takut nanti aku gagal lagi, takut nanti aku gak bi—“

Belum sempat Ralita menyelesaikan kalimatnya, Haikal sudah lebih dulu memotong ucapan Ralita dengan mengecup kening perempuan itu berkali-kali.

“Udah, jangan diterusin. Aku udah tau kamu mau ngomong apa,” ucapnya lagi yang kembai mengecup pucuk kepala perempuan itu.

Haikal mengeratkan pelukannya.

“Cantik ....”

“Gapapa kalo ngerasa takut, tapi jangan di tahan sendirian rasa takutnya, ok? Bagiin sama aku, ceritain sama aku. Biar nanti kita cari jalan keluarnya sama-sama,” ucap Haikal.

“Mau di undur aja tanggalnya? Biar kamu lebih siap? Aku beneran gak bakal maksa kok. Kalo emang kamu gak siap, aku bakalan nunggu kamu sampai siap,” ucap Haikal lagi.

Ralita menggeleng, kemudian ia menatap Haikal.

“Enggak jangan, aku gapapa kok. Tadi mungkin pengaruh hari pertama juga. Jangan gitu, aku gapapa,” ucap Ralita membuat Haikal tersenyum.

Haikal benar-benar menyayangi perempuan ini, sampai ia tidak tega melihatnya ketakutan seperti ini.

Haikal kembali memeluk tubuh itu dengan sangat erat, berusaha menyalurkan ketenangan untuk Ralita meredakan kekhawatirannya.

“Sama-sama, ya? Atasin rasa takutnya sama-sama.”

“Ini bukan cuma tentang kamu, Ta. Tapi kita.”

“Aku sayang banget sama kamu, aku gak bakal biarin lagi kamu ketakutan sendirian, Ta. Jadi apapun nanti ketakutan kamu, keresahan kamu, kekhawatiran kamu. Tolong bagi sama aku, ya?” Ucap Haikal sambil mengusap pelan daksa perempuan itu dengan lembut dan tulus.

Ralita semakin menenggelamkan wajahnya pada leher lelaki itu. Menyesap aroma tubuh Haikal yang selalu jadi favorite baginya.

Pelukan Haikal ini benar-benar hangat dan candu.

Ralita beruntung, sangat beruntung. Sebab kini, Haikal akan selalu jadi penopangnya, kapan pun itu Haikal akan menjadi orang paling depan yang nantinya akan menghalau segala rasa sakit.

“Maaf, maaf udah bikin khawatir,” ucap Ralita pelan.

Haikal tersenyum, ia memejamkan matanya merasakan hangat tubuh itu.

i love you, always. Please don’ be afraid, Ta. I’m here. Aku gak akan kemana-mana lagi,” ucap Haikal berusaha meyakinkan perempuannya jika sampai kapan pun ia tidak akan pernah pergi.

Haikal benar-benar mencintai Ralita, sangat.

Bahkan jika nanti Haikal harus berdiri di ujung dunia sekali pun, ia akan tetap mencintai Ralita sebesar dan sedalam itu. Sampai kapan pun, sampai ia menghembuskan napas terakhirnya nanti, ia akan tetap menjadi laki-laki yang mencintai perempuannya dengan begitu besar.

“Cantiknya Haikal, si cantik selalu cantik. Jangan takut lagi, ya sayang ya ...” ucap Haikal sambil mengecup pucuk kepala Ralita berkali-kali.