Jangan sakit
Haikal langsung merebut ponsel Ralita sesaat setelah ia melihat rait wajah Ralita berubah setelah membuka ponselnya.
“Haikal ja—“
Mata Haikal fokus membaca pesan yang masuk ke dalam ponsel itu. Kemudian ia menatap Ralita sekilas.
“Haikal sini dulu,” ucap Ralita sambil berusaha merebut ponselnya dari genggaman Haikal.
Haikal menyembunyikan ponsel Ralita ke belakang badannya, kemudian ia menatap Ralita dalam.
“Haik—“
Tanpa aba-aba Haikal langsung menarik Ralita untuk masuk ke dalam pelukannya.
“Kenapa kamu gak pernah bilang kalau disana kamu kesakitan, Ta? Kenapa kamu selalu bilang kalau alasan kamu pisah sama Arkanata itu cuma masalah kecil? Kenapa kamu bilangnya cuma karena udah gak cocok?”
Ralita terdiam dalam pelukan itu.
“Haikal ....” ucap Ralita berusaha melepas pelukannya, namaun Haikal memeluk erat tubuh Ralita.
“Ta, kamu kesakitan, Ta. Kenapa kamu selalu bilang gapapa, sih?”
Ralita hanya terdiam, kemudian tanpa sadar ia juga mengeratkan pelukannya pada tubuh Haikal.
“Ta, apa aja yang sakit, hmm?” Ucap Haikal yang kini berusaha melihat wajah Ralita dan mengusapnya.
“Arkanata ngelakuin apa aja sama kamu, Ta? Dia nyakitin gimana aja, Ta? Bilang sama aku,” ucap Haikal yang masih mengusap wajah Ralita sambil menatapnya penuh kekhawatiran.
Ralita hanya menggeleng, dan kembali menenggelamkan wajahnya ke pundak Haikal.
“Kamu bilang kamu keguguran, tapi kenapa kamu gak pernah bilang kalo selama ini Arkanata malah nyalahin dan biarin kamu sendirian?”
“Demi apapun, Ta. Hati aku sakit banget baca chat Arkanata barusan,” ucap Haikal memeluk Ralita.
“Sayang, sakit, ya? Bilang, bilang sama aku,” ucap Haikal lagi.
“Haikal ...”
“Aku gak sengaja, aku gak tau kalo waktu itu bakal ada kecelakaan yang bikin aku kehilangan Bian, aku gak tau Haikal. Itu bukan salah aku ....” lirih Ralita memeluk erat tubuh Haikal.
Tubuhnya bergetar, Ralita kembali mengingat bagaimana ia yang disalahkan atas kehilangan itu.
Haikal benar-benar bisa merasakan rasa sakit dan ketakutan dari perempuannya ini.
“Enggak, enggak. Bukan salah kamu, bukan salah kamu. Jangan nyalahin diri semdiri, maaf, maaf ...” lirih Haikal.
“Haikal takut .... aku udah gagal jadi ibu,” ucap Ralita lagi semakin membuat Haikal mengeratkan pelukannya.
“Gak, gak ada yang gagal. Tuhan ngambil Bian bukan berarti kesalahan kamu. Ini juga bagian dari rencana-Nya. Jangan bilang gitu ya sayang ya,” ucap Haikal.
“Sekarang coba tarik napas kamu, biar semua rasa takutnya hilang. Peluk aku, aku disini, Ta. Aku gak bakalan pernah nyalahin kamu atas hal papaun, semuanya udah terjadi.”
Ralita mengeratkan oelukannya, ia takut, ia sakit.
Dengan perlahan, jemari Haikal bergerak mengusap kepala perempuan itu.
“Maaf ya Ta, karena waktu kamu kesakitan disana, aku gak ada. Aku gak ada disana.”
“Maaf karena waktu itu aku gak bisa redain luka kamu.”
“Maaf karena kamu harus lewatin rasa sakit itu semdirian. Maaf ya cantik ya karena aku gak ada disana, maaf aku gak tau kalau ternyata kamu sendirian disana ....” Lirih Haikal yang juga merasa sesak.
Perempuannya. Perempuanya yang selalu ia jaga mati-matian ternyata sempat terluka sendirian.
“Disini, Ta, aku disini sekarang. Keluarin semuanya ya cantik ya, jangan lagi kamu pendem sendirian.”
“Hati aku sakit ta dengernya. Maaf, maaf, maaf karena aku baru tau sekarang. Maaf ya maaf,” ucap Haikal sambil mengecup pucuk kepala Ralita beberapa kali berusaha meredakan luka yang tengah Ralita rasakan.
Haikal terus saja meminta maaf sebab ia tidak ada di samping Ralita saat ia sedang terluka.
Haikal, menyayangi Ralita, sangat.
“Jangan sakit sendirian lagi ya cantik ya ....”