Putri Ayah.

Hanya ada hening di antara keduanya.

Ralita yang sejak tadi hanya menunduk, juga ayah yang sejak tadi hanya menatap putrinya.

Adinegara menghela napasnya, ia kemudian bersuara membuat Ralita menatapnya.

“Cantik ....” ucapnya sambil tersenyum.

Ralita menatap sang ayah.

“Besok, ya?” Ucap ayah yang dibalas anggukan oleh Ralita.

“Seneng?”

Ralita kembali mengangguk sambil menyinggung senyum kecilnya.

Adinegara tersenyum, melihat jika putrinya ini terlihat bahagia.

“Ayah, boleh meluk kamu?” Tanyanya pada Ralita. Kemudian tanpa berlama-lama Ralita mendekat dan memeluk tubuh sang ayah dengan hangat.

Demi apapun, sudah lama sekali mereka tidak seperti ini.

Ada perasaan luar biasa sedih sekaligus haru secara bersamaan.

Jemari Adinegara mengusap lembut pucuk kepala putrinya itu.

“Ayah seneng kalau adek seneng,” ucapanya.

Adinegara meneteskan air matanya, apalagi saat tiba-tiba saja memori kejadian lampau terlintas.

Tentang bagaimana ia yang selalu yakin dengan pilihannya, tentang ia yang egois perihal hidup putrinya, dan tentang ia yang tidak bisa berbuat apa-apa disaat ia tahu jika ternyata putrinya itu tidak bahagia dengan pilihannya.

Banyak sekali penyesalan sebab ia sangat egois.

“Maafin ayah ya. Maaf ayah selalu maksa kamu buat nurutin keinginan ayah, pilihan ayah yang menurut ayah baik tapi ternyata enggak,”ucap Adinegara sambil mengelus rambut Ralita.

Ralita tak menjawab, ia hanya memeluk Adinegara berusaha merasakan hangat peluk seorang ayah yang memang sudah lama tidak ia rasakan, sebab selama ini Ralita selalu menghindar.

“Maaf ya sayangnya ayah, maaf karena ayah sendiri kamu sempet hancur. Maaf, ayah menyesal,” ucap Adinegara memeluk Ralita erat.

Ralita terisak pelan.

Sungguh, meskipun ayah selalu saja egois perihal hidup Ralita. Tapi tidak pernah sedikitpun ia membenci ayah, sampai kapan puj ia tidak akan bisa membencinya.

“Gapapa ayah, Ita sayang ayah ....” lirih Ralita.

Ayah mengecup pucuk kepala putrinya dengan penuh sayang.

“Ayah percayakan kamu sama Haikal,” ucapnya lagi.

“Janji sama ayah, janji buat selalu bahagia, ya? Karena ayah gak tau sampai kapan ayah hidup. Sekarang ayah cuma berharap ini pilihan terbaik dari semua pilihan yang pernah ayah pilihkan buat kamu.”

“Maaf ya sayang, ayah banyak nyakitin kamu cuma karena keegoisan ayah.”

Ralita terisak, begitu juga Adinegara.

“Besok, ya?” Kini Adinegara menangkup wajah kecil putrinya itu.

Sangat cantik, seperti bundanya.

Adinegara tersenyum.

“Besok bakalan jadi milik orang lain lagi,” ucap Adinegara sedangkan Ralita hanya tersenyum.

“Ayah ....” lirih Ralita.

“Hmm? Apa sayang?” Ucap ayah sambil mengusap Ralita dengan penuh kasih sayang.

“Makasih ya, makasih udah jadi ayah terbaik,” ucap Ralita kembali memeluk ayahnya.

Adinegara merasa sesak, sebab ia merasa jika selama ini ia bukan lah ayah yang baik. Tapi barusan, Ralita dengan jelas menyebut jika ia adalah ayah terbaik.

“Ralita sayang ayah. Tolong hidup sehat ya ayah, sampai nanti Ralita tua, Ralita mau terus liat ayah. Jangan ninggalin Ralita lebih dulu,” ucap Ralita dalam pelukan itu.

Adinegara terisak, ia kemudian mengeratkan pelukannya.

Sebentar lagi, putrinya akan menjadi milik orang lain.

Dan orang lain itu adalah seseorang yang dulu sempat ia remehkan kehadirannya. Tapi kini, orang itu adalah satu-satunya orang yang selalu berhasil mengukir senyum manis milik putrinya.

“Ayah juga sayang kamu. Maaf ya maafin ayah ....”