You’re Not Alone
Jika saja bisa, Sena akan memilih untuk tidak jatuh cinta pada Raka.
Jika saja bisa, Sena akan memilih untuk tetap pada pendiriannya dulu supaya tidak pernah menjatuhkan hatinya pada orang lain setelah apa yang Papa lakukan pada Sena dan Mama.
Dulu, ketika Sena pertama kali bertemu Raka, ia sama sekali tidak pernah berpikir jika akhirnya Sena akan menjatuhkan dunianya begitu saja pada Raka.
Awalnya Sena pikir semua akan baik-baik saja jika bersama Raka. Apalagi setelah kejadian dimana Papa mengecewakannya.
Dua tahun mereka menjalin hubungan. Dan selama itu juga mereka jarang sekali bertengkar sebab salah satu dari mereka pasti akan ada yang mengalah.
Sena tidak menyangkal, jika selama berhubungan dengan Raka, ia sering kali mengingatkan pada Raka perihal ia yang takut ditinggalkan. Dan memang benar, dari ketakutan itu juga sifat posesif Sena keluar.
Bukannya apa-apa, Sena hanya takut, ia takut Raka meninggalkannya seperti Papa meninggalkan Mama.
Dan memang benar. Ketakutan yang selama ini ada dipikiran Sena, tiba-tiba saja terjadi.
Entah sudah hancur berapa kali hati dan tubuh perempuan ini.
Malam ini, setelah perdebatan panjang Sena dengan batinnya, Sena memutuskan untuk pergi tanpa arah.
Hampir dua jam lamanya Sena berkeliling tanpa tujuan, dan entah sudah berapa uang yang ia habis kan untuk membayar kendaraan yang mengantarnya.
Hingga akhirnya Sena memutuskan untuk berhenti di sebuah jembatan.
Terdengar helaan napas dari perempuan itu.
Dingin, rasanya dingin sekali.
Sena menatap pemandangan di depannya. Terlihat jelas juga di kejauhan kerlip lampu-lampu dari daerah sebrang.
Netra Sena bergerak memperhatikan sekitar.
Sena hanya tersenyum.
“Raka!” Teriaknya.
Tubuh Sena terasa sakit, hatinya hancur, ia benar-benar hancur.
Tanpa sadar Sena menangis begitu saja. Berkali-kali ia memukuli dadanya guna meredakan rasa sesak.
“Sakit …” lirihnya.
Kenapa? Kenapa harus seperti ini?
Kenapa harus Sena yang dipaksa keluar dari kebahagiaannya? Kenapa pula Sena yang dipaksa melupa?
Sena menyayangi Raka, sangat.
Sena tidak pernah berpikir jika ia yang tadinya jadi orang paling bahagia, sekarang harus seperti orang paling hancur.
“CAPEK!” Teriaknya di ambang pembatas pagar itu.
Sena terisak ia menangis.
Sena masih nenyayangi Raka, tapi kenapa keadaan begitu cepat memaksanya menjauh?
Netra Sena kembali bergerak memperhatiakn sekitar serta ia menunduk menatap ke bawah memperhatikan air yang berada jauh di bawahnya.
Sena terisak sangat keras.
“Mama …, maafin Sena,” Lirih Sena.
Tanpa berlama-lama Sena menaikkan satu kakinya ke pembatas pagar itu. Sena berdiri di ujung tihang pembatas.
Perempuan itu menutup matanya.
“See y—“
“SENA!” Teriak seseorang yang langsung saja menarik Sena, membuat Sena terkejut lalu berusaha berontak.
“GILA LO YA!” Teriaknya lagi.
Sena terisak, ia kembali menangis ketika dirinya terjatuh ke dalam pelukan orang itu.
“Sinting lo,” ucap orang itu lagi sambil berusaha menarik Sena ke dalam pelukannya.
Sena menangis histeris. “Capek … CAPEK!”
“KENAPA LO NARIK GUE!”
“GUE CAPEK!”
“PERCUMA JUGA GUE DISINI!”
Sena berteriak sambil berusaha melepaskan pelukan lelaki itu.
“GAK USAH GILA!”
“GAK ADA YANG PERCUMA!” Lelaki itu balik berteriak.
Sena menangis sangat keras.
Lelaki itu lantas menghela napasnya. Ia kemudian melepas pelukan itu dan menangkup wajah Sena yang sudah sembab tak berbentuk.
“Liat gue, LIAT GUE SEN!” Teriaknya.
Sena masih terisak. Ia benar-benar sudah sehancur itu.
“Tenang okay?”
“Tarik napas pelan-pelan …,” pinta lelaki itu.
Sena masih menangis.
“Capek …”
“Capek banget, gue pengen tidur yang lama. CAPEK!” Teriaknya lagi.
Lelaki itu kembali memeluk Sena.
“Calm down gue disini lo gak sendirian,”* ucapnya mencoba menenangkan.
“Sakit banget … semua orang yang gue sayang pergi. Papa pergi Raka juga pergi gitu aja.”
“Semua nyalahin gue.”
“Gue sendirian …”
“Capek, Capek, GUE CAPEK!” Lagi-lagi Sena kembali berteriak.
Entah sadar atau tidak, tetapi lelaki itu memeluk tubuh Sena sangat erat. Ia bahkan mengusap dan mengecup pucuk kepala Sena supaya perempuan itu merasa aman.
“You’re not alone. I’m here tenang, ya?” ucapnya lembut.
Sena terisak dalam pelukan lelaki itu.
“Mau tidur … capek …,” lirih Sena sebelum akhirnya ia tak sadarkan diri membuat lelaki itu segera membawa Sena pergi dari sana.