“Sakit, Ka.”

Sudah hampir 3 hari Raka terbaring di rumah sakit. Hanya ada Bima, Jean, Deva, dan juga sesekali Nana kesana menemani Raka, sebab kedua orang tuanya sedang tidak bisa menghampiri Raka akibat pekerjaan.

Saat ini ada Nana yang tengah duduk di samping Raka.

Nana menatap Raka lekat, kemudian jemarinya bergerak mengusap-ngusap kepala Raka.

“Ka … cepet bangun,” ucap Nana pada Raka.

Jujur, jika berbicara perihal perasaan. Nana benar-benar menyukai Raka sejak awal, bahkan sekarang sudah masuk pada tahap menyayangi.

Nana sadar, ia sangat sadar jika yang ia lakukan ini salah. Tetapi ketimbang memikirkan apalah cara ini salah atau benar, Nana lebih mengedepankan egonya agar bisa bersama Raka bagaimana pun caranya. Karena sebelumnya ia tidak pernah merasa sejatuh cinta ini pada seseorang.

Nana menghela napasnya ketika ponselnya berbunyi menandakan pesan masuk yang ternyata dari Jeano.

Alih-alih membalas, Nana malah mematikan ponselnya agar tidak bersuara.

Nana terus saja mengusap jemari tangan sebelah kanan Raka. Berharap lelaki ini segera sadar.

Jemari Nana pun kembali bergerak membenarkan helaian rambut tipis Raka yang sedikit panjang.

Tiba-tiba saja Raka bergerak, membuat Nana terkejut.

“Ka?” ucap Nana sambil terdiam memperhatikan gerakan Raka.

Perlahan Raka bergerak.

“Ka aku dis—“

“Sena …,” lirih Raka dengan matanya yang masih terpejam.

Terlihat jelas oleh Nana jika sekarang Raka tengah menjatuhkan air matanya tanpa sadar.

“S-sen … maaf,” gumam Raka seolah ia sedang bermimpi.

“Sena …” lagi-lagi Raka menggumamkan nama Sena tepat di hadapan Nana.

Napas Nana tercekat, rasanya sedak sekali.

Nana kembali duduk dan ia pun kembali meraih jemari Raka untuk ia genggam.

“Ka ini Nana …”

“Aku disini …,” lirih Nana yang mengusap Raka penuh sayang.

Raka masih menangis dalam tidurnya. Ia benar-benar menangis seperti orang yang baru saja kehilangan.

Sungguh, rasanya sesak sekali ketika Nana melihat ini.

Padahal jelas-jelas sekarang Raka tengah bersamanya.

Nana menunduk lantas ia pun terisak pelan.

“Aku Ka yang ada disini, bukan Sena …,” lirih Nana.

Dan tanpa Nana sadari, di balik pintu masuk ruangan itu, ada Sena yang tengah terduduk rapuh setelah tadi ia melihat Nana mengusap Raka penuh sayang dari balik kaca pintu ruangan itu.

“Ka …,” isak Sena pelan.

Perempuan itu pun menepuk dadanya keras berusaha menghilangkan rasa sesak sebab ia melihat Raka—lelaki yang ia cintai kini terlihat sangat tenang bersama dengan perempuan lain di dalam sana.

“Sakit, Ka …,” lirih Sena. Lalu tak lama ia pun memilih beranjak dari sana dengan selang infus yang masih menempel di tangannya.