𝗘𝗺𝗽𝗮𝘁 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗘𝗺𝗽𝗮𝘁; 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗣𝗮𝗹𝗶𝗻𝗴 𝗞𝗲𝗵𝗶𝗹𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻

Clarissa baru saja tiba di rumah sakit.

Pesan terakhir yang ia terima adalah pesan dari Bumi, anaknya. Bumi bilang, ia ingin memeluk Clarissa.

Entah mengapa, hati Clarissa begitu sakit saat membaca pesan terakhir itu.

Clarissa melangkahkan kakinya ke ruangan dimana Bumi di rawat. Namun tak lama, langkah kaki Clarissa terhenti saat melihat beberapa orang tengah menangis di depan ruangan itu. Termasuk Azri, anak kesayangannya. Anak itu sedang menatap kosong ruangan itu.

“Kakak...” ucap Clarissa pada Azri.

Azri menoleh, lalu tiba-tiba saja ia mengampiri Clarissa dan berteriak.

“BUMI PERGI! PUAS? MAMA PUAS HAH?!!”

Tangisan yang sejak tadi Azri tahan kini meluap kala melihat Clarissa.

“M-maksudnya?” Ucap Clarissa

“BUMI PERGI BUMI UDAH GAK ADA! MAMA, BUMI MA...” Azri berteriak frustasi, ia menangis di hadapan Clarissa.

Clarissa menjatuhkan dirinya.

“Gak, gak mungkin, ini bohong, bahkan mama belum ketemu Bumi...”

Clarissa beranjak, ia lalu masuk dan melihat jika di dalam sana Johnny dan Senjani sedang menangisi tubuh seseorang yang tertutup kain putih.

“B-bumi...”

Clarissa berlari, lalu memeluk tubuh anak yang sudah tidak bernyawa itu, ia menangis, berteriak sambil memeluk anaknya.

“Bumi nak, bangun sayang, maafin mama” Clarissa menangis.

Johnny yang melihat itu sangat sakit, bodoh, ia bahkan tidak bisa marah saat melihat tangisan Clarissa.

“Hei sayang, Bumi, bangun nak. Mama bahkan belum ngobrol sama kamu. Ayo bangun...”

“BUMI BANGUN!!! KAMU BAHKAN BELUM MELUK MAMA...” Clarissa berteriak, menangis. Ia berusaha membangunkan wajah pucat anak itu.

Sakit, sangat sakit. Semua perlakuannya terhadap Bumi selama ini, tiba-tiba saja terlintas di pikirannya.

Jahat, jahat sekali.

“Bumi bangun... ayo... mama... disini...” ucap Clarissa lirih

“Bumi, maafin mama...”

“Ayo marahin mama, ayo pukul mama, mama gak akan marah. Bumi bangun. BANGUN BUMI BANGUN!!!!” Teriakan Clarissa bahkan terdengar sangat menyedihkan.

Seketika dunianya runtuh.

Kenapa bisa Tuhan membawa anak ini pergi? Bahkan Clarissa belum sempat memeluk dan mengucap maaf pada anaknya itu. Hancur, ia sangat hancur.

Bahkan Clarissa tidak pernah berpikir bahwa kehilangan anak yang selama ini ia anggap sebagai anak pembawa sial, ternyata mampu membuat dunianya seketika runtuh.

Bodoh, Clarissa bodoh.

Kini hanya penyesalan yang menyeruak ke seluruh hatinya.

Anaknya pergi, anakn yang bahkan sebenarnya tidak bersalah.

Lagi-lagi karma itu menang benar adanya. Clarissa, wanita yang bahkan tidak akan pantas di sebut sebagai ibu, kini ia kehilangan. Kehilangan orang paling berharga yang seharusnya ia rawat dari dulu.

Bahkan, dari semua orang, ia adalah satu-satunya orang yang yang paling kehilangan.

Mungkin benar, penyesalan paling pedih ialah saat orang yang bahkan seharusnya ia anggap, kini sudah tidak ada lagi.

Mulai sekarang, seumur hidup Clarissa, ia hanya akan hidup dalam penyesalan, bahkan sampai mati.