Jjaejaepeach

𝗧𝗶𝗴𝗮 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗦𝗲𝗺𝗯𝗶𝗹𝗮𝗻; 𝗧𝗲𝗻𝘁𝗮𝗻𝗴 𝗝𝗼𝗵𝗻𝗻𝘆

𝗝𝗼𝗵𝗻𝗻𝘆 𝗣𝗼𝘃

Barang kali, jika ada penghargaan untuk orang paling bodoh di jagat semesta, saya pasti akan memenangkan peringkat pertama. Iya, saya memang sebodoh itu selama ini.

Menjadi lelaki yang berperan sebagai sosok suami sekaligus ayah itu gak mudah. Tanggung jawab saya sebagai kepala keluarga sangat besar. Setiap lelaki yang berada pada ikatan status seperti saya ini, pasti akan melakukan segala cara untuk membuat keluarganya bahagia. Tapi tidak dengan saya.

Awalnya saya pikir saya sanggup dan mampu menjadi sosok paling kuat untuk keluarga saya. Awalnya saya pikir saya itu adalah orang hebat yang mampu membimbing dan membahagiakan keluarga saya. Awalnya saya merasa seperti itu. Tapi ternyata saya salah.

Hampir 20 tahun saya menjadi sosok lelaki lemah yang selalu takut untuk kehilangan seseorang. Saya akan melakukan segala cara agar orang itu tidak pergi dari hidup saya.

Mencintai dan dicintai itu adalah salah satu hal yang selalu saya utamakan. Saya ingin sekali menjadi sosok suami sekaligus ayah yang selalu di banggakan dan dicintai. Dari dulu saya selalu mengharapkan itu.

Hidup saya baik-baik saja sebelumnya. Tapi tiba-tiba saja berubah ketika saya tahu jika ternyata wanita yang selama ini saya cintai ternyata begitu terobsesi dengan pekerjaan dan jabatan. Saya pun tidak menyangkal, jika Clarissa istri ah ralat, maksud saya mantan istri saya merupakan seorang pekerja keras, ia keras kepala, apapun hang ia inginkan harus ia dapatkan.

Awalnya saya baik-baik saja dengan itu, tapi sejak saat dimana saya melakukan kesalahan yang membuat Clarissa harus merelakan impiannya demi melahirkan seorang putra yang memang tidak disengaja atau kasarnya, tidak pernah di harapkan. Disitu saya merasa gagal menjadi sosok suami yang baik, saya gagal membuat istri saya bahagia, saya gagal mewujudkan mimpinya hanya karena keinginan saya untuk mempertahankan seorang anak yang kini tumbuh sebagai anak tangguh.

Jujur saja, saya tidak pernah berniat sedikitpun untuk mengabaikan Bumi anak saya. Tapi entah mengapa, dulu, setiap saya melihat anak itu, saya selalu merasa bersalah. Saya marah, saya kecewa pada diri saya sendiri. Tiap kali saya melihat anak itu, rasanya saya ingin berteriak dan memaki diri saya sendiri. Tapi bodohnya, amarah yang saya rasakan, selalu saya luapkan dengan cara memarahi bahkan tak segan saya memukul anak itu dengan tangan saya sendiri. Katakan saja saya bodoh, tolol, tapi kenyataannya memang begitu.

Jika kalian pikir selama ini saya tidak tersiksa, kalian salah. Selama ini, saya selalu menangis diam-diam, saya benci diri saya sendiri. Saya benci karena saya selalu menyalahkan anak itu atas semua kesalahan yang saya buat sendiri. Saya benci ketika harus melihat anak itu menangis diam-diam. Saya benci ketika saya mendapati bahwa selama ini saya gagal menjadi sosok ayah untuk anak itu.

Tapi sekali lagi, ego dan ketakutan saya perihal kehilangan perempuan itu terlalu besar. Saya terlalu mencintai Clarissa, cinta yang saya rasakan bahkan mampu membuat saya menutup mata atas kehadiran anak itu.

Bodoh, bodoh, bodoh. Saya adalah manusia paling bodoh.

Saya menyesal ketika ternyata, anak yang selama ini saya anggap sebagai kesalahan ternyata ia tidak pernah membenci saya. Untuk pertama kalinya saya rapuh ketika anak itu memutuskan untuk pergi dari rumah dan memilih tinggal sendirian.

Sejak saat itu, saya tidak pernah tertidur dengan tenang, tiap malam, tiba-tiba saja saya merindukan kehadiran anak itu, saya merindukan suara anak itu, saya selalu merindukan Bumi yang selalu diam-diam memperhatikan saya sambil tersenyum.

Lagi dan lagi saya bodoh. Harusnya sejak dulu, saya menyayangi Bumi seperti apa yang saya lakukan pada Azri.

Dunia saya hancur, dunia saya runtuh saat saya mendapati bahwa Bumi, anak yang selalu saya abaikan selama ini ternyata ia menderita sendirian, ia sakit dan ia menanggungnya sendirian.

Saya semakin hancur saat ia bilang baik-baik saja dan malah menyuruh saya agar menjaga kesehatan saya. Saya semakin hancur ketika mengetahui bahwa Clarissa benar-bemar membenci Bumi.

Ah, bodoh, saya terlalu bodoh.

Mungkin Tuhan memberi hukuman untuk saya dengan memberi saya kehilangan. Saya kehilangan perempuan yang selalu saya cintai selama ini, saya kehilangannya.

Jika saja bisa, saya ingin memutar kembali waktu dimana semua terasa baik-baik saja. Jika saja bisa, saya tidak akan pernah membiarkan Bumi sendirian dan terluka. Jika saja bisa, saya ingin menjadi sosok ayah dan suami yang selalu dicintai.

Tapi percuma saja, bukankah ini sudah takdir semesta?

Saya harus merasakan kesakitan ini untuk menebus semua dosa-dosa saya pada Bumi. Tapi rasanya luka yang saya tanggung ini tidak semenyakitkan apa yang dirasakan Bumi.

Saya menyesal, sangat menyesal.

Satu hal yang saya inginkan sekarang. Hidup bahagia bersama kedua anak saya, tanpa rasa sakit lagi. Saya ingin Bumi sembuh, saya ingin menjadi ayah yang baik untuk anak itu.

Bumi, cepat sembuh ya sayang? Papa sayang banget sama kamu, jangan pernah ninggalin papa sendirian.

𝗧𝗶𝗴𝗮 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗗𝗲𝗹𝗮𝗽𝗮𝗻; 𝗨𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗣𝗲𝗿𝗲𝗺𝗽𝘂𝗮𝗻 𝗣𝗮𝗹𝗶𝗻𝗴 𝗖𝗮𝗻𝘁𝗶𝗸

Hai Senjani, ini Bumi hehe. Kalau kamu baca ini, berarti kamu udah ada di atas sana. Pagi ini kamu berangkat ke Paris, ya?

Senjani, aku tahu, kamu pasti kecewa karena aku gak ada disana buat meluk kamu. Senja, maafin Bumi, ya? Jangan sedih, kalau Senja sedih Bumi gak bisa meluk Senja.

Ah aku mau bilang apa, ya? Terlalu banyak hal yang belum sempat aku sampaikan sama kamu Senja. Banyak hal-hal yang selama ini cuma aku pendam. Tapi kamu jangan khawatir, itu bukan masalah besar kok.

Tau gak? Pas kamu bilang kalau ternyata kamu bakal pergi jauh, aku hancur banget haha. Sakit banget rasanya Jan. Tapi aku sadar Senja, aku gak bisa jadi penghalang buat mimpi kamu. Mimpi kamu adalah hal penting Senjani. Walaupun memang, aku sedih banget ngelepas kamu pergi. Tapi setidaknya, dengan kamu bahagia dan baik-baik aja disana, itu udah cukup buat aku.

Senjani, makasih untuk 5 tahunnya, dari awal kita yang gak tau apa-apa tentang cinta, sampai saat dimana aku sadar, kalo selama ini aku cinta sama kamu Ja. Aku seneng banget bisa kenal kamu, bisa jadi bagian dari bahagianya kamu.

Kamu itu ibarat obat buat aku, cuma karena aku liat kamu senyum, rasanya semua rasa sakit pergi gitu aja. Makasih, ya?

Senja, perjalanan ini masih panjang, nanti disana, jangan terlalu mikirin aku oke? Tolong fokus sama impian kamu, aku disini bakal baik-baik aja.

Rasanya aneh haha, setelah sekian lama, akhirnya datang waktu dimana aku harus ngelepas kamu pergi. Aku minta maaf untuk semuanya Senjani, maaf karena selama ini aku jadi laki-laki lemah dan cengeng, maaf maaf dan maaf

Senja, kalau suatu saat nanti kamu pulang dan gak nemuin aku, jangan nyari aku, ya? cukup kamu inget aja aku sebagai seseorang yang pernah bikin kamu bahagia. Tapi kalau seandainya suatu saat nanti kamu pulang dan ketemu aku, tolong peluk aku, ya?

Aku udah cukup bersyukur selama ini karena punya kamu di samping aku. Sudah cukup kamu jadi perempuan yang selalu berusaha jadi bahagianya orang lain. Sekarang, waktunya kamu fokus sama diri kamu sendiri.

Senjani Sekar Ayu, perempuan paling cantik, perempuan luar biasa, dan perempuan yang paling aku sayang. Jaga diri baik-baik, jangan sampai sakit, jangan telat makan, tidur yang cukup dan jangan bikin aku khawatir, ya? Aku sayang kamu Senjani...

Sampai jumpa di waktu yang baik Senjani. I Love You

Senjani terisak sesaat setelah membaca surat dari Bumi. “Maaf Bumi, maaf karena Senja ninggalin Bumi” gumam Senjani.

“Sampai Jumpa lagi Bumi, semoga Tuhan segera mempertemukan kita lagi. Senjani selalu sayang Bumi...”

𝗧𝗶𝗴𝗮 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗧𝘂𝗷𝘂𝗵; 𝗛𝗮𝗻𝗰𝘂𝗿

Barang kali, jika ada kejuaraan dengan nominasi orang tua paing buruk, mungkin Johnny akan memenangkan posisi pertama dengan cuma-cuma.

Sepanjang perjalanannya menuju apartement milik anaknya, Johnny tidak henti-hentinya mengumpat pada dirinya sendiri, berteriak bahkan menangis.

Dunia Johnny benar-benar hancur saat dirinya mengetahui jika anak yang selama ini ia acuhkan, anak yang selama ini ia anggap kesalahan ternyata menyimpan banyak lukanya sendirian.

Sejak kapan? Kenapa bisa ia tidak menyadari hal sebesar ini? Kenapa bisa ia begitu asik menikmati kehidupannya, sedangkan salah satu darah dagingnya sedang berjuang di antara hidup dan matinya?

Bodoh sangat bodoh.

Johnny segera turun dan berlari sesaat setelah sampai di apartement anaknya itu.

Beberapa kali Johnny menekan bel, hinggak akhirnya Bumi membuka pintu. Johnny langsung memeluk erat anaknnya itu.

“Maaf, maaf, maaf...” berkali-kali ia mengucap maaf.

“Papa...”

Johnny mengusap pelan wajah Bumi, ia mengecup keningnya berkali-kali. Ia menangis di hadapan Bumi.

“Mana yang sakit sayang? Ini sakit? Ini? Mana? Bilang ke papa, biar papa sembuhin” berkali-kali ia mengusap dan mencium tangan serta wajah Bumi, seolah ia sedang berusaha menyembuhkan luka anak itu.

“Papa, Bumi gapapa” Bumi tersenyum.

“Maafin Bumi ya pah? Udah nyembunyiin sakitnya tiga tahun”

“Tiga tahun?”

“Bumi... kam gak becanda kan?”

Bumi menggeleng pelan

Lagi-lagi Johnny menangis, ia memeluk erat tubuh anaknya serta mengucap kata maaf berkali-kali

“Bumi, harusnya papa selalu ada di samping kamu, harusnya papa hanh bantu kamu. Bumi dunia papa hancur, hati papa sakit, maafin papa”

Lagi dan lagi, Johnny hanya bisa menangisi penyesalannya yang sangat dalam.

“Papa...”

Johnny menatap netra Bumi, terdapat kehangatan sekaligus tatapan kerinduan disana. Bodoh samgat bodoh, bisa-bisanya ia mengabaikan anak berharga ini.

“Liat, Bumi gapapa, papa tenang aja ya? Bumi sehat, buktinya Bumi masih ada di hadapan papa, ngomong sama papa” Bumi tersenyum.

Senyuman itu, benar-benar semakin membuat Johnny semakin hancur.

“Bumi, lihat papa. Maafin papa, ya? Untuk semuanya, semua luka yang udah papa kasih ke kamu. Maaf maaf sekali lagi maaf”

“Papa janji, mulai sekarang papa akan selalu ada buat Bumi, papa akna berusaha jadi orang tua yang baik buat kamu, biarin papa nebus semua dosa-dosa papa sama kamu, ya?”

“Jangan nyembunyiin apapun lagi dari papa, papa gak bakal benci sama kamu. Papa sayang kamu, Bumi kesayangannya papa, sekali lagi maaf maaf” Johnny memeluk erat tubuh Bumi.

Andai saja bisa, Johnny ingin jika rasa sakit yang selama ini Bumi tanggung di pindahkan kepada dirinya. Jangan, jangan lagi ia menganggung sakit sendirian.

Bumi dunianya papa, Bumi jagoannya papa.

𝗧𝗶𝗴𝗮 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗘𝗻𝗮𝗺; 𝗛𝗶𝗱𝘂𝗽 𝗚𝗮𝗸 𝗦𝗲𝗹𝗮𝗹𝘂 𝗧𝗲𝗻𝘁𝗮𝗻𝗴 𝗔𝗸𝘂

“Hei, kok murung?” Ucap Bumi pada perempuan di sampingnya.

Senjani hanya menggeleng pelan.

Bumi terkekeh “Senja, kenapa sedih? Kan uda—“

“Bumi, aku sedih banget ngerti gaksih? Aku khawatir banget, aku takut...” ucap Senjani lirih

Bumi tersenyum, lalu mengusap pelan pucuk kepala Senjani

“Senjani, setiap pertemuan pasti perpisahan...”

“BUMINIH! SIAPA YANG MAU PISAH?!”

Bumi terkekeh “Aku beleum selesai Senja”

“Iya memang betul, setiap pertemuan pasti bakal ada perpisahan. Tapi Ja, kita cuma pisah negara aja, kan? Kamu inget apa yang selalu aku bilang?”

“Aku sayang kamu Senja, jadi aku mohon, jangan khawatirin aku, ya? Udah cukup selama ini kamu selalu khawatirin aku. Sekarang, giliran aku yang bakal berusaha buat jagain kamu, walaupun jauh, tapi aku bakal pastiin kamu baik-baik aja”

“Senja, hidup kamu gak bakal selalu tentang aku, begitu juga aku. Mau gak mau kita harus lewatin fase dimana kita sama-sama pergi ke arah yang beda”

Senjani terisak pelan, ia lalu menatap Bumi “Bumi, aku pasti bakalan kangen banget sama kamu...”

Lagi-lagi Bumi terkekeh, ia menyubut pelan wajah Senjani.

“Kan aku udah bilang, kalau kangen tinggal chat aku, telepon aku Senjani”

“Udah, jangan nangis. Sini peluk dulu”

Senjani menghamburkan pelukannya kepada Bumi, begitupun sebaliknya.

“Senjani, aku bener-bener sayang sama kamu. Semoga nanti kita ketemu dalam keadaan baik-baik aja”

𝗧𝗶𝗴𝗮 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗟𝗶𝗺𝗮; 𝗞𝗲𝘁𝗮𝗸𝘂𝘁𝗮𝗻

𝗕𝘂𝗺𝗶 𝗣𝗢𝗩

Tiga tahun, ya? Gak kerasa banget, rasanya baru kemarin gue ketemu dokter Titan, tapi ternyata udah tiga tahun gue di vonis kena kanker haha.

Kalo kalian tanya gimana rasanya, jawaban gue pasti sakit. Iya emamg sakit, sakit semuanya, fisik, hati, otak, batin.

Dipikir-pikir, tenyata gue kuat banget ya bisa bertahan sejauh ini sendirian tanpa ada seorang pun keluarga gue yang tau. Bahkan temen-temen gue pun gak ada yang tau.

Eh enggak, Janu baru aja tau haha.

Menganai alasan kenapa gue memilih untuk diam, ya karena seperti tadi yang gue bilang ke Janu. Gue gak mau orang-orang di sekitar gue hilangin senyum mereka cuma gara-gara gue.

Jujur aja, berat banget rasanya, selama ini gue selalu diem-diem nahan sakit sendirian, berusaha baik-baik aja di depan orang-orang. Padahal gue gak sekuat itu kok. Bahkan sering banget gue nangis sendirian di kamar.

Tapi, seberat apapun itu, gue bersyukur banget. Tau gak alesannya apa?

Yap betul, Senjani.

Perempuan satu-satunya yang mampu buat gue bertahan sampai sejauh ini, perempuan yang selalu bikin gue yang sakit uni seolah sembuh.

Senjani itu definisi dari obat paling baik di antara yang terbaik.

Sejujurnya, gue takut banget kalo nginget kenyataan bahwa gue ini adalah anak penyakitan yang harusnya cepet mati. Tapi lagi-lagi, rasa takut gue kalah sama kebahagiaan yang Senjani kasih.

Senjani itu penyembuh bagi luka yang gue terima. Perempuan luar biasa yang selalu berusaha jadi yang terbaik untuk orang kesayangannya.

Tuhan, seandainya aja dari dulu gue tau, kalo umur gue gak bakal panjang, gue pasti bakal memilih mati lebih dulu. Tapi sayang, semesta kayaknya udah ngatur semua ini dengan sedemikian rupa.

Terlalu banyak luka yang gue terima, gue terlalu banyak berkorban buat orang lain, gue terlalu banyak peduli sama ornag lain.

Ah... Bodoh banget kan, ya? Hahaha iya gue emang bodoh kok.

Kenapa ya, di saat semesta mulai memihak, justru gue malah semakin sakit. Baru aja gue ngerasa bahagia karena papa sama kakak udah mau nerima gue, baru aja gue ngerasa jadi anak paling beruntung. Tapi kayaknya salah deh haha, bahkan sampai kapanpun semesta gak bakal ada di pihak gue.

Andai aja waktu bisa di puter, andai aja gue bisa kembali ke waktu dimana sebelum gue dilahirkan. Mungkin gue bakal memilih buat gak lahir ke dunia ini daripada harus menderita dan nyusahin banyak orang.

Tapi lagi-lagi, ini sudah takdir, Tuhan yang ngasih takdir menyedihkan ini ke kehidupan gue.

Setiap hari gue selalu takut, takut kalo tiba-tiba gue pergi gitu aja, takut kalo semua impian gue gak tercapai cuma gara-gara penyakit ini.

Dari dulu gue cuma bisa berdoa, semoga apa yang gue takutkan gak bener-bener terjadi, dan walaupun suatu saat gue pergi, setidaknya gue punya papa, kak Azri, Senjani, dan mama mungkin, yang selalu ada di samping gue.

Emang bener, kita harus ngerasain luka dulu sebelum bahagia. Tapi, apakah gue bakal ngerasain apa itu bahagia yang selamanya?

𝗧𝗶𝗴𝗮 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗘𝗺𝗽𝗮𝘁; 𝗣𝗮𝗽𝗮

Dengan cepat Bumi beranjak keluar bangunan itu, setelah membaca pesan dari Papa.

Sesaat setelah pintu terbuka, Bumi melihat lelaki paruh baya yang tengah berdiri di depan pintu dengan wajah lelahnya.

“Pap—“

“Ayo pukul papa, ayo marahin papa, ayo maki papa...” ucap Johnny pada Bumi dengan tangisan yang kini terdengar begitu menyakitkan.

“Papa...”

Johnny meraih tangan Bumi, lalu ia mengarahkannya seolah-olah Bumi sedang memukulinya. Lelaki itu terisak, ia berteriak, ia menangis dan ia berlutut di hadapan Bumi.

“Maaf, maaf, maafin papa. Harusnya papa selalu ada buat kamu, harusnya papa jadi orang tua yang baik buat kamu. Papa payah, papa gak seharusnya jadi orang tua kamu. Ayo Bumi, pukul papa, tendang papa, siksa papa. Papa gak akan marah sama kamu, papa gak bakal pukul kamu lagi...” Johnny terisak di hadapan Bumi.

Sakit, sakit sekali rasanya. Bumi tidak tahu harus bagaimana, jujur saja ia sangat senang melihat Johnny seperti ini, meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Tapi disisi lain, Bumi juga tidak bisa membenci orang ini. Ia menyayanginya, sanhat menyayanginya.

Dengan perlahan, Bumi mensejajarkan tubuhnya dengan Johnny yang sedang berlutut. Bumi merengkuh lelaki paruh baya itu, Bumi memeluknya dengan sangat erat.

“Papa...”

“Dari dulu, Bumi udah maafin papa. Papa gak perlu kayak gini...”

Untuk pertama kalinya selama Bumi hidup, baru kali ini ia merasakan sebuah kehangatan luar biasa saat Johnny tiba-tiba saja berbalik memeluk erat tubuh Bumi, dipeluknya Bumi, di usapnya anak itu dengan lembut.

Bumi menangis dalam pelukan Johnny. Ternyata rasanya seperti ini. Hangat.

“Papa, ternyata rasanya di peluk papa nyaman banget, ya? rasanya, semua luka yang Bumi terima selama ini hilang gitu aja. Papa, nyaman banget”

Johnny mengeratkan pelukannya “maaf, maafin papa, maafin papa sayang.”

“Papa, Bumi suka rasanya, hangat.”

“Pantes kak Azri seneng di peluk papa, ternyata semenenangkan ini...”

Lagi-lagi rasa penyesalan menyeruak ke seluruh ruang di dalam dada Johnny. Bodoh, sangat bodoh. Bisa-bisanya selama ini ia menelantarkan anak luar biasa hebat seperti Bumi.

Johnny melepaskan pelukannya, lalu menatap setiap inci wajah anaknya itu, lalu ia mengecup oelan pucuk kepala Bumi.

“Bumi jagoannya papa, Bumi sayangnya papa, maafin papa untuk semuanya, papa nyesel...” Johhny terisak.

Bumi tersenyum, lalu ia menggerakan tangannya untuk menghapus air mata Johnny.

“Papa, kata Senjani, Tuhan punya skenario luar biasa untuk kita. Mungkin memang seharusnya Bumi ngerasain ini dulu untuk bahagia”

“Papa tau gak? Sejak dulu, Bumi selalu mengagumi papa, walaupun papa gak pernah liat dan nganggap Bumi ada. Tapi papa itu hebat, Bumi sayang banget sama papa.”

“Makasih ya, pah? Makasih karena udah mau minta maaf, makasih karena udah mau meluk Bumi kayak papa yang selalu meluk kak Azri”

“Bumi rasa, ini adalah hari paling bahagia buat Bumi, di peluk dan di panggil jagoan sama papa. Makasih ya pah? Bumi sayang sama papa.”

Johnny kembali memeluk anak itu, rasanya tidak akan pernah cukup untuk meminta maaf. Semua penyesalannya mencul begitu saja, ia benar-benar menyesal atas perbuatannya selama ini.

Ternyata benar, manusia harus merasakan penyesalan terlebih dahulu sebelum dirinya sadar, bahwa ada orang yang benar-benar berharga untuk dirinya.

Tuhan Pemaaf, Tuhan Maha Baik.

Semoga semesta pelahan mulai memihak.

𝗧𝗶𝗴𝗮 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗧𝗶𝗴𝗮; 𝗠𝗮𝗮𝗳

“Terakhir kita kesini kapan ya, Ja?” tanya Bumi pada Senjani.

Senjani menoleh pada Bumi yang duduk di sampingnya “hmm, kayaknya sebulan lalu?”

Bumi menghela napasnya, entahlah perasaannya akhir-akhir ini sangat kacau.

“Kenapa Bumi?”

Bumi tersenyum dan lagi-lagi ia menghela napas “Senjani, maaf, ya?”

Senjani mengerutnya kedua alisnya bingung “Kenapa minta maaf?”

“Kamu tau enggak?” Nada suara Bumi melirih.

Senjani menggeleng “Apa?”

Tiba-tiba saja terdengar suara isakan “Bumi, kenapa nangis?” Senjani dengan cepat merengkuh tubuh Bumi.

Suara isakan itu terdengar sangat menyakitkan, sampai-sampai membuat Senjani ikut meringis mendengar suara isakan Bumi.

Dengan pelan, Senjani menepuk-nepuk pundak Bumi, dengan maksud agar tangisannya mereda.

Bumi mengeratkan pelukannya dan menyembunyikan wajahnya di leher Senjani.

“Senja disini, Bumi gak sendirian, jangan nangis...” ucap Senja menepuk-nepuk pundak Bumi.

“Maaf, maaf aku payah”

“Senja, capek banget, rasanya aku pengen nyerah. Harusnya aku kuat Senja, tapi nyatanya enggak...”

“Aku benci sama diri sendiri Ja, di saat aku berusaha buat benci dan mengabaikan mereka, di sisi lain, aku juga kangen mereka Senja, aku gak sekuat itu.”

Senjani melepaskan pelukannya, lalu ia memperhatikan setiap inci wajah lelaki di hadapannya. Dengan gerakan sangat lembut, Senjani mengusap air mata Bumi.

Perempuan itu tersenyum “Bumi, lelah itu wajar, lelah itu manusiawi Bumi. Wajar kok kamu gini, mungkin aku juga bakal kayak kamu. Tapi Bumi, kamu tahu gak? Kenapa Tuhan ngasih cobaan ini ke kamu?”

Bumi menggeleng pelan.

“Itu semua, biar kamu paham bagaimana caranya bertahan. Untuk bahagia itu perlu waktu Bumi. Sakit, ya? Capek, ya?”

Bumi mengangguk.

“Nah itu, kamu perlu ngerasain sakit dulu biar bahagia Bumi. Percaya, ya? Tuhan itu Maha Baik, Dia pasti lagi nyiapin sesuatu luar biasa buat kamu. Tuhan ngasih cobaan kayak gini itu karena Dia tahu, kalau kamu sebenarnya mampu. Sekarang, kamu cuma perlu bertahan sedikit lagi, ya?”

Senjani kembali merengkuh tubuh Bumi, dipeluknya dengan erat tubuh lelaki itu. Hangat dan menenangkan.

“Boleh kok kamu ngeluh lagi, tapi jangan pernah berpikir buat nyerah kayak waktu itu, janga lakuin hal bodoh lagi kayak waktu itu. Aku takut...”

“Senjani, untuk kesekian kalinya. Makasih, makasih banyak. Kalau gak ada kamu, aku gak tahu harus ngadepin semua ini dengan cara apa. Aku bersyukur punya kamu, aku sayang kamu Senja...”

Senjani terkekeh “udah nangisnya?”

“Jangan nangis lagi, Senja gak suka liatnya.”

Untuk kesekian kalinya Buni bersyukur. Perempuan ini sangat begitu berarti untuk Bumi. Entahlah, bahkan Bumi tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya tanpa Senja.

Lelaki itu menghela napas pelan.

”Tapi Ja, sebentar lagi kamu pergi, aku takut.” batin Bumi.

𝗧𝗶𝗴𝗮 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗗𝘂𝗮; 𝗔𝗹𝗮𝘀𝗮𝗻

Sebagai seorang wanita karir, Clarissa memang dikenal sebagai sosok perempuan pekerja keras, ia juga dikenal sebagai wanita yang pantang menyerah. Apapun yang ia inginkan, sesulit apapun itu, semuanya harus ia dapatkan.

Sejak menikah dengan Johnny, Clarissa memang tidak ingin mempunyai anak, ia berpikir, jika anak itu adalah penghalang untuk segala impiannya.

Waktu itu, setelah setengah tahun pernikahan, Johnny sebagai suami berusaha keras meyakinkan Clarissa agar ia setuju untuk mempunyai anak.

Dengan segala bujuk rayu, akhirnya Johnny berhasil membujuk Clarissa, dan tak lama setelah itu, Clarissa hamil anak pertama yaitu Azri.

Namun, selang satu tahun setelah kelahiran Azri, Clarissa dikabarkan hamil anak kedua, yaitu Bumi.

Jika kalian pikir Azri mendapat kasih sayang sejak bayi, kalian salah. Justru, tiga tahun pertama, baik Azri maupun Bumi, Clarissa tidak pernah mengurus mereka, selalu saja Johnny yang menjaga anak-anaknya itu.

Namun, sejak saat Azri bertumbuh dewasa, Clarissa melihat ada sesuatu yang beda dari Azri. Waktu itu, Azri yang masih berumur empat tahun, ia sudah pintar membaca dan menulis. Sedangkan Bumi, berbicara pun masih tidak jelas.

Dan sejak saat itu, Clarissa mulai memperhatikan Azri, ia seneng melihat Azri bisa banyak hal di unurnya yang terbikang masih kecil. Berbeda dengan Bumi.

Masuk sekolah dasar, Clarissa dibuat senang karena Azri semakin menunjukan kemampuannya sebagai anak cerdas.

Iya, sejak dulu, Clarissa hanya ingin memiliki anak cerdas yang bisa segalanya seperti Azri. Melihat Azri yang seperti itu, membuat Clarissa memiliki kepuasan tersendiri, ia merasa jika kepintaran Azri menurun dari dirinya.

Awalnya Clarissa juga memiliki harapaj besar pada Bumi, namun sayang. Anak itu tidak menunjukan bakat apapun, bahkan bisa dibilang, kemampuan berbicara dan berjalan Bumi cukup lambat, membuat Clarissa enggan untuk mendekatinya. Karena ia pikir, Bumi hanya akan jadi anak yang tidak berguna dan tidak bisa apa-apa.

Kalian ingat? Setiap kali membicarakan perihal nilai, Clarissa selalu menyuruh Bumi agar bisa menyamai peringkat Azri. Itu semua ia lakukan agar keinginan untuk memiliki anak paling pintar terpenuhi. Namun sekali lagi, Bumi berbeda, ia tidak seperti Azri.

Ah mengenai papa, jika kalian pikir Johnny sama seperti Clarissa, kalian salah. Johnny tidak sejahat itu untuk menelantarkan anaknya.

Johnny hanya tidak bisa berbuat apa-apa, entahlah mungkin karena rasa cintanya kepada Clarissa terlalu besar, di karenakan hanya Clarissa satu-satunya wanita yang menemaninya dari dulu. Itu semua yang menyebabkan Johnny menutup mata perihal kehadiran Bumi.

Namun, asal kalian tahu. Jauh di lubuk hati Johnny, ia juga sangat menyayangi Bumi.

Dan mengenai Azri, selama ini, ia telah tumbuh menjadi anak yang selalu mendapatkan apapun yang ua mau.

Tidak pernah semua keinginannya tidak tercapai. Kecuali satu, ia tidak bisa memiliki Senjani.

Di saat sebelumnya ia selalu mendapat apa saja yang ia mau, kini Azri tidak bisa memiliki Senjani. Keegoisan, keserakahan, yang tidak disadari sudah melekat di dalam diri Azri inilah yang membuat Azri selalu takut jika Bumi akan mengambil dan merebut segalanya yang ia punya.

Namun sejujujurnya, ia selalu merindukan Bumi.

𝗧𝗶𝗴𝗮 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗦𝗮𝘁𝘂; 𝗦𝗲𝗺𝘂𝗮 𝗔𝗸𝗮𝗻 𝗕𝗮𝗶𝗸

Senjani baru saja tiba di kosan milik Eza “Ja, Bumi di dalem” ucap Janu.

Senja terdiam sesaat, apakah ia harus masuk?

“Ja, ayo”

Senjani menghela napasnya, ia memberanikan diri untuk masuk kedalam.

Baru saja beberapa langkah, ia sudah melihat Bumi yang sedang terkapar sambil menangis, berteriak, dan bahkan tertawa.

Perempuan itu mendekat “Bumi...”

“Gak ada yang sayang sama gue, dunia gak adil, takdir indah cuma omong kosong, gue gak punya keluarga. Hahahahahaha” Bumi tertawa dan menangis.

Senjani yang melihat itu, langsung memeluk tubuh Bumi dengan sangat erat.

Lelaki itu berusaha menyadarkan dirinya, lalu ia menatap Senjani “Ehehe, Senja?”

Perempuan it mengangguk sambil menahan air matanya “iya, ini Senja, kesayangannya Bumi...”

Senjani mengusap pelan wajah Bumi.

“Kesayangan Bumi? Ehehe, Senja cantik, Bumi suka”

“Bumi... jangan gini” Senjani terisak pelan.

Dalam keadaan setengah sadarnya, Bumi mengusap pelan air mata yang jatuh di kedua pipi Senjani.

“Jangan nangis! Kata mama Bumi, anak lelaki harus kuat.”

“Eh? Senja cewek ya? Hahahahahaha”

“Hehehehe maafin Bumi, jangan marah....” Bumi terkekeh.

“Bumi...”

“Bumi gak punya keluarga Senja, Bumi sendirian hahaha... gak ada yang sayang sama Bumi... hehehehe, Bumi kangen rumah...”

“kenapa ya, semua jahatin Bumi?”

“kenapa? KENAPA SEMUA JAHATIJ BUMI HAH?!” Tiba-tiba saja Bumi mencengkram erat tangan Senjani, membuat perempuan itu kesakitan

“GAK ADA YANG PEDULI SAMA GUA ANJING HAHAHAHAHAHA, LO SEMUA DENGER, CINTA CINTA CINTA, ITU SEMUA OMONG KOSONG HAHAAHAHAHAHAHA”

Senjani memeluk tubuh Bumi lagi “Bumi please jangan gini...”

“Pergi...”

Senjani menggeleng “Enggak.” Ia semakin mengeratkan pelukannya.

“GUE BILANG PERGI!”

“ENGGAK!”

“AKU GAK BAKAL PERGI! DENGERIN AKU!”

Bumi terdiam.

“Please dengerin aku, kamu gak sendirian aku disini Bumi. Tolong... tolong jangan kayak gini”

“Masih banyak orang yang sayang sama kamu, dengerin. Aku yakin kamu pasti denger ini.”

“Aku disini, aku disini Bumi, semua bakal baik-baik aja. Please... aku takut, aku takut kamu kayak gini” Senjani terisak.

“Maaf, maaf karena tadi aku sempet marah dan kecewa sama kamu, maaf karena tadi aku gak ngertiin kamuz aku sayang kamu, jangan gini, please...”

Senjani melepaskan pelukannya, lalu ia mengusap pelan wajah Bumi. Lelaki dengan mata setengah tertutup itu tersenyum “Ehehe, Senja...”

“Kamu cantik hehehe, aku suka”

Senjani terisak “Bumi...”

“Jangan...” Ucapan Bumi terjeda, lelaki itu meraih tangan Senjani, lalu menempelkannya pada pipi miliknya.

“Jangan ninggalin Bumi... Bumi takut sendirian.”

“Heheheh, sayang Senja...”

Lalu Bumi tergeletak, membuat Senjani panik dan menangis.

Memang benar ya, manusia bisa melakukan hal gila jika mereka sedang dalam titik paling rendah dalam hidupnya.

Tidak perlu melakukan banyak hal, kadang kita manusia, hanya butuh di dengar dan di rangkul. Tidak perlu di hakimi.

𝗧𝗶𝗴𝗮 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵; 𝗞𝗮𝗺𝘂 𝗱𝗮𝗻 𝗜𝗺𝗽𝗶𝗮𝗻𝗺𝘂

Pukul setengah sembilan malam, Bumi dan Senja sedang duduk di alun-alun, menikmati angin malam itu, ditemani dengan beberapa jenis jajanan kaki lima.

Bumi tersenyum kala melihat orang-orang yang sedang berbincang dengan seseorang yang mungkin adalah orang penting bagi hidup mereka.

“Bumi...”

Fokus Bumi beralih saat perempuan di sampingnya itu memanggil namanya “apa Senja?” Ucap Bumi.

“Seneng gak?” Tanya Senjani sambil menikmati jagung bakar.

“Seneng apa? Sekarang?”

“Ya seneng dong, kan lagi sama kamu”

Senjani terkekeh pelan “Kamu makin gede kenapa sih makin bisa bikin aku senyum?”

Bumi terkekeh “Namanya juga udah gede”

“Bumi...”

“Hmm?”

“Bumi seneng banget ya kalo lagi sama Senja?”

Bumi mengangguk lalu tersenyum “lebih dari seneng Senja”

“Kalau misalkan aku pergi, Bumi bakal sedih gak?”

Lelaki itu mengangkat sebelah alisnya “Kok ngomongin pergi? Senja mau ninggalin Bumi?”

Perempuan itu menunduk.

“Senja, kok diem? Jangan bikin aku takut.”

“Bumi...”

“Senja, dapet beasiswa”

“SERIUSAN?!” Bumi berteriak kaget.

“Ih, jangan teriak!”

“Hehe maaf”

Senjani menghela napasnya

“Kok kayak sedih? Ya bagus dong dapet beasiswa? Kamu kan pinter”

“Masalahnya, beasiswa itu buat aku kuliah di luar Bumi. Luar negeri, aku dapet beasiswa di Paris”

Senjani lagi-lagi menghela napasnya. “Bumi, aku bingung. Aku seneng banget dapet beasiswa, apalagi buat kuliah di negara impian aku. Tapi disisi lain, aku gamau ninggalin kamu sendiri, aku takut, aku khawatir.”

“Gimana kalo pas aku pergi kamu kesakitan lagi? Aku jauh, aku gabisa meluk kamu kalo lagi sedih, aku gabisa liat senyum kamu kalo lagi bahagia Bumi. Aku gak bisa ke pantai sama kamu lagi”

Bumi terdiam mendengar ocehan Senjani. Lalu sedetik kemudian ia tersenyum, lalu meraih pergelangan tangan Senjani dan mengusapnya lembut.

“Hei, denger...”

“Jangan pernah berpikir buat nolak kesempatan itu ya? Aku gapapa, aku udah gede Senja, aku udah dewasa, aku bisa ajga diri sendiri sekarang”

“Tap—“

Bumi menatap mata Senjani lalu tersenyum “Jangan nunda impian kamu demi aku ya? Aku gamau jadi penghalang buat masa depan kamu Senja”

“Kamu dan impian kamu, itu semua hal penting bagi aku. Aku bakal dukung apapun impian kamu, aku gamau jadi penghalang. Jadi, terima ya? Jangan mikirin aku.”

“Bumi...”

“Tapi impian kita gimana?”

Lagi-lagi Bumi terkekeh “itu biar jadi urusan aku aja. Sekarang aku sadar, manusia emang perlu jalanin hidup mereka masing-masing sesuai skenario yang Tuhan kasih.”

“Jangan sedih Senjani, selama kita masih di bawah langit yang sama, itu gapapa. Aku seneng kamu dapet kesempatan itu, jangan sia-siain, ya?”

Senjani menatap Bumi, lalu menarik lelaki itu kepelukannya, tidak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya.

“Bumi, aku sayang banget sama kamu. Maafin aku, maafin aku”

Bumi tersenyum “jangan minta maaf, gak ada yang salah. Aku justru seneng dengernya.”

Bumi melepaskan pelukannya, lalu menatap dan mengusap pipi Senjani yang kini basah dengan air matanya.

“Jangan nangis, masih banyak waktu buat kita. Masih ada enam bulan lagi sampai kita lulus. Akh bakal baik-baik aja, tenang, ya? Udah ah jangan nangis malu, kayak anak kecil” Bumi terkekeh.

Lelaki itu menatap wajah mungil milik perempuannya. Cantik, selalu cantik.

Entahlah, Bumi senang mendengarnya tapi sebenarnya disisi lain, ia sendiri juga takut. Takut jika ia tidak akan bisa bertemu lagi dengan perempuan kesayangannya ini. Takut jika suatu saat, perempuan kesayangannya ini di ambil oleh orang lain yang memang punya segala hal di banding dirinya.

“Pulang, yuk? Udah malem”