Di sini.
Agam menghela napasnya ketika berhadapan dengan Aciel.
“Kenapa tiba-tiba mau pulang?”
Aciel terdiam.
“Gak betah, ya di rumah Ayah?” Tanya Agam.
Aciel menggeleng pelan.
“Terus kenapa, Nak? Kenapa mau pulang? Gak seneng, ya di sini sama Ayah?” Tanya Agam lagi.
Aciel menggeleng. “Seneng kok Yah, cuma aku belum ada izin. Meskipun udah nggak ada pelajaran tapi aku gak enak kalau terus-terusan gak hadir,” jawab Aciel pada Agam.
“Ya sudah nanti Ayah yang bicara ke wali kelas kamu. Bisa, kan?”
Aciel terdiam. Ia bingung bagaimana cara menolak.
“Kamu disuruh pulang, ya, sama Ibu kamu?” Tiba-tiba saja Lestari datang dan duduk di samping Agam.
Aciel mengalihkan pandangannya pada Lestari begitu juga Agam.
Terdengar suara helaan napas. Raut wajah Lestari berubah sedih. “Aciel, padahal Ayah kamu itu senang sekali kamu di sini. Dari dulu dia pengen ketemu kamu, tapi gak bisa apa-apa karena keegoisan Ibu kamu,” jelas Lestari.
“Bertahun-tahun Ayah kamu nyoba buat ketemu, tapi berakhir di usir apalagi pas kamu masih kecil.”
Aciel terdiam mendenger penuturan Lestari.
“Kamu gak pernah tau, Nak. Gimana menderitanya Ayah kamu di saat Ibu kamu milih buat pergi,” ucapnya lagi.
Lestari tiba-tiba saja mengusap air matanya. Seolah menunjukan kesedihannya pada Aciel.
“Saya saksinya, Nak. Gimana kesulitannya Ayah kamu di saat dia nyoba buat mertahanin kamu. Iya, kan Mas?” jelas Lestari lagi sambil mengusap tangan Agam.
“Di sini, aja, ya? Sama Ayah. Nadin juga suka kamu di sini,” ucap Lestari tersenyum pada Aciel.
“Sudah cukup nurutin ego Ibumu untuk pisah sama Ayah.”