Rindu
Pukul 2 dini hari, Aciel pulang ke rumah dengan wajahnya yang kusut.
Sesak, rasanya sesak sekali. Sebab sebelum ia memutuskan untuk pulang ke rumah, Aciel mencari tahu tentang Ayahnya.
Aciel memasuki ruang tengah, terlihat ada tas dan juga barang milik Jauzan dan Isha. Perlahan ia memeriksa kamar tamu, dan benar saja jika ada Jauzan dan Isha sedang tidur di sana. Lantas tanpa pikir panjang, Aciel langsung berjalan menuju kamar Ocean—Ibunya.
Dibukanya pintu itu pelan-pelan oleh Aciel. Anak itu berjalan mendekati Ocean yang sudah tertidur.
Aciel menghela napasnya kemudian dengan hati-hati ia mulai membaringkan tubuhnya di samping Ocean yang tengah tertidur pulas.
Tanpa Ocean ketahui, sekarang Aciel memeluknya, tanpa mampu membendung air matanya lagi, sebab sejak tadi, Aciel sudah mati-matian menahan air mata itu.
Katakan saja Aciel lemah, sebab apapun yang berhubungan dengan Ayah, Aciel tidak sanggup.
“Ibu maafin aku ya,” ucapnya sangat pelan dalam pelukan itu.
“Maaf karena aku masih berharap kalau Ayah ada di sini, padahal Ayah orang yang selalu bikin Ibu nangis dan sakit …,” lirihnya.
Tangisan itu sulit sekali dibendung, sampai-sampai untuk bernapaspun Aciel merasa sangat berat.
Ia memeluk Ocean dengan hati-hati.
“Aku kangen Ayah …,” gumamnya lagi.
Mati-matian Aciel menahan tangisannya supaya Ocean tidak bangun.
“Aku nggak minta Ayah buat balik lagi sama Ibu kok. Tapi aku juga mau punya sosok Ayah yang ada di samping aku kayak orang lain.”
Lagi, tangisan anak itu selalu lolos.
Aciel menarik napasnya dalam, lalu tak lama ia beranjak.
“Ciel sayang Ibu …,” gumamnya lagi sambil mengecup kening Ocean hati-hati, sebelum akhirnya ia memilih pergi dari sana dengan matanya yang sembab.
Dan untuk kesekian kalinya, yang bisa Aciel lakukan adalah memendam semua rasa rindunya, bersikap seolah-olah ia baik-baik saja tanpa sosok Ayah.