Kebahagiaan dan Luka
Perihal kepulangan, yang ia mau bukan seperti ini.Bukan ini yang Haikal mau, bukan seperti ini.
Terlalu tiba-tiba sampai membuat Haikal lemas dan tidak sanggup untuk mengendarai mobilnya menuju rumah.
Lelaki itu menangis dengan jemari yang menggenggam kemudi kuat-kuat.
Rasanya terlalu sesak, sampai membuat dirinya kesulitan bernapas.
Tujuh tahun, ia menanti kepulangan ini. Selama tujuh tahun. Tapi sekarang apa yang ia dapatkan?patah lagi? Kehilangan lagi?
Haikal tidak mengerti, apa yang salah dengan dirinya. Apakah ia membuat kesalahan sampai-sampai penantiannya selama ini harus sia-sia?
Lelaki itu menggeleng, berusaha menahan dirinya untuk tidak menangis.
Berdarah-darah ia untuk sampai pada titik ini. Titik dimana ia bisa menunjukan pada semua orang bahwa sekarang ia berhasil.
Terlalu banyak hal yang sudah Haikal lalui, semuanya Haikal lakukan sendiri, ia bangun kembali semuanya dari nol.
Berdarah-darah ia merangkak untuk bisa sampai di titik ini. Titik dimana ia yakin kalau setelah perjuangannya ini ia mampu memeluk kembali perempuannya.
Terlalu berdarah-darah ia berjuang sampai-sampai yang ia lupa perihal kehilangan.
Kehilangan ini memang selalu menyakitkan bagi semua orang, termasuk Haikal.
Maka dari itu yang Haikal lakukan saat ini untuk meredakan lukanyabadalah pulang dah bertemu dengan ibu.
Langkah itu menuntunnya untuk pergi ke dalam dekapan ibu yang selalu bisa menyembuhkan.
“Ibu ....” lirih Haikal, kemudian dipeluknya tubuh rapuh itu oleh Ibu.
“Adek .... ada apa?” Ucap perempuan paruh baya itu lembut.
Haikal tak menjawab, yang ia lakukan saat ini hanya memeluk erat tubuh Ibu.
Perempuan paruh baya itu menghela napasnya.
Bungsunya ini sedang tidak baik-baik saja.
“Ibu sakit ....”
“Kenapa Haikal harus kehilangan lagi?”
“Tujuh tahun bu, tujuh tahun Haikal disini, tapi yang Haikal dapetin cuma kepergian lagi ....” lirih Haikal.
ah ibu mengerti sekarang kemana arah pembicaraan ini.
Lantas, dengan jemarinya yang mulai mengerut, ibu mengusap kepala Haikal dengan lembut.
“Sakit, ya?” Ucap ibu yang dibalas anggukan oleh Haikal.
Ibu menghela napasnya, kemudia menatap wajah kusut si bungsu ini. Lalu ia mengusapnya.
“Dengerin ibu ....”
“Hidup itu selalu beriringan sama dua hal.”
“Beriringan antara kebahagiaan juga luka,” ucap ibu pada kesayangannya ini.
“Dua hal ini, kebahagiaan dan luka, gak akan pernah bisa dihindari.”
“Dua hal itu mutlak. Kalau bukan kebahagiaan apalagi yang manusia dapatkan selain luka?”
Perempuan itu kembali mengusap wajah ini, dengan hati-hati. Putranya sangat kacau.
“Berharap berlebihan sama manusia itu enggak baik. Semua yang berlebihan itu gak baik.”
“Boleh berharap, boleh menaruh harap pada seseorang, tapi jangan berlebihan.”
“Kamu tau kenapa sekarang kamu bisa ngerasa sakit dan terluka?” Tanya Ibu membuat Haikal menatap netranya.
“Karena selama ini kamu terlalu berlebihan menaruh harapan juga kepercayaan pada manusia, sampai kamu lupa kalau sebenarnya kamu juga bisa kehilangan,”
Haikal terdiam mendengar ucapan ibu.
“Harapan-harapan yang selalu kamu inginkan. Itu yang bikin kamu sakit karena gak sesuai dengan yang kamu harapkan.”
Ibu menghela napasnya.
“Lepaskan, relakan, ya?”
“Kebahagiaan kamu sudah bukan lagi ada di manusia yang sama,” ucap Ibu.
“Jangan lukain diri sendiri, ya? Jangan salahin diri sendiri juga. Karena itu semua gak akan ngubah apapun.
“Cukup maafkan, biar waktu yang nyembuhin lukanya, ya?”
Perempuan paruh baya itu kemudian kembali memeluk tubuh Haikal.
“Putra ibu kuat, putra ibu hebat,” ucapnya lembut.
Dalam pelukan itu, Haikal melepaskan segala sesak serta rasa sakitnya.
Memang benar, berharap terlalu banyak kepada manusia itu memang tidak baik.
Kita tidak akan pernah tahu bagaimana isi hati dan pikiran seseorang. Bisa saja hari ini ia berkata cinta, tapi bisa saja esoknya ia meninggalkan.
Kebahagiaan serta luka, itu dua hal mutlak yang selalu terjadi pada hidup manusia.
Jangan banyak menaruh harap pada manusia, juga jangan terlalu banyak memberi harap pada manusia.
Maka dari itu, yang harus Haikal lakukan sekarang adalah memaafkan juga mengikhlaskan apa yang tidak menjadi miliknya.
Meskipun ia harus kembali patah dan terluka. Tapi ia tidak boleh egois. Karena kenyataannya, tidak semua hal yang diharap untuk menjadi miliknya tidak akan selalu menjadi miliknya, sekeras apapun ia berusaha. Jika semesta berkata lain, semua itu tidak akan bisa terjadi.
Dan untuk semua luka dan rasa sakit, biar waktu yang menyembuhkan.