Terlalu banyak hal

Haikal menghela napasnya setelah ia membaca pesan yang dikirimkan oleh Yara—teman semasa kuliahnya.

Lelaki yang kini menginjak usia dua puluh delapan tahun itu pun menyeruput segelas teh hangat, sambil menatap langit malam di balkon apartement milik Zidan.

“Gue kapan, ya, Ta?” Gumamnya sambil menatap langit malam itu.

Lelaki itu tersenyum miris, mengingat tentang bagaimana ia yang selalu berharap tentang kepulangan perempuannya.

Kalau boleh jujur, Haikal ini sudah berkali-kali ingin menyerah, sudah berkali-kali juga ia ingin melepaskan. Tapi entah kenapa, setiap kali ia ingin melepas, semua memori bersama perempuannya itu selalu terlintas di benaknya.

Tentang bagaimana mereka pertama kali bertemu, tentang bagaimana ia yang tiba-tiba saja datang lalu memilih untuk menjatuhkan semestanya pada Ralita.

Haikal masih ingat sekali, bagaimana ia pertama kali bertemu Ralita di lorong perpustakaan sekolah.

Kala itu, Haikal yang tengah bolos pelajaran memilih untuk pergi ke perpustakaan.

Bukan, bukan untuk belajar, melainkan untuk tidur. Karena dulu bagi Haikal perpustakaan itu tempat paling nyaman untuk bersembunyi dari riuhnya sekolah.

Haikal masih ingat betul, bagaimana ia yang tak sengaja menjatuhkan buku serta air minum milik perempuannya itu.

Entahlah, Haikal bahkan tidak mengerti, mengapa ia bisa jatuh pada Ralita hanya dengan pandangan pertama.

Waktu Haikal tak sengaja menabrak pundak Ralita, bukan kemarahan yang Haikal dapatkan dari perempuan itu. Tapi senyum.

Iya, kala itu Ralita hanya tersenyum pada Haikal tanpa amarah sedikit pun.

Perempuan itu hanya tersenyum sambil membersihkan bukunya yang terkena tumpahan air.

Tapi anehnya, Ralita sama sekali tidak marah pada Haikal. Perempuan itu hanya tersenyum kemudian ia melangkah pergi meninggalkan Haikal yang masih setia menatapnya.

Bilang saja ini gila, tapi bagi Haikal, Ralita ini adalah satu-satunya orang yang berhasil membuat dirinya jatuh bahkan saat pertama kali mereka bertemu.

Lalu sejak saat itu, Haikal bertekad untuk membuat Ralita jatuh menjadi miliknya.

Mungkin memang sudah takdir semesta, Haikal dan Ralita tiba-tiba saja menjadi dekat kemudian mereka berdua memilih untuk saling melengkapi satu sama lain.

Jika diingat, banyak sekali hal yang sudah Haikal lalui. Tentang bagaimana ia yang berusaha menjadikan Ralita miliknya, tentang bagaimana ia yang selalu ingin melindungi Ralita, dan tentang bagaimana ia yang selalu merasa dicintai oleh Ralita.

Semuanya ini berkat Ralita. Perempuan itu yang selalu mengajarkan Haikal untuk memberi maaf pada orang-orang. Perempuan itu yang membuat Haikal sadar, bahwa ia juga layak untuk dicintai.

Terlalu banyak hal yang tidak akan pernah bisa orang lain pahami tentang mereka.

Haikal si berandalan dan Ralita si penyabar. Mereka ini saling melengkapi satu sama lain.

Meskipun banyak hal yang Haikal sesali, banyak hal yang ingin ia perbaiki.

Seandainya saja dulu ia tidak keras kepala, seandainya saja ia terbuka pada Ralita, seandainya saja ia bisa membagi semua rasanya pada Ralita, seandainya saja ia lebih sering menghabiskan waktu bersama Ralita. Mungkin sampai saat ini Haikal tidak akan pernah merasakan penyesalan. Meskipuj ia yang ditinggalkan.

Dari Ralita Haikal belajar, bahwa sekuat-kuatnya manusia, ia juga butuh bahu dan peluk untuk sekedar mengeluh.

Dari Ralita Haikal belajar, bahwa tidak semua hal bisa diatasi oleh diri sendiri.

Dari Ralita Haikal belajar, bahwa memaafkan tidak pernah sesulit itu.

Dari Ralita Haikal belajar, bahwa semua orang selalu layak untuk mendapatkan cinta.

Ah terlalu banyak hal yang belum sempat Haikal sampaikan termasuk ia yang sangat mencintai Ralita.

Rumit, semuanya rumit.

Maka dari itu, Haikal memilih beranjak dari duduknya, kemudian ia menghela napasnya berusaha menahan sesak yang selalu membuncah di seluruh ruang dadanya.

“Gue harap, penantian gue juga gak sia-sia, ya, Ta?” Gumamnya sambil berdiri menatap langit malam itu.