Dengam tergesa-gesa, Johan melajukan mobilnya kencang menuju rumah setelah sebelumnya ia mendapati pesan dari putra sulungnya.
Perjalanan yang seharusnya memakan waktu dua puluh menit kini hanya sepuluh menit ia tempuh.
Pakaian yang Johan kenakan bahkan sudah tidak karuan, kemeja yang kusut, dasi yang tak rapi serta jas yang sebelumnya ia pakai pun entah ia simpan di mana. Rambutnya sangat berantakan.
Dengan langkahnya yang cepat, ia segera masuk ke dalam rumah. Baru saja ia membuka pintu, sudah terdengan suara barang pecah.
“Mama udah!” Terdengar suara teriakan dari arah dapur, lelaki itu pun segera menghampiri. Lantas, tanpa basa-basi ia pun segera berlari menuju suara.
“BAJINGAN, BRENGSEK!” Teriak seorang perempuan yaitu Clarissa.
“MAMA STOP!” Teriak Azri di hadapan perempuan itu yang sedang berusaha untuk melemparkan sesuatu di genggamannya.
Tanpa pikir panjang Johan lari menuju keduanya, tidak peduli jika pecahan kaca berserakan di lantai.
Johan memeluk Clarissa yang tengah berusaha melempar gelas di genggamannya, ia peluk Clarissa erat membuat perempuan itu berteriak dan memberontak.
“LEPASIN!”
“Mama udah Mama,” di hapadannya ada Azri yang juga berusaha menenangkan Clarissa.
“BAJINGAN KAMU, GARA-GARA KAMU HIDUP SAYA BERANTAKAN!” Teriak Clarissa entah pada siapa.
“Kak, bawa gelas di tangan Mama,” ucap Johan membuat Azri mengangguk dan segera merampas benda yang wanita itu genggam.
Clarissa semakin memberontak, Johan semakin erat memeluk.
“Sa, Udah. Tenang, aku di sini …”
Suara tangisan terdengar sangat kencang.
“Hancur, hidup aku hancur,” ucap Clarissa menangis.
“Gara-gara dia hidup aku hancur. HIDUP AKU BERANTAKAN!” Teriaknya lagi memberontak.
Azri yang semula hanya berdiri ikut memeluk erat Clarissa bersama dengan Johan.
“Mama tenang, Ma. Ini Kakak sama Papa, Mama tenang ya, Ma ..” ucap Azri berusaha menenangkan.
“Sayang udah …” ucap Johan lembut.
Tangisan Clarissa yang semula terdengar kencang perlahan mengecil.
“Bumi, aku mau ketemu Bumi ….” Lirih Clarissa.
“Maaf, maafin Mama …” ucapnya lagi.
Sakit, ini sakit sekali. Johan dan Azri hanya bisa memeluk dan berusaha menenangkan Clarissa dengan lembut, sebab jika mereka berteriak, Clarissa akan semakin mengamuk.
Dada Azri terasa sangat sesak menyaksikan hal ini. Sebab tak lama sejak kepergian Bumi, emosi Clarissa jadi tidak terkendali seperti ini. Bahkan tak lama sejak kepergian Bumi, Clarissa sempat di bawa ke rumah sakit jiwa dan berakhir di rawat inap selama dua bulan lamanya.
“Gara-gara dia Mas, gara-gara dia hidup aku hancur …,” lagi, Clarissa berucap.
“Iya Sa, udah semuanya udah selesai udah berakhir, ada aku sa, jangan khawatir, tenang ya,” ucap Johan lembut sekali.
Azri hanya terdiam, jujur saja, Azri masih tidak mengerti. Setiap kali Clarissa mengamuk ia selalu ngatakan bahwa dirinya hancur karena seseorang.
Ingin sekali Azri bertanya pada Johan, namun ia takut.
‘Kamu’ yang dimaksud Clarissa itu, siapa? Apa hubungannya dengan semua ini?
Siapa yang membuat Clarissa berantakan dan hancur?
Pertanyaan-pertanyaan itu selalu berputar di kepala Azri.
Azri menghela napasnya panjang.
“Pa, kakak beresin dulu pecahan kacanya, kaki Mama luka,” ucap Azri yang perlahan beranjak setelah ia merasa jika Mamanya itu sudah mulai tenang.
Johan mengangguk. “Biar Papa yang bersihkan lukanya …,” ucap Johan kemudian tak lama ia membopong Clarissa menjauh menuju ruang tengah.
Azri yang masih berdiri di sana hanya bisa menghela napas panjang sebelum akhirnya ia membersihkan semua kekacauan ini.