Jjaejaepeach

Entah sudah berapa malam kuhabiskan hanya untuk berdiam diri dan berpikir.

Kapan perasaan seperti ini berakhir?

Mati, ternyata seiring berjalannya waktu, yang seharusnya tetap tumbuh justru perlahan mati. Padahal seingatku, hampir setiap hari aku coba siram itu supaya tetap tumbuh.

Perasaan dan cinta yang selama ini aku usahakan ternyata sia-sia. Sebab nyatanya perasaanku tak sehebat kamu.

Sial, padahal jauh di dalam lubuk hati, aku pun ingin mempertahankan namun memang kenyataanya aku payah.

Jalan yang kupikir akan dilalui begitu halus, nyatanya tidak. Terlalu banyak lubang yang akhirnya membuat aku jatuh hingga aku kesulitan untuk sampai ke tujuan.

Pikiranku terlalu dangkal, aku merasa di pejalanan ini aku sendirian.

Pegang, tolong genggam.

Aku ingin kamu genggam, tapi aku merasa genggamanmu tak seerat itu.

Goyah, hal yang sudah susah payah aku bangun sekarang mulai goyah, banyak retak kecil yang lambat-laun semakin besar dan lebar.

Kupikir dengan mengabaikan luka kecil yang semakin lama semakin banyak itu semua akan baik saja. Namun ternyata salah.

Perjalanan ini terlalu melelahkan. Terlalu melelahkan sebab kita sangat berantakan.

Perjalanan ini terlalu perih, sebab terlalu banyak luka kecil yang tergores.

Maaf seribu maaf, sebab aku tak sehebat kamu dalam hal mencintai.

Maaf seribu maaf, sebab perasaanku tak selapang kamu perihal memaafkan.

Maaf seribu maaf, sebab berjalan bersamaku tak menyenangkan.

Dan maaf seribu maaf, sebab akhirnya jalan buntu yang kita temui.

Selamat jalan, semoga dalam perjalananmu kali ini, selalu disertai perasaan menyenangkan.

Selamat jalan semoga kamu menemui jalan panjang.

Denting jam mulai terdengar. Ahh ternyata sudah pukul 2 dini hari.

Sunyi sekali seperti biasanya, hanya ada suara jangkrik yang sayup-sayup terdengar di telinga.

Pukul 2 dini hari, dan aku masih terjaga.

Isi kepalaku terlalu berat sampai-sampai saat berusaha memejamkan mata rasanya sulit.

Pukul 2 dini hari, dan aku masih terjaga.

Entah sudah berapa malam aku habiskan hanya untuk memutar segala peristiwa yang terjadi setiap hari.

Ini terlalu melelahkan. Aku terlalu banyak memikul beban.

Pukul 2 dini hari, dan aku masih terjaga.

Mataku memerah, sangat merah sampai membuatnya berair. Aku sungguh tidak tahan.

Aku menangis, aku tidak tahu malu, sebab setiap malam yang aku lakukan hanyalah mengutuk takdir. Takdir yang sudah jelas harus aku terima. Namun aku lupa diri dan malah meminta hal tidak sesuai dan melebihi porsiku.

Pukul 2 dini hari, dan aku masih terjaga.

Sial ternyata memang aku kurang bersyukur.

Kepalaku terlalu berisik dan menganggap semua kesulitan ini tidak bisa aku hadapi.

Payah, aku payah.

Aku lupa diri dan merasa jika aku adalah manusia paling sial.

Aku lupa diri dan merasa jika beban yang kupikul ini bukan tanggung jawabku, tapi kenyataannya memang tanggung jawabku.

Dulu aku pikir jadi dewasa itu menyenangkan, ternyata setelah beranjak dewasa, semua hal yang aku bayangkan tidak semudah itu untuk aku gapai.

Aku terlalu takut, rasa takutku terlalu besar sampai rasanya aku selalu tertinggal dari orang-orang sekitar.

Pukul 2 dini hari, dan aku masih terjaga.

Semoga esok hari, semua hal baik-baik saja.

Hiruk pipuk kota membuat perempuan ini akhirnya memilih untuk menenangkan kepalanya di sebuah coffe shop yang tak jauh dari tempatnya bekerja. Perempuan itu memilih untuk singgah di tempat yang menurutnya nyaman dan tidak cukup ramai.

​Kepalanya terasa sangat berat, sampai tadi saat bekerja ia merasa kepalanya seperti tertimpa batu besar. Benar-benar melelahkan.

​Suara helaan napas terdengar, jemari kecil itu bergerak membuka sebuah tas berisikan beberapa dokumen, laptop dan juga buku diary yang sejak dulu selalu ia bawa kemana pun. ​Senjani—perempuan itu yang kini tengah berusaha menenangkan riuhnya isi pikirannya.

​Lagi, suara helaan napas terdengar sangat berat. Entah kenapa ia merasa jika hari ini terasa sangat berat. Bahkan sejak semalam ia terus saja menangis, samai-sampai saat ia datang ke tempat dirinya bekerja, rekan kerjanya bertanya soal mata Senjani yang terlihat sembab.

​Iya, Senjani menangis semalaman sebab ia sedang merasa rindu pada seseorang yang sangat ia cintai—Bumi. ​Rasa rindu ini ternyata bisa sangat menganggu dan membuat harinya terasa berat.

​Setelah kepergian Bumi, sepertinya Senjani sudah mulai berteman dengan rasa rindu yang entah akan sampai kapan hilangnya.

​Senjani saat ini tengah duduk di meja halaman belakang coffe shop itu. Hembusan angisn terasa mamasuki pori-pori kulitnya, sejuk.

​Mata Senjani bergerak, ia menatap langit malam, tidak ada Bintang hanya terlihat bulan. ​Senjani memejamkan matanya sejenak, kemudian tak lama jemarinya bergerak membuka sebuah buku yang sejak dulu selalu ia bawa kemanapun.

Perlahan ia membuat buku itu, ia membaca setiap halaman Dimana di sana terdapat coretan-coretan tangannya. ​Sebuah senyuman terbentuk ketika ia membaca tulisan-tulisannya yang sejak dulu sengaja ia tuangkan di sana sebagai bentuk curahan hatinya.

​Ternyata Senjani benar-benar mencintai Bumi sedalam itu, sebab di dalam buku itu tertuang semua hal perihal Bumi, dari mulai pertama kali ia tak sengaja bertemu dengan Bumi di dalam bus sekolah, sampai detik-detik terakhir curahan hatinya sebelum ia kehilangan Bumi.

​Senyuman yang tadinya merekah perlahan pudar ketika ia membaca isi tulisannya perihal ia yang harus bersiap kehilangan Bumi.

​Rasa sesak kembali menyeruak, perlahan air matanya keluar, ia menunduk kemudian ia menangis.

​Tangannya masih bergekar membuka setiap halaman yang ada di sana, sampai akhirnya ia membuat lembaran baru yang terlihat masih kosong. Senjani terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia memilih untuk menuliskan sesuatu di halaman kosong itu.

​Perlu waktu yang cukup lama untuk ia menuangkan perasaannya ke dalam sebuah tulisan itu. Senjani berusaha mehan rasa sesak, sampai akhirnya ia berhasil menuangkan perasannya ke dalam tulisan itu.

​Baru saja ia selesai menulis dan menutup buku itu, ia dikagetkan oleh seseorang yang tiba-tiba saja datang dan duduk di kursi kosong di hadapannya. Senjani terdiam sejenak. Ia sangat mengenal siapa yang menghampirinya saat ini.

Dengam tergesa-gesa, Johan melajukan mobilnya kencang menuju rumah setelah sebelumnya ia mendapati pesan dari putra sulungnya.

Perjalanan yang seharusnya memakan waktu dua puluh menit kini hanya sepuluh menit ia tempuh.

Pakaian yang Johan kenakan bahkan sudah tidak karuan, kemeja yang kusut, dasi yang tak rapi serta jas yang sebelumnya ia pakai pun entah ia simpan di mana. Rambutnya sangat berantakan.

Dengan langkahnya yang cepat, ia segera masuk ke dalam rumah. Baru saja ia membuka pintu, sudah terdengan suara barang pecah.

“Mama udah!” Terdengar suara teriakan dari arah dapur, lelaki itu pun segera menghampiri. Lantas, tanpa basa-basi ia pun segera berlari menuju suara.

“BAJINGAN, BRENGSEK!” Teriak seorang perempuan yaitu Clarissa.

“MAMA STOP!” Teriak Azri di hadapan perempuan itu yang sedang berusaha untuk melemparkan sesuatu di genggamannya.

Tanpa pikir panjang Johan lari menuju keduanya, tidak peduli jika pecahan kaca berserakan di lantai.

Johan memeluk Clarissa yang tengah berusaha melempar gelas di genggamannya, ia peluk Clarissa erat membuat perempuan itu berteriak dan memberontak.

“LEPASIN!”

“Mama udah Mama,” di hapadannya ada Azri yang juga berusaha menenangkan Clarissa.

“BAJINGAN KAMU, GARA-GARA KAMU HIDUP SAYA BERANTAKAN!” Teriak Clarissa entah pada siapa.

“Kak, bawa gelas di tangan Mama,” ucap Johan membuat Azri mengangguk dan segera merampas benda yang wanita itu genggam.

Clarissa semakin memberontak, Johan semakin erat memeluk.

“Sa, Udah. Tenang, aku di sini …”

Suara tangisan terdengar sangat kencang.

“Hancur, hidup aku hancur,” ucap Clarissa menangis.

“Gara-gara dia hidup aku hancur. HIDUP AKU BERANTAKAN!” Teriaknya lagi memberontak.

Azri yang semula hanya berdiri ikut memeluk erat Clarissa bersama dengan Johan.

“Mama tenang, Ma. Ini Kakak sama Papa, Mama tenang ya, Ma ..” ucap Azri berusaha menenangkan.

“Sayang udah …” ucap Johan lembut.

Tangisan Clarissa yang semula terdengar kencang perlahan mengecil.

“Bumi, aku mau ketemu Bumi ….” Lirih Clarissa.

“Maaf, maafin Mama …” ucapnya lagi.

Sakit, ini sakit sekali. Johan dan Azri hanya bisa memeluk dan berusaha menenangkan Clarissa dengan lembut, sebab jika mereka berteriak, Clarissa akan semakin mengamuk.

Dada Azri terasa sangat sesak menyaksikan hal ini. Sebab tak lama sejak kepergian Bumi, emosi Clarissa jadi tidak terkendali seperti ini. Bahkan tak lama sejak kepergian Bumi, Clarissa sempat di bawa ke rumah sakit jiwa dan berakhir di rawat inap selama dua bulan lamanya.

“Gara-gara dia Mas, gara-gara dia hidup aku hancur …,” lagi, Clarissa berucap.

“Iya Sa, udah semuanya udah selesai udah berakhir, ada aku sa, jangan khawatir, tenang ya,” ucap Johan lembut sekali.

Azri hanya terdiam, jujur saja, Azri masih tidak mengerti. Setiap kali Clarissa mengamuk ia selalu ngatakan bahwa dirinya hancur karena seseorang.

Ingin sekali Azri bertanya pada Johan, namun ia takut.

‘Kamu’ yang dimaksud Clarissa itu, siapa? Apa hubungannya dengan semua ini?

Siapa yang membuat Clarissa berantakan dan hancur?

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu berputar di kepala Azri.

Azri menghela napasnya panjang. “Pa, kakak beresin dulu pecahan kacanya, kaki Mama luka,” ucap Azri yang perlahan beranjak setelah ia merasa jika Mamanya itu sudah mulai tenang.

Johan mengangguk. “Biar Papa yang bersihkan lukanya …,” ucap Johan kemudian tak lama ia membopong Clarissa menjauh menuju ruang tengah.

Azri yang masih berdiri di sana hanya bisa menghela napas panjang sebelum akhirnya ia membersihkan semua kekacauan ini.

Suara gelak tawa memenuhi ruang makan malam ini. Obrolan-obrolan sederhana, canda tawa menyatu membuat hangat suasana.

Keempat orang itu berkumpul di meja makan, tampak hangat sekali.

“Mau ini?” Tanya Clarissa pada putranya yang duduk berhadapan dengan dirinya.

“Mau,” ucapnya mengangguk senang.

Clarissa tersenyum, kemudian ia membagi nasi dan lauk pauk kesukaan putranya itu.

“Wih banyak banget Mama masaknya,” ucap anak lelaki itu pada Clarissa membuat Clarissa terkekeh.

“Iya, Mama udah lama gak masak,” balas Clarissa.

Binar mata Clarissa benar-benar terpancar, apalagi ketika ia melihat bagaimana senyum bahagia anak lelakinya ketika menyantap makanan yang ia masak.

Senang, Clarissa senang sekali sebab apa yang ia buat diapresiasi begitu hangat oleh putra bungsunya.

“Mama …,” si sulung memanggil, membuat Clarissa menoleh.

“Kenapa, Kak? Mau ini juga?” Tanya Clarissa menunjuk sebuah piring berisi daging ayam.

Yang ditanya menggeleng. “Enggak, Ma,” ucapnya.

“Ini enak Kak,” sahut si bungsu membuat Clarissa tersenyum.

“Tuh, kata adikmu enak. Mau enggak?” Tanya Clarissa yang akhirnya membuat si sulung mengangguk dan tersenyum.

“JANGAN DIHABISIN KAK!” sahut si bungsu membuat Clarissan terkekeh.

“Gapapa, nanti kalau habis Mama masak lagi,” ucap Clarissa.

Mereka mulai menyantap makanannya masing-masing setelah obrolan-obrolan kecil itu memenuhi ruangan.

Di samping Clarissa ada Johan-suami sekaligus ayah dari kedua putranya.

Lelaki itu melirik Clarissa sejenak, ia menarik napasnya dalam sebelum akhirnya ia menyantap makanannya.

“Selamat makan kesayangan Mama,” ucap Clarissa

Clarissa terdiam, kosong, tatapannya kosong. Jiwanya hilang. Di tangannya, terdapat selembar kertas berisi tulisan putranya-Bumi. Dadanya sesak, ketika ia membaca setiap kata yang dituangkan di dalam kertas itu. Sangat sesak sampai bernapas saja rasanya sulit.

“Nak...,” gumamnya dengan mata yang perlahan memerah.

“Putra Mama..,” lirihnya lagi sambil mereas kertas itu.

Lantas tak lama, teriakan histeris pun keluar. Demi Tuhan, rasanya dunia Clarissa runtuh. Kenapa baru sekarang Clarissa membaca surat ini?

Perempuan itu histeris, menangis. Ia berlari kesana kemari mencari sesuatu yang entah di mana keberadaannya. Clarissa mengobrak-abrik gudang dengan gilanya. Ia cari ke segala penjuru rumah. Namun sayang, yang ia cari tidak ada.

Clarissa terduduk dengan tangan yang masih setia menggenggam kertas yang tak sengaja ia temukan di tumpukan barang-barang milik Bumi.

“Maaf Nak, tolong maafin Mama ...,” gumam Clarissa menangis.

Rasanya sakit, kenapa baru sekarang Clarissa merasakan penyesalan? kenapa baru sekarang ia sadar jika Bumi bukanlah kesalahan? Bodoh memang, Clarissa terlalu naif, ia terlalu egois. Padahal sejak awal, semua ini adalah perbuatannya, kesalahannya.

Seandainya saja saat itu Clarissa tidak terbuai dengan dunianya, mungkin hal ini tidak akan pernah terjadi dalam hidupnya.

Ia adalah manusia paling jahat sebab tanpa rasa malu ia limpahkan kesalahannya kepada seorang anak tak berdosa.

Clarissa menangis, ia bahkan hampir melukai dirinya sendiri jika saja Johan tidak segera datang ke arahnya dan memeluk dirinya.

Didekapnya tubuh itu, ditenangkannya tangisan itu.

“Sudah Cla, semuanya sudah berlalu ...,” gumam Johan.

“Anakku, Ma ...,” ucap Clarissa menangis.

“Maaf, maafin Mama ...,” ucapnya lagi.

Terdengar helaan napas. “Sudah, ya? sudah tiga bulan berlalu. Bumi nggak akan suka lihat kamu nangis kayak gini,” tenang Johan pada Clarissa.

Johan lagi-lagi menghela napasnya apalagi ketika ia melihat beberapa bekas luka goresan pada lengan istrinya itu.

Clarissa menatap Johan. “Mas, aku minta maaf, atas semua yang udah terjadi di masa lalu. Maaf, maaf sebab semua ini adalah salahku, maaf ...,” lirih Clarissa lantas ia memeluk Johan erat.

Benar, semua ini salah Clarissa.

Sekali saja, putarkan kembali waktu. Clarissa berjanji semua ini tidak akan terjadi.

Ma, hari ini Mama ulang tahun. Mama tahu gak? sudah dari dua pekan lalu Bumi menyiapkan hadiah untuk Mama, tapi Bumi gak tahu, kado yang Bumi beli ini akan Mama terima atau tidak. Bumi takut, tapi Bumi juga senang sebab hari ini hari ulang tahun Mama.

Selamat ulang tahun ya, Ma. Banyak sekali doa yang selalu Bumi langitkan untuk Mama supaya Mama bahagia dan sehat. Bumi senang jika Mama banyak tersenyum meskipun senyuman Mama bukan karena Bumi.

Tapi Ma, izinkan Bumi untuk berbicara ya. Lewat tulisan ini, semoga ketika Mama baca, Mama sudah berdamai dan sudah menerima Bumi. Tapi jika memang belum bisa, Bumi harap Mama tidak keberatan ya untuk membaca ini.

Mama, ini Bumi, putra Mama.

Mama, barangkali Bumi masih punya banyak kesempatan untuk sekedar berbincang dengan Mama selayaknya Ibu dan Anak. Sering sekali Bumi berandai-andai untuk bisa berbincang lebih dekat dengan Mama. Sekali saja Ma, Bumi ingin mendengar Mama berbicara dengan lembut sambil menanyakan bagaimana hari-hari Bumi. Apakah Bumi bahagia? Apakah Bumi kesulitan? Bumi sangat ingin mendengar pertanyaan itu keluar dari bibir Mama.

Ma, Bumi ini memang benar-benar manusia yang paling Mama benci, ya? Sampai-sampai Mama enggan untuk sekedar menatap Bumi, selayaknya Mama menatap Kakak.

Bumi sedih sekali, Ma. Sebab sampai Bumi tumbuh dewasa, Mama masih enggan memberikan kasih sayang dan perhatian Mama untuk Bumi. Sedih sekali Ma, sampai Bumi saja lupa sudah berapa ribu tangis yang keluar selama ini.

Mama, Bumi sayang sekali sama Mama. Nanti, kalau memang Tuhan memberikan izin untuk Bumi supaya bisa terus hidup sama Mama, Bumi janji akan selalu membahagiakan Mama dan jadi anak baik yang bisa membanggakan Mama, seperti Mama yang selalu bangga sama Kakak.

Lalu, Ma. Perihal hadiah yang selalu Bumi berikan untuk Mama, maaf ya karena hadiah dari Bumi tidak seindah dan semewah yang lain. Bumi hanya bisa memberi Mama hadiah kecil, walaupun Bumi tahu setiap tahun hadiah yang Bumi kasih itu selalu Mama buang. Tapi tidak apa-apa Ma, karena Bumi sayang Mama.

Tapi, Ma. Untuk kali ini, apakah boleh hadiah ini Mama terima? barangkali ini adalah hadiah terakhir dari Bumi.

Ma, selamat ulang tahun. Selamat bertambah usia, selamat berbahagia ya Ma. Bumi sayang sekali sama Mama.

Maaf ya Ma, sebab lahirnya Bumi benar-benar membuat Mama berantakan.

Sekali lagi, selamat ulang tahun Mama.

Untuk kesekian kalinya akan aku katakan jika aku tidak pernah menyesal mengenal kamu. Perempuan cantik dengan segala bentuk keindahan yang sulit sekali aku deskripsikan.

Perihal mencintai kamu, aku adalah orang yang paling hebat setelah Ayahmu.

Ja, jika saja jatuh cinta kepada kamu adalah perlombaan, sepertinya aku akan menang.

Kamu bosan ya, Ja? Karena selalu berhadapan denganku yang selalu berusaha hadir mengisi hari-harimu yang panjang itu.

Ja, jika boleh, aku ingin selalu ada di samping kamu, entah senang atau susah sekalipun tidak masalah. Aku ingin menjadi orang yang selalu terlibat dalam segala hal yang kamu lakukan.

Ah, hanya membayangkan menjadi bagian penting dari hidupmu saja aku selalu merasa senang.

Harus bagaimana ya, Ja? Supaya kamu paham jika rasaku ini sangat besar dan terus membesar.

Mencintai kamu itu menyenangkan, walau hanya aku saja yang merasakan.

Kamu tidak akan pernah merasa susah payah memikirkan bagaimana perasaanku, seberapa besar cintamu padaku. Sebab sejak dulu, yang kamu mau itu bukan aku.

Aku masih sangat paham, jika selama ini hanya aku saja yang mencintai kamu. Hanya aku saja yang ingin kamu. Sedangkan kamu, tidak pernah menginginkan aku.

Aku masih ingat perkataanmu tempo lalu perihal kamu yang mengatakan jika bersamaku kamu tidak merasa bahagia.

Aku masih ingat perkataanmu tempo lalu ketika kamu memintaku untuk mundur selangkah demi selangkah.

“Jangan ya Janu, perasaanku gak seluas itu. Semuanya udah habis dan nggak ada yang tersisa buat kamu.”

Aku hanya bisa tersenyum nanar ketika mendengar perkataanmu tempo lalu, tepat di hadapanku. Sedang aku, masih tersenyum dan menggenggam tanganmu begitu erat.

Padahal harapanku saat itu, saat pertama kali kamu mengatakan ingin mencoba membuka hatimu kembali, aku menang. Harapanku, aku adalah pemenang. Tapi ternyata aku terlalu percaya diri, sampai aku tidak pernah menyadari, jika sejak awal memang hanya aku yang mencintai.

Ja, bahkan satu kesempatan untuk aku, kamu masih belum bisa, ya?

Tidak apa-apa Ja.

Sebab, perasaanku tidak berwaktu, maka aku akan terus menunggu.

Ada banyak tempat di dunia ini yang bisa dijadikan sebagai tempat pulang, sebagai rumah. Entah isinya penuh, entah isinya kosong.

Beberapa orang menganggap jika rumah adalah tempat paling aman untuk pulang, tempat ia bisa meluapkan segala rasa yang cukup membuat kepalanya terasa berat. Namun bagi sebagian orang, rumah juga merupakan neraka yang bahkan untuk berdiri di depan pintunya saja sudah menyiksa.

Bagiku, kata ‘rumah’ itu banyak makna, dan bukan hanya satu.

Kamu juga sudah aku maknai sebagai rumah. Rumah yang sangat luas dan indah.

Ada begitu banyak hal-hal istimewa di dalamnya yang bisa membuatku takjub. Luas, sangat luas dalamnya. Bahkan aku saja seringkali kesulitan untuk menjelaskan betapa cantiknya itu.

Bohong jika aku bilang aku tidak menyukai itu. Sebab segala hal tentang kamu aku menyukainya.

Meskipun dibalik semua keindahan itu, kamu menyimpan banyak duri-duri kecil yang tanpa sadar membuatku terluka.

Aku begitu mencintai kamu, sampai-sampai aku rela menutup semua pintu masuk rumahku yang lain. Iya, aku sudah menutup semuanya. Sebab kunci pintu utama sudah aku serahkan untuk kamu.

Aku begitu mencintai kamu, sampai-sampai aku tidak sadar, jika selama ini kamu tidak pernah membuka pintunya. Jangankan masuk, menengok saja kamu enggan.

Aku begitu mencintai kamu, sampai-sampai aku mengabaikan sebuah fakta, jika dari awal kamu tidak pernah mau menginjakkan kakimu di rumahku.

Padahal sudah kubangun dengan susah payah, supaya kelak, jika kamu berkenan masuk, kamu betah dan menyukainya.

Seringkali aku bertanya-tanya.

”Harus bagaimana lagi aku supaya kamu berkenan masuk? Paling tidak menengok sedikit saja.

Semua hal yang aku usahakan untuk kamu, selalu kamu abaikan.

Kamu bilang padaku waktu itu jika kamu sudah menutup semua pintu masuk. Bahkan untuk aku sekalipun, kamu tidak memberi izin.

Kamu bilang padaku waktu itu, kamu tidak ingin melepaskan semua yang berkaitan dengan penghuni lamamu itu.

Kamu terlalu mencintai penguhi lamamu, ya? Sampai-sampai kamu enggan melihatku.

Bohong jika aku mengatakan aku baik-baik saja.

Terlalu mencintai kamu itu menyakitkan. Namun apa yang bisa aku lakukan disaat semua perasan ini sudah aku serahkan untuk kamu.

Bodoh, bodoh, bodoh.

Aku memang bodoh. Sebab sudah banyak sekali waktu terbuang demi bisa meluluhkanmu.

Aku hanya ingin kamu. Rumahku ingin dihuni kamu.

Masih lama menunggu dan akan terus menunggu. Entah sampai kapan itu.

Tolong, tolong beritahu aku jika memang kamu sudah siap untuk masuk. Aku akan menyiapkan segala hal untuk menyambutmu.

Aku akan selalu menata rumah tanpa tuan ini. Menata sedemikian rupa supaya nanti kamu bahagia.

Aku akan menunggu, selalu.

Rindu, ia terlalu merindukan lelakinya.

Hari ini merupakan hari ulang tahunnya. Sudah sejak seminggu lalu perempuan itu merancang rencana untuk merayakan ulang tahu lelaki kesayangannya.

Membeli kue, membeli baju baru, membeli hadiah, serta membeli pernak-pernik untuk ia pasangkan di ruangan itu.

Sebuah layar proyektor terpasang di hadapannya menampilkan putaran video lama yang ia simpan rapi.

Senyuman terukir di wajahnya diiringi dengan tawa kecil ketika menyaksikan putaran video itu.

Ia merengkuh tubuhnya sendiri, dadanya terasa sesak tiba-tiba, bahkan untuk bernapas rasanya sakit, seperti ada yang menusuk.

Air mata mengalir begitu saja tanpa instruksi. Tubuhnya bergetar menahan tangisan supaya tidak keluar, bahkan ia berusaha menutup mulutnya supaya tidak bersuara.

Lembaran kertas foto tergeletak berserakan di lantai sekitarnya, kemudian ia raih satu per satu. Ada yang masih utuh, ada yang sudah lusuh, dan ada juga yang sudah sobek.

“Bumi, kangen …,” gumam Senjani—perempuan itu.

Iya, perempuan itu adalah Senjani, perempuan kesayangannya Bumi. Ia sedang merayakan hari ulang tahun Bumi.

“Selamat ulang tahun Bumi Putra Langit,” gumamnya lagi.

Terdengar suara kekehan. “Selamat ulang tahun ya, meskipun usiamu sudah berhenti dan nggak bakalan bisa bertambah lagi. Tapi selamat ulang tahun, aku harap kamu sekarang ngeliat aku ya dari atas sana,” ucapnya sambil mengusap sebuah polaroid.

Senjani menatap langit-langit di ruangan itu seolah ia tengah bertatapan dengan seseorang.

“Nggak keliatan, tapi gapapa,” ucapnya diiringi tawa kecil.

“Maaf ya sekarang aku rayain ulang tahunnya sendiri dulu. Soalnya kalau ada Janu aku nggak boleh nangis,” ucapnya lagi.

Senjani menghela napasnya dalam. Ia mati-matian menahan tangisnya namun lagi-lagi gagal dan lama kelamaan tangisannya semakin keras, sulit ia tahan.

Serindu itu ia pada lelakinya.

Tangisannya terlalu keras, sampai Senjani tidak sadar jika di balik pintu ada seseorang yang sejak tadi hanya diam mendengarkan isak tangisnya.

Janu, itu adalah Janu. Ia yang sudah berada di sana enggan membuka pintu. Hanya isak tangis yang ia dengar dari balik pintu itu.

Sesak, dadanya terasa sesak.

“Masih lo ternyata yang jadi pemenangnya, Bumi,” gumam Janu.

Satu tahun?

Dua tahun?

Sepuluh tahun?

Lima puluh tahun?

Harus sampai kapan menunggu? Menunggu supaya ia jadi pemenangnya.

Bahkan sampai seribu tahun pun Janu akan tetap seperti ini. Meski bukan ia pemenangnya ia akan terus terus berada di samping Senjani. Menunggu dan mencintai seorang diri.

Janu menarik napasnya dalam. Ia lalu berusaha tersenyum. Lantas dengan berat hati, ia pun pergi dari sana, membiarkan Senjani merayakan ulang tahun Bumi, sendirian.