Tak Asing
Hiruk pipuk kota membuat perempuan ini akhirnya memilih untuk menenangkan kepalanya di sebuah coffe shop yang tak jauh dari tempatnya bekerja. Perempuan itu memilih untuk singgah di tempat yang menurutnya nyaman dan tidak cukup ramai.
Kepalanya terasa sangat berat, sampai tadi saat bekerja ia merasa kepalanya seperti tertimpa batu besar. Benar-benar melelahkan.
Suara helaan napas terdengar, jemari kecil itu bergerak membuka sebuah tas berisikan beberapa dokumen, laptop dan juga buku diary yang sejak dulu selalu ia bawa kemana pun. Senjani—perempuan itu yang kini tengah berusaha menenangkan riuhnya isi pikirannya.
Lagi, suara helaan napas terdengar sangat berat. Entah kenapa ia merasa jika hari ini terasa sangat berat. Bahkan sejak semalam ia terus saja menangis, samai-sampai saat ia datang ke tempat dirinya bekerja, rekan kerjanya bertanya soal mata Senjani yang terlihat sembab.
Iya, Senjani menangis semalaman sebab ia sedang merasa rindu pada seseorang yang sangat ia cintai—Bumi. Rasa rindu ini ternyata bisa sangat menganggu dan membuat harinya terasa berat.
Setelah kepergian Bumi, sepertinya Senjani sudah mulai berteman dengan rasa rindu yang entah akan sampai kapan hilangnya.
Senjani saat ini tengah duduk di meja halaman belakang coffe shop itu. Hembusan angisn terasa mamasuki pori-pori kulitnya, sejuk.
Mata Senjani bergerak, ia menatap langit malam, tidak ada Bintang hanya terlihat bulan. Senjani memejamkan matanya sejenak, kemudian tak lama jemarinya bergerak membuka sebuah buku yang sejak dulu selalu ia bawa kemanapun.
Perlahan ia membuat buku itu, ia membaca setiap halaman Dimana di sana terdapat coretan-coretan tangannya. Sebuah senyuman terbentuk ketika ia membaca tulisan-tulisannya yang sejak dulu sengaja ia tuangkan di sana sebagai bentuk curahan hatinya.
Ternyata Senjani benar-benar mencintai Bumi sedalam itu, sebab di dalam buku itu tertuang semua hal perihal Bumi, dari mulai pertama kali ia tak sengaja bertemu dengan Bumi di dalam bus sekolah, sampai detik-detik terakhir curahan hatinya sebelum ia kehilangan Bumi.
Senyuman yang tadinya merekah perlahan pudar ketika ia membaca isi tulisannya perihal ia yang harus bersiap kehilangan Bumi.
Rasa sesak kembali menyeruak, perlahan air matanya keluar, ia menunduk kemudian ia menangis.
Tangannya masih bergekar membuka setiap halaman yang ada di sana, sampai akhirnya ia membuat lembaran baru yang terlihat masih kosong. Senjani terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia memilih untuk menuliskan sesuatu di halaman kosong itu.
Perlu waktu yang cukup lama untuk ia menuangkan perasaannya ke dalam sebuah tulisan itu. Senjani berusaha mehan rasa sesak, sampai akhirnya ia berhasil menuangkan perasannya ke dalam tulisan itu.
Baru saja ia selesai menulis dan menutup buku itu, ia dikagetkan oleh seseorang yang tiba-tiba saja datang dan duduk di kursi kosong di hadapannya. Senjani terdiam sejenak. Ia sangat mengenal siapa yang menghampirinya saat ini.