Jjaejaepeach

𝗕𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻 𝗗𝘂𝗮 𝗦𝗲𝗺𝗯𝗶𝗹𝗮𝗻; 𝗣𝗲𝗿𝗰𝗮𝘆𝗮, 𝘆𝗮?

“Kok lama?” ucap Bumi pada Senjani.

Senjani terkekeh “Kan katanya jangan ngebut. Gimana sih”

Perempuan itu mengeluarkan sesuatu dari dalam kantung plastik yang berisikan beberapa jenis makanan. “Nih, es krim kesukaan kamu”

Bumi terkekeh “Ih, aku kan gak minta apa-apa?”

“Gapapa, aku beli aja, tapi di makannya sama Senja. Kamu liatin aja, soalnya masih sakit” Senjani tersenyum membuat Bumi merasa gemas melihat senyum perempuan itu.

“Haha, ada-ada aja”

Senja fokus mengeluarkan beberapa makanan ringan yang ia beli, sedangkan Bumi, ia fokus menatap Senjani dengan senyum yang merekah di wajahnya.

“Senjani...”

Senjani menoleh “hmm?”

“Aku mau pindah ya?”

“HAH?!”

Bumi terkekeh “biasa aja dong”

“Kok pindah? Kemana? Kenapa? Kenapa pindah?”

“Bumi, gak betah ya di rumah Senja?”

“Di rumah Senja ada yang jahatin Bumi ya?”

“Ih... Kok pindah sih?”

Bumi tersenyum, lalu mengusap pucuk kepala Senjani “Senja, gak ada yang jahat kok, semua orang di rumah baik sama aku. Tapi, aku gak mungkin selamanya tinggal di rumah kamu, meskipun mama sama ayah sama kakak kamu gak keberatan dan mereka juga memperlakukan aku baik, tapi tetep aja Senja.”

“Aku gak mau ngebebanin keluarga kamu, meskipun memang mereka gak pernah bilang kalau aku ini beban. Tapi, aku juga harus hidup sendiri, aku gamau bergantung sama orang lain, aku mau belajar hidup sendiri. Jadi, gapapa ya aku pindah?”

Senjani terdiam, lalu tiba-tiba saja tersengar suara isakan pelan.

“Loh? Kok nangis?”

“Bumi, nanti kalo Bumi tinggal sendiri yang bakal nyiapin makan siapa? Yang bakal nyuciin baju Bumi siapa? Yang bakal ngusapin Bumi pas lagi sakit siapa? Yang bangunin Bumi kalo mau sekolah siapa? Bumi nanti kalo butuh apa-apa gimana?”

Lagi-lagi Bumi terkekeh, lalu ia menangkup wajah kecil perempuannya itu “Hei denger, aku udah gede Senja, aku bisa masak sendiri, aku bisa nyari makan sendiri, aku bisa nyuci baju sendiri, aku juga bisa bangun sendiri. Kalaupun aku sakit, aku tinggal bilang aja ke kamu kan? Jadi, jangan khawatir ya? Aku bakalan baik-baik aja kok”

Senjani menatap Bumi “Janji? Janji bakal baik-baik aja? Senja gamau Bumi kesusahan, Senja takut Bumi kenapa-napa”

“Percaya sama aku, aku bakal baik-baik aja”

“Hmm, yaudah...”

“Hahaha, jangan cemberut dong, aku gemes jadi pengen nyium”

“IHHH, BUMI MESUM YA!!” Senja memukul tangab Bumi, membuat lelaki itu tertawa

“Hahaha, becanda ih, masa iya aku nyium kamu kan gaboleh, belum dewasa”

“Iya gak boleh, masih sekolah!”

“Nanti aja ya kalo udah dewasa”

“BUMI!!!!!!”

“Hahahaha, becanda. Sini peluk dulu.”

Senjani mendekat, lalu memeluk Bumi “Makasih ya Senja buat semuanya...”

“tunggu aku dewasa biar bisa nyium kamu...” bisik Bumi pada Senjani lalu mereka berdua tertawa.

𝗗𝘂𝗮 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗦𝗲𝗺𝗯𝗶𝗹𝗮𝗻; 𝗝𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗿𝗴𝗶, 𝘆𝗮?

“Ih, kok malah nangis sih?” tangan Bumi terulur untuk mengusap pelan air mata yang membasahi pipi perempuan di hadapannya.

“Jahat...” lirihnya

Bumi terkekeh “Maaf, ya? maaf udah bikin khawatir. Aku bodoh banget”

“IYA! KAMU BODOH BANGET. SENJA SEBEL SAMA BUMI. BISA-BISANYA NABRAKIN DIRI SENDIRI SUMPAH APA-APAAN SIH!” Senjani semakin terisak.

Bumi lagi-lagi terkekeh pelan. “Senja, aku minta maaf, ya? Udah, jangan nangis”

“Senja takut tau...” lirih perempuan itu.

“Takut apa, hmm?”

“Takut aku gak bangun lagi, ya?”

Dengat cepat, Senjani memukul pelan pundak Bumi, membuat lelaki itu meringis “Aww. Sakit tau...”

“Bodo!”

Bumi tertawa “haha, yaudah maaf, ya maaf?”

Senjani mengusap pelan tangan Bumi “jangan kayak gini lagi. Senja gak suka, Senja takut...”

“Jangan lakuin hal bodoh lagi...”

“Senja...” ucap Bumi.

“Kalau capek, istirahat aja, ya? Jangan nyelakain diri sendiri. Kamu mau bikin aku nangis tiap hari, ya hah?!”

“Bukan gitu...”

“Waktu itu, aku cuma kalut Senja. Aku ketemu mama papa di sekolah, aku pengen meluk mereka, aku pengen nyamperin mereka. Tapi apa? bahkan chat dari aku aja gak pernah mereka respon kayak yang apa aku harapkan. Aku pikir, setelah hampir enam bulan aku pergi, mereka bakal peduli. Tapi nyatanya enggak. Makanya, waktu itu aku stress banget, di tambah, perkataan kakak bener semua. Harusnya aku gak disin—“

Tanpa basa-basi, Senjani langsung memeluk tubuh Bumi “Shtttt diem. Gak, jangan ngomong gitu. Bumi harus ada disini, Bumi gaboleh kemana-mana. Bumi punya Senja, selamanya punya Senja. Bumi gak sendiri, mama, ayah, Janu, Eza, Reyan, Naren. Semuanya, semuanya sayang sama Bumi”

Senjani mengeratkan pelukannya “Bumi gak sendirian, gak pernah sendirian. Jadi, jangan pernah berpikir buat pergi lagi, ya? Senja gak suka, Senja gamau Bumi pergi, Bumi harus disini pokoknya.”

Pelukan yang di berikan Senjani memang selalu jadi kesukaan Bumi, pelukannya hangat, pelukannya menenangkan. Bumi suka.

“Jangan kemana-mana Bumi. Janji, ya? Ayo, kita pelan-pelan wujudin semua impian kita berdua Bumi. Senja bakal selalu ada di samping Bumi, kita jalan bareng-bareng, ya? Saling nguatin satu sama lain, saling nenangin. Senja sayang banget sama Bumi, sayanggggggggg bangetttttttt. Jadi, jangan terluka lagi...”

Bumi mengeratkan pelukannya, ia menyesal sangat menyesal. Kenapa bisa ia berpikiran untuk pergi? Kenapa bisa ia berpikir bahwa ia selalu sendiri? Padahal jelas-jelas ada perempuan ini yang selalu ada di sampingnya.

“Senja, aku sayang kamu..”

𝗗𝘂𝗮 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗗𝗲𝗹𝗮𝗽𝗮𝗻; 𝗞𝗮𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮

Tangan mungilny terulur, mengusap pelan surai hitam kecoklatan milik lelaki yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit.

Berkali-kali perempuan itu menangis. Ia takut, jika semua pikiran-pikiran menyebalkan yang selalu menghantui pikirannya selama hampir dua minggu ini benar-benar terjadi.

“Bumi...” lirihnya.

“Bangun dong, kamu gak cape apa bobo terus?”

“Katanya kamu gak bakal macem-macem. Bohong banget!”

“Bumi, kamu gak kangen aku? Aku kangen banget sama kamu tau.”

Lagi-lagi perempuan itu menghela napasnya saat menyadari jika lelaki yang sedang terbaring ini tidak akan menjawab semua ucapannya.

“Senja, punya kabar baik tau Bum. Bangun dong, mau tau gak apa?”

“Nanti kelas tiga, kita bakal sekelas. Seneng gak?”

“Bumi...”

“Kamu gak bakal ninggalin aku duluan kan?”

“Jangan pergi dulu ya? Masih banyak hal yang belum kita lakuin Bumi. Katanya, kamu mau ngajak aku keliling. Katanya, kamu mau bikin rumah yang jauh dari orang-orang. Katanya, kamu mau lamar aku nanti pas udah gede. Katanya, kamu gak bakal kesakitan lagi. Jangan bohong Bumi, aku gak suka”

Tiba-tiba saja pintu terbuka “Ja, makan dulu yu? Biarin Bumi istirahat. Nanti kita kesini lagi ya?”

“Janu...”

“Gapapa, ayo lah. Lo mau Bumi marah gara-gara lo gak makan?”

Senjani menggeleng. “gak mau”

“Yaudah ayo, udah ada Eza, Naren, Reyan juga di kantin.”

Senjani menghela napasnya, memang benar. Sejak pagi, ia belum makan. “Iya” ucap Senjani, lalu beranjak keluar meninggalkan Bumi sendiri.

Tanpa sepengetahuan Senjani, Bumi yang sedang terbaring, meneteskan air matanya.

𝗗𝘂𝗮 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗧𝘂𝗷𝘂𝗵 ; 𝗨𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗦𝗲𝗻𝗷𝗮𝗻𝗶

”aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan isyarat yang tak semoay disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”

kamu pasti tau kam puisi ini? Hehe

Senja, kalau kamu baca ini, berarti aku lagi di rumah sakit, kalau enggak berarti aku udah ada di surga.

Maaf ya? Maaf aku memilih untuk menyerah. Aku capek banget Senja, mau sekeras apapun aku berusaha, semesta gak bakal berpihak.

Senja, izin menyerah ya? aku mau pulang, aku mau di surga aja biar gak ngerasain luka lagi. Aku gak sekuat itu Senja, aku gak setabah itu.

Mereka bener kok, harusnya aku pergi aja, harusnya aku gak ada di dunia ini Senja. Maaf sekali lagi maaf karena aku memilih untuk menyerah.

Senja, kamu tau kan aku sayang banget sama kamu? Tapi maaf ya? Maaf karena aku gak bakal bisa menuhin janji aku buat lamar kamu, maaf aku gak bisa nepatin janji aku buat bisa jadi seseorang yang bakal selalu ada di samping kamu. Maaf, maaf, maaf.

Aku sayang kamu, sayang banget. Kalau aku pergi, tolong relakan ya?

Janji sama aku, kamu harus hidup dengan baik, kejar cita-cita kamu tanpa aku ya Senja?

Terimakasih, terimakasih karena kamu udah dateng ke dunia aku. Kamu itu takdir Tuhan paling indah Senja, aku beruntung bisa kenal kamu, aku beruntung bisa jadi seseorang yang kamu sayang.

Senja, bagaimanapun nanti, tolong bahagia ya? Tolong jangan terluka. Cukup aku aja yang terluka di dunia ini. Aku sayang kamu.

Senjani Sekar Ayu, sampai jumpa lagi suatu saat nanti. Aku pulang ya? Terimakasih untuk semuanya❤️

Senjani tersenyum getir “bodoh, dasar bodoh” Senjani terkekeh kemudian terisak.

Perempuan itu meremas tulisan tangan milik Bumi itu, ia menangis.

“Gimana bisa aku bahagia, kalau sejauh ini cuma sama kamu aku bahagia Bumi?”

“Jahat, kamu jahat”

Senjani terisak.

Ia memeluk tubuhnya sendiri sambil menangis.

“Bumi, aku mohon jangan pergi...”

𝗗𝘂𝗮 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗘𝗻𝗮𝗺; 𝗞𝗲𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗦𝗲𝗺𝗲𝘀𝘁𝗮

Senjani terduduk lemas saat melihat Bumi, lelaki kesayangannya terbaring di Ruang ICU dengan tubuh yang penuh dengan darah.

Tidak, harusnya tidak seperti ini. Seharusnya hari ini, Bumi menemani Senja membeli buku, Bumi sudah janji pada Senja.

Senjani terdiam, lalu terisak saat melihat dokter dan perawat disana berlarian membawa alat-alat medis.

“Bumi...” lirihnya

Senjani semakin terisak kencang, saat tiba-tiba dokter mengatakan bahwa Bumi kehilangan banyak darah.

“Dokter tolong, tolong bantu Bumi“ Senjani terisak

“Pasien kritis dan koma karena benturan di kepalanya cukup keras. Untuk saat ini, kami hanya bisa menunggu.”

Senjani menjatuhkan tubuhnya, ia menangis, menangis sangat kencang, tidak peduli jika kini orang-orang melihatnya.

“Jan...” ucap Janu dan semua teman Bumi yang juga sedang berada disana.

“Bumi, nu. Bumi...”

“Bumi bakal baik-baik aja...”

“Harusnya gak gini Janu, harusnya sekarang aku sama Bumi lagi beli buku, harusnya sekarang kalian latihan band”

“Tapi apa?? BUMI BOHONG!” Senjani terisak

“LIAT DIA JANU! DIA MALAH TIDUR DISANA!”

“KENAPA SIH SEMESTA JAHAT BANGET HAH?!” Senjani berteriak frustasi.

“HARUSNYA AKU AJA YANG DISANA! PLEASE JANU TOLONGIN BUMI”

“Jani... Sorry”

Senjani beranjak, mendekat agar bisa melihat Bumi dari dekat. Ia kembali menangis.

“Bumi... tolong bilang kalau ini mimpi. Bumi gak bakal pergi kan?”

“Bumi, tolong... aku sayang sama kamu, aku disini, jangan pergi”

Isakan Senjani terdengar begitu menyakitkan bagi siapapun yang mendengarnya.

Bagaimana tidak, lelaki kesayangannya terluka, bahkan Senjani tidak pernah berpikir jika Bumi akan mengalami hal seperti ini.

Sekali lagi, kepada semesta. Tolong jangan lagi membuat manusia ini terluka, ia bahkan belum merasakan apa itu bahagia yang sesungguhnya.

Bumi terlalu banyak menerima luka, terlalu sering ia menangis dalam diamnya. Apa sesulit itu membuat Bumi bahagia?

Lagi-lagi Senjani menangis.

Langitnya runtuh, hatinya terluka, dunianya hancur.

“Bumi... tolong bangun...”

𝗗𝘂𝗮 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗟𝗶𝗺𝗮; 𝗣𝗲𝗿𝗺𝗶𝗻𝘁𝗮𝗮𝗻

Janu bergegas menuju lokasi saat mendapatkan telepon dari seseorang.

“Bangsat” umpatnya sepanjang perjalanan.

Tak butuh waktu lama, ia tiba di lokasi, dan benar saja. Disana sudah banyak orang.

Janu melihat Bumi tergeletak di tengah jalan, dengan tubuh yang penuh dengan darah.

“Bumi, bangun!!” Ucap Janu sambil berusaha membangunkan Bumi.

Saat itu, Bumi masih sedikit sadar, ia tersenyum ke arah Janu.

“J-jan...”

“Anjing, gak lucu sumpah. Lo kenapa sih bangsat!”

“T-thanks, u-udah m-mau j-jadi t-temen g-gue”

“Bumi anjing jangan gini!”

“J-jan, t-tolong jaga S-senja ya?”

“BUMI ANJING! GUA TONJOK LU”

“PANGGIL AMBULAN CEPET!” Janu berteriak pada orang-orang di sekitarnya.

“J-jan...”

“I-itu p-permintaan t-terakhir gue.. t-tolong jaga Sen—“

“BUMI BANGUN!!!”

𝗗𝘂𝗮 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗘𝗺𝗽𝗮𝘁; 𝗕𝗲𝗿𝗱𝘂𝗮

Seperti biasa, saat ini, Senjani dan Bumi sedang terduduk di tepi pantai.

Entah dari kapan mereka mulai menyukai pantai. Kalau Bumi bilang sih “ini tuh tempat paling indah buat kita Senja”

Iya memang benar, karena di tempat ini, Bumi mulai menemukan kebahagiaannya bersama perempuan yang kini selalu berada di samping Bumi.

Sehabis dari studio, Bumi memutuskan mengajak Senja kesini, padahal tadinya Senja ingin makan soto Pak Arif, yang biasanya buka sore-sore dekat terminal.

“Kok cemberut sih?” tanya Bumi, saat melihat raut wajah Senjani.

“Kesel” ucap perempuan itu sambil memajukan kedua bibirnya, membuat Bumi gemas.

Bumi terkekeh pelan “jangan cemberut Senja, kamu mau aku cubit ya?”

“Ih Bumi! Aku tuh kesel!!!”

“Kenapa hmm?”

Senjani memperlihatkan sebuah pesan teks yang ia terima sebelumnya.

“Oh, kirain apaan. Kamu judes banget balesnya” Bumi terkekeh.

“Biar dia sadar, biar gak nyakitin Bumi lagi!”

“Senja, kak Azri gak sejahat itu kok. Mungkin emang dia gak suka sama aku, jadi dia gitu. Bukan salah dia, jangan bete gitu ah” ucap Bumi.

Senjani menghela napasnya “kenapa sih kamu tuh sel—“ Belum sempat Senjani menyelesaikan kalimatnya, Bumi segara memotong perkataan Senjani.

“Sttt, jangan marah-marah. Mending kamu liat kesana, itu ada Senja indah banget.” Ucap Bumi, sambil menunjuk ke arah di depannya.

“Bumi...”

“Hmm”

“Lebih indah Senja yang disana, atau Senja yang disini, yang lagi duduk sama Bumi?”

Bumi menoleh, lalu terkekeh pelan. Ia perlahan mengulurkan tangannya untuk merapikan helaian rambut Senja yang tertiup angin.

“Sama-sama indah kok. Tapi...”

“Tapi apa?”

“Tapi aku lebih suka Senja yang disini”

“Kenapa?”

“Karena, Senja yang sekarang lagi duduk samping Bumi, gak akan pernah hilang. Senja yang disini, dia gak bakal hilang hanya dalam hitungan menit. Senja yang disini, bisa Bumi tatap, bisa Bumi sentuh, dan paling penting, bisa Bumi peluk”

“Ih, kok jadi gombal sih?! Senja malu...”

Bumi tergelak “Hahahaha, siapa yang gombal sih? Aku beneran loh Senja”

Senjani memalingkan wajahnya dari pandangan Bumi, guna menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah.

Bumi terkekeh pelan, lalu ia menghela napas.

“Senja tau gak tentang harapan aku buat nanti kedepannya mau apa?”

“Hmm apa?” ucap Senjani tanpa menoleh.

“Aku pengen banget jadi pilot haha, tapi gak mungkin deh. Tau gak kenapa aku mau jadi pilot? Karena aku mau ngajak Senja keliling dunia. Aku mau ngajak kamu biar bisa liat dunia dari atas sana. Kayaknya indah banget”

Lagi-lagi Bumi terkekeh “ah tapi itu cita-cita aku yang dulu deh waktu smp. Sekarang cita-cita aku cuma satu Senja...”

“Apa?”

“Hidup bahagia sama kamu...”

Senjani menoleh “Bumi...”

“Aku serius, aku mau hidup bahagia sama kamu sampe nanti kita udah tua Senja. Aku mau kamu yang nemenin aku dari bawah, sampai nanti aku bisa ada di puncak”

“Senja, harapan aku tinggi banget ya? Tapi aku bener-bener pengen itu aja”

“Senja...”

“Apa Bumi?”

“Nanti, kalo aku sama kamu udah sama-sama dewasa, aku bakal lamar kamu, aku bakal nikahin kamu, aku bakal ngabisin sisa hidup aku sama kamu. Nanti kita jadi keluarga yang bahagia. Hahaha”

Senjani terkekeh “nanti aku ibu dan kamu jadi ayah ya? Hahaha pasti nanti anaknya bakal mirip banget sama kamu”

“Senja, aku jadi inget puisi yang di tulis W.S. Rendra, tau. Dia bilang...”

Karena sekolah kami belum selesai kami berdua belum dikawinkan. tetapi di dalam jiwa anak-cucu kami sudah banyak

“ITU KAYAK KITA BANGET GAK SIH?! Udah mikirin jadi ayah ibu hahahahahahaha” Bumi tertawa dengan sangat keras, membuat Senjani yang berada di sampingnya juga ikut tertawa.

Senjani memperhatikan raut wajah bahagia milik lelaki di sampingnya itu, rasanya tenang.

Senjani tersenyum, sudah ia bilang kan? Kalau senyum yang Bumi bawa itu bisa bikin orang di sekitarnya jadi tenang, jadi bahagia.

Ah, rasanya ingin sekali melihat Bumi seperti ini setiap harinya.

“Bumi..”

“Hmm?”

“Aku sayang kamu”

𝗗𝘂𝗮 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗧𝗶𝗴𝗮; 𝗞𝗲𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗔𝘄𝗮𝗻

Senjani, menahan sesak di dadanya, sesaat setelah ia membaca pesan tadi. Netranya beralih menatap lelaki yang kini terbaring di tempat tidur miliknya.

Perempuan itu mengusap pelan kening Bumi. Suhu tubuh lelaki itu hangat. Tanpa sadar, bulir air mata membasahi pipi perempuan itu.

“Bumi...” lirihnya.

Rasanya sakit, saat melihat lelaki yang sudah hampir tiga tahun bersamanya hancur. Kenapa bisa takdir anak lelaki ini sangat malang?

Lagi dan lagi, Senjani harus melihat lelaki kesayangannya terluka. Semesta sudah terlalu jahat padanya.

“Bumi...” ucapnya dengan tangan yang masih setia mengusap kening lelaki itu.

Ia terisak pelan.

“Maaf, maaf untuk semua lukanya, maaf karena sejauh ini, aku masih gagal bikin kamu bahagia. Bumi maaf...” lirih perempuan itu.

Tiba-tiba saja Bumi mengerang seperti kesakitan, matanya masih terpejam, suhu tubuhnya semakin panas, ia berkeringat.

“Mama...” gumam Bumi

“Bumi hei, bangun...” ucap Senjani menyadarkan Bumi.

“Papa...” lagi, Bumi berguman dalam keadaan tidak sadar.

“Mama, papa... maafin Bumi...” dengan mata yang masih terpejam, Bumi menangis, suaranya benar-benar menyiratkan bahwa ia sangat terluka.

Senjani yang melihat itupun lantas memeluk tubuh Bumi, tidak peduli jika nanti ia tertular sakit.

“Bumi... bangun... ini Senja Bumi...” lirih Senjani

Bumi terisak dalam tidurnya, semakin lama isakannya semakin keras.

“Mama, maaf karena Bumi harus hadir...”

“Bumi sayang sama mama sama papa...”

“Mama, Bumi pengen di peluk mama...”

Isakannya semakin kencang, Senjani bahkan ikut menangis. Senja yakin, jika Bumi sedang bermimpi, oleh karena itu, ia berusaha menyadarkannya.

“MAMA, PAPA!!!” Teriak Bumi tiba-tiba

Bumi bangun dari tidurnya, dan lagi, ia menangis.

Tapi kali ini, tangisannya tidak terlalu keras, Bumi berusaha menahannya.

“Bumi...” lirih Senjani

Bumi menoleh pada Senjani dengan mata tatapan sendunya “Senjani, mama sama papa... Senjani...”

Dengan cepat, Senjani, memeluk erat tubuh Bumi.

“Bumi... tenang ya?”

“Senjani... disini...” Bumi menyentuh dada sebelah kirinya, lalu memukulnya pelan beberapa kali.

“Disni Senja, rasanya sakit banget...”

“Bumi... kamu lagi sakit, jangan banyak pikiran dulu ya? Senja, mama sama Ayah ada disini Bumi, kamu aman, kamu gak bakal ngerasa sakit lagi. Kuat ya?”

Bumi memeluk erat Senjani, sambil berusaha menahan rasa sakit yang kini menyeruak masuk ke dalam dadanya.

Senjani berusaha menahan tangisnya, ia berusaha kuat.

”Tuhan, tolong bahagiakan Bumi” Batin Senjani.

Senjani hanya ingin Bumi bahagia, sudah cukup ia menyaksikan betapa terlukanya manusia ini. Ia hanya ingin Bumi tersenyum.

Kepada angin, tolong sampaikan pada semesta, hentikan semua penderitaannya. Ia sudah terlalu rapuh untuk menerima segala luka.

Kepada awan, tolong lindungi lelaki ini, ia bagai matahari yang menyinari semestanya. Tolong jangan mendung, karena perjalanan hidupnya masih jauh. Tolong tetap cerah, agar ia mampu berjalan tanpa hujan dan badai.

Tolong, sekali saja dengarkan rintihannya.

𝗗𝘂𝗮 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗧𝗶𝗴𝗮; 𝗕𝘂𝗺𝗶 𝗱𝗮𝗻 𝗟𝘂𝗸𝗮𝗻𝘆𝗮

Dengan kecepatan penuh, Senjani melajukan motor milik ayah, yang sebelumnya ia pinjam untuk mencari Bumi.

Jujur saja, Senjani tidak terlalu lancar menaiki motor, tapi ia terlalu khawatir pada Bumi, sampai-sampai ia tidak memikirkan keselamatannya, dan juga sudah tiga kali ia hampir terserempet oleh kendaraan lain.

Bumi, hanya Bumi ya g ada di pikirannya saat ini. Perempuan itu sangat mengkhawatirkan Bumi.

“Bumi, Please kamu dimana” gumam Senjani sepanjang perjalanan.

Beberapa tempat Senja datangi, namun nihil Bumi tak ada disana.

Perempuan itu seperti orang kesetanan, ia menangis, ia berteriak menyebut nama Bumi. Tak peduli dengan tatapan aneh dari orang-orang. Yang jelas, ia hanya ingin Bumi.

Beberapa kali Senja menelepon lelaki itu, namun tetap saja tidak ada jawaban. Senja sangat khawatir, ia takut jika terjadi hal aneh-aneh pada lelaki itu. Ditambah tadi, Bumi bilang, ia ingin menyerah. Astaga, Senjani bisa gila.

“BUMI!!” Teriaknya sambil menangis.

Tunggu, sepertinya ia tahu kemana lelaki itu pergi. Bodoh, bisa-bisanya ia lupa akan tempat itu.

Senjani dengan cepat melajukan motor maticnya itu.

Tidak butuh waktu lama, ia sudah sampai. Perempuan itu langsung berlari mencari keberadaan lelakinya itu.

Ini sudah hampir malam, tempat itu pun mulai gelap, ia hanya bisa melihat beberapa orang yang mulai pergi meninggalkan tempat itu.

Senja berlari menyusuri tempat itu, dan ya, netranya menemukan sosok yang tak asing sedang berdiri sambil berteriak.

Dengan cepat, Senja langsung berlari lalu memeluk tubuh lelaki itu.

“Bumi!!” Ucap Senjani memeluk Bumi dengan erat

“S-senjani?”

“Bumi, please jangan macem-macem”

“Lepas Senja” ucao Bumi

Senja semakin mengeratkan pelukannya

“Senjani lepas”

“Enggak, Senja gak bakal biarin Bumi pergi”

“SENJANI! LEPAS! BIARIN GUE PERGI, LEPAS!!” Bumi berteriak sambil berusaha melepaskan tautan tangan Senjani yang melingkar di tubuhnya

“BIARIN GUE PERGI SENJA! SEMESTA GAK MAU GUE ADA DISINI! MAMA, PAPA, KAK AZRI, SEMUANYA BENCI SAMA GUE!”

“Bumi... tolong jangan”

“SENJA, JANGAN SAMPE GUE LUKAIN LO. TOLONG LEPASIN! BIARIN GUE PERGI SENJA. LEPAS!!!”

“ENGGAK BUMI ENGGAK!”

Senjani terisak, begitupun dengan Bumi.

“AAAAAAHHH ANJING!” Umpat Bumi sambil menangis.

Bumi langsung menjatuhkan tubuhnya, ia menangis, ia berteriak.

Senjani dengan cepat memeluk dan mengusap kepala Bumi. Perempuan itu juga menangis. Sungguh, rasanya sakit sekali, melihat lelaki ini rapuh.

“Senja...” lirih Bumi, ia mencengkram kuat tangan Senjani, ia menangis

“Senja, sakit banget Senja...”

“Senja, aku anak yang gak diinginkan, senja, harusnya aku gak disini, harusnya aku mati...” Bumi menangis

Senja semakin mengeratkan pelukannya “enggak, gak ada yang boleh pergi”

“Senja, aku cuma mau mama sama papa sayang sama aku. Tapi mereka benci sama aku Senja, aku harus apa. Senjani sakit, sakit banget, dunia aku hancur, Senjani tolong...” lirih Bumi sambil terisak

“Senja, aku pengen nyerah, boleh ya? Biarin aku pergi Senja, aku cuma mau istirahat, aku capek...”

“Bumi...” Senjani terisak

“Gak ada yang boleh pergi, Bumi harus disini...”

“Tapi Senja, rasanya percuma, disini aku hanya sampah...”

“Enggak, kamu salah...”

“Bumi please, jangan kayak gini ya?” Senjani terisak.

Sakit rasanya, sakit sekali.

Ah lihat, bahkan langit pun tahu, jika Buminya sedang terluka, ia menangis. Langit pun membasahi mereka berdua dengan tangisannya.

“Bumi, sakit ya? Bumi, bertahan ya? Senja mohon...” lirih Senjani, tak peduli jika kini ia sudah basah oleh air hujan.

“Senja, a-aku mau p-pulang, aku gamau disini, aku mau pulang, biarin aku pergi Senja...”

Senja terisak “Bumi dengerin aku...”

“Sesakit apapun luka yang kamu terima, seberat apapun beban kamu, tolong jangan pernah berpikir untuk pergi ya?”

“Bumi, Senja yakin kamu kuat, tolong bertahan ya? Setidaknya sampai Bumi bisa buktiin kalau Bumi juga layak untuk mereka”

“Senjani...” Bumi terisak di pelukan Senjani

“Bumi, tolong jangan pernah pergi ya? Tolong inget Bumi, sesakit apapun itu tolong jangan pernah berpikiran untuk pergi.”

“Bumi, kamu gak sendirian, disini ada aku Bumi. Orang yang akan selalu ada dan berjalan di samping kamu sampai kapanpun itu. Bumi, bertahan ya? Tolong...”

“Aku disini, aku disini, aku disini. Aku sayang kamu, jangan ninggalin aku tolong, bertahan ya? please Bumi jangan kayak gini” Lirih senjani terisak.

“Bumi, semua akan baik-baik aja, kamu hanya perlu waktu buat nyembuhin semua luka kamu, tolong bertahan ya?”

“Bumi, terkadang memang manusia perlu ngerasain luka, biar ia tau bagaimana caranya bertahan, biar ia tau bagaimana caranya bangkit” Senjani mengusap lembut kepala Bumi

“Sejauh ini, semesta cuma ngasih aku luka Senja. Aku yang salah, harusnya aku gak ada”

“Disini kamu gak salah Bumi, hanya saja saat ini Semesta lagi gak berpihak sama Bumi, semesta lagi gak ramah sama Bumi. Kuat ya? Kamu pasti bisa lewatin ini, ada aku Bumi ada aku. Ayo bangkit, kita sama-sama saling menyembuhkan ya? bilang pada semesta kalo kamu mampu, bilang pada semesta kalo kamu kuat...”

“Bumi, Tuhan gak bakal ngasih cobaan di luar kemampuan umatnya inget. Saat ini Dia cuma pengen liat Bumi bangkit, Dia tau kalo Bumi mampu lewatin semuanya. Bumi, sekarang kamu hanya perlu berdiri, dan tunjukin kalau kamu baik-baik aja tanpa mereka, percaya ya? Percaya, suaru saat kamu akan jadi orang hebat, orang yang dicintai. Semuanya akan baik-baik aja Bumi, percaya”

“Senjani...”

“A-aku s-sayang k-kamu, tolong jangan pergi ya? Aku cuma punya kamu. Senjani...”

Senjani semakin mengeratkan pelukannya, ia mengusap lembut kepala Bumi, ia memeluknya, ia menenangkannya.

Bumi menangis, Bumi terluka di pelukan Senjani, lelaki itu hancur, sangat hancur. Tapi, dengan segala keajaiban yang dimiliki perempuan itu, ia mampu menenangkan badai yang kini menerpa Bumi.

Ia penyembuh, ia penenang.

“Bumi, kita pulang yu? Ayah sama mama nunggu kamu di rumah. Ayo...”

𝗗𝘂𝗮 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗗𝘂𝗮; 𝗧𝗲𝗿𝗯𝘂𝗮𝗻𝗴

𝘽𝙪𝙢𝙞 𝙋𝙊𝙑

Terbuang? Benarkan? Gue adalah anak yang terbuang? Gue adalah anak yang gak diinginkan? Hahaha.

Malam tadi, bagi gue adalah malam paling buruk yang bakal terus gue inget sampe mati.

”Udah aku bilang mas, harusnya Bumi gak lahir! Harusnya anak itu gak ada!”

Itu kalimat yang mama ucapkan malam tadi, kalimat paling jahat yang pernah gue denger seumur hidup gue. Kalimat yang membuat gue hancur. Mama sebenci itu ya?

Enggak kok, gue sama sekali gak nangis. Hati gue udah terlalu hancur untuk sekedar menangis.

Gue kadang gak ngerti, kenapa semesta bisa ngasih takdir kayak gini, gue salah apa? Gue sehina itu ya? Sampe-sampe keluarga gue sendiri pun gak mengharapkan kehadiran gue.

Jika kalian nanya, gimana sih rasanya jadi anak yang gak di inginkan? Hahahaha, sakit banget, bahkan sakitnya itu bikin gue gak mampu nangis, gue cuma bisa diem.

Tau gak kalian, sesayang apa gue sama mereka? Gue sayang banget, gue rela kok ngasih semuanya ke keluarga gue, gue bahkan rela diperlakukan gak adil oleh mereka, setidaknya gue tetap bisa tinggal sama mereka, setidaknya gue tetap bisa liat mama, papa, sama kak Azri tiap hari. Tapi ternyata yang sayang cuma gue doang ya? Haha.

Boleh gak kalo gue mengutuk takdir gue sendiri? boleh gak kalo gue marah sama semesta? salah gak kalo gue marah sama mama sama papa? gue pengen mati aja rasanya.

Jujur aja, selama ini emang gue diperlakukan gak adil, dari mulai hal-hal kecil sampe hal-hal besar sekalipun, gue selalu dibedakan oleh mereka. Iya, memang benar, mama sama papa lebih sayang kak Azri daripada gue. Bahkan, selama gue hidup gue cuma pernah di peluk sekali sama papa sama mama, itu pun dulu, waktu gue umur empat tahun kalau gak salah.

Ah ya, sejak kecil gue selalu dititipin sama nenek, gue selalu di tinggal kerja oleh mereka, sedangkan kak Azri, dia pasti bakal ikut kemanapun mama sama papa pergi. Gak adil banget ya?

Dari dulu mama emang selalu nunjukin sikap kalo mama gak suka sama gue, tapi gue baru tau, ternyata mama sebenci itu sama kehadiran gue di keluarga ini.

Tapi kalo dipikir lagi, apa pernah gue minta buat lahir? Jawabannya enggak, gue bahkan gak pernah minta Tuhan buat lahir di keluarga ini. Kalau pun gue tahu, kalau ternyata mama gak mau ada gue, mungkin gue bakal minta sama Tuhan biar gue gak lahir di keluarga itu. Haha.

Ah, tapi udah lah. Takdir tetap takdir, sekeras apapun gue nyangkal, semarah apapun gue. Semesta bakal tetap menakdirkan gue buat gini, anak menyedihkan yang gak akan pernah mendapatkan kasih sayang keluarga.

Gue masih gak nyangka aja, ternyata malam tadi bakal jadi malam paling hancur di hidup gue, malam paling menyedihkan.

Malam tadi, itu udah menjadikan seorang anak kehilangan rumahnya, seorang anak kehilangan haknya, bahkan mungkin kehilangan segalanya.

Tuhan, kalau aja bisa, gue mau minta biar takdir bikin gue jadi anak paling bahagia di dunia ini.

Gue cuma mau di perhatiin, gue cuma mau di peluk mama sama papa, gue cuma mau di cium sebelum tidur sama mama, gue cuma mau denger dongen sebelum tidur sama papa, gue mau di bikinin sarapan sama mama, gue pengen di ajak nonton bola sama papa, gue pengen jadi adek kesayangan kakak, gue pengen jadi anak kebanggaan mereka, gue pengen jadi anak kesayangan mereka, anugerah bagi mereka. Gue cuma pengen itu, gue gak butuh harta apapun, gue cuma mau mama, papa, sama kakak bisa sayang sama gue. Udah cukup itu aja.

Gue berlebihan ya? Tapi memang gue cuma pengen itu, bahkan dari dulu.

Tuhan, sakit banget rasanya. Mau nangis pun rasanya gak sanggup.

Sekarang gue harus gimana? Rumah? Bahkan yang tadinya gue anggap rumah, malah bikin gue jadi anak paling menyedihkan karena terusir secara tak langsung.

Bahkan, setelah gue pamit pun mereka tetap gak peduli, gue gak di tahan biar gak pergi, papa gak nelepon gue, mama gak marahin dan minta gue buat tinggal. Semalaman gue berharap ada satu pesan dari mereka yang nyiruh gue pulang, tapi apa? Sampai sekarang, pesan yang gue kirim pun mereka gak bales, hahaha.

Mungkin emang seharusnya gue pergi ya? Emang seharusnya gue gak ada di sana. Gue cuma pengganggu, gue cuma halangan buat mereka bahagia. Sekali pun gue mati hari ini, gak bakalan ada yang peduli, mungkin mereka malah seneng. Karena, selamanya gue bakalan tetap jadi anak yang gak diinginkan bagi mereka.

Gue capek, gue pengen nyerah aja rasanya. Mungkin emang harusnya gue nyerah aja ya?

Boleh gak kalau gue nyerah sama semuanya? Boleh gak kalo gue milih buat pergi? Boleh gak kalo gue mati aja?