𝗧𝗶𝗴𝗮 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗦𝗲𝗺𝗯𝗶𝗹𝗮𝗻; 𝗧𝗲𝗻𝘁𝗮𝗻𝗴 𝗝𝗼𝗵𝗻𝗻𝘆
𝗝𝗼𝗵𝗻𝗻𝘆 𝗣𝗼𝘃
Barang kali, jika ada penghargaan untuk orang paling bodoh di jagat semesta, saya pasti akan memenangkan peringkat pertama. Iya, saya memang sebodoh itu selama ini.
Menjadi lelaki yang berperan sebagai sosok suami sekaligus ayah itu gak mudah. Tanggung jawab saya sebagai kepala keluarga sangat besar. Setiap lelaki yang berada pada ikatan status seperti saya ini, pasti akan melakukan segala cara untuk membuat keluarganya bahagia. Tapi tidak dengan saya.
Awalnya saya pikir saya sanggup dan mampu menjadi sosok paling kuat untuk keluarga saya. Awalnya saya pikir saya itu adalah orang hebat yang mampu membimbing dan membahagiakan keluarga saya. Awalnya saya merasa seperti itu. Tapi ternyata saya salah.
Hampir 20 tahun saya menjadi sosok lelaki lemah yang selalu takut untuk kehilangan seseorang. Saya akan melakukan segala cara agar orang itu tidak pergi dari hidup saya.
Mencintai dan dicintai itu adalah salah satu hal yang selalu saya utamakan. Saya ingin sekali menjadi sosok suami sekaligus ayah yang selalu di banggakan dan dicintai. Dari dulu saya selalu mengharapkan itu.
Hidup saya baik-baik saja sebelumnya. Tapi tiba-tiba saja berubah ketika saya tahu jika ternyata wanita yang selama ini saya cintai ternyata begitu terobsesi dengan pekerjaan dan jabatan. Saya pun tidak menyangkal, jika Clarissa istri ah ralat, maksud saya mantan istri saya merupakan seorang pekerja keras, ia keras kepala, apapun hang ia inginkan harus ia dapatkan.
Awalnya saya baik-baik saja dengan itu, tapi sejak saat dimana saya melakukan kesalahan yang membuat Clarissa harus merelakan impiannya demi melahirkan seorang putra yang memang tidak disengaja atau kasarnya, tidak pernah di harapkan. Disitu saya merasa gagal menjadi sosok suami yang baik, saya gagal membuat istri saya bahagia, saya gagal mewujudkan mimpinya hanya karena keinginan saya untuk mempertahankan seorang anak yang kini tumbuh sebagai anak tangguh.
Jujur saja, saya tidak pernah berniat sedikitpun untuk mengabaikan Bumi anak saya. Tapi entah mengapa, dulu, setiap saya melihat anak itu, saya selalu merasa bersalah. Saya marah, saya kecewa pada diri saya sendiri. Tiap kali saya melihat anak itu, rasanya saya ingin berteriak dan memaki diri saya sendiri. Tapi bodohnya, amarah yang saya rasakan, selalu saya luapkan dengan cara memarahi bahkan tak segan saya memukul anak itu dengan tangan saya sendiri. Katakan saja saya bodoh, tolol, tapi kenyataannya memang begitu.
Jika kalian pikir selama ini saya tidak tersiksa, kalian salah. Selama ini, saya selalu menangis diam-diam, saya benci diri saya sendiri. Saya benci karena saya selalu menyalahkan anak itu atas semua kesalahan yang saya buat sendiri. Saya benci ketika harus melihat anak itu menangis diam-diam. Saya benci ketika saya mendapati bahwa selama ini saya gagal menjadi sosok ayah untuk anak itu.
Tapi sekali lagi, ego dan ketakutan saya perihal kehilangan perempuan itu terlalu besar. Saya terlalu mencintai Clarissa, cinta yang saya rasakan bahkan mampu membuat saya menutup mata atas kehadiran anak itu.
Bodoh, bodoh, bodoh. Saya adalah manusia paling bodoh.
Saya menyesal ketika ternyata, anak yang selama ini saya anggap sebagai kesalahan ternyata ia tidak pernah membenci saya. Untuk pertama kalinya saya rapuh ketika anak itu memutuskan untuk pergi dari rumah dan memilih tinggal sendirian.
Sejak saat itu, saya tidak pernah tertidur dengan tenang, tiap malam, tiba-tiba saja saya merindukan kehadiran anak itu, saya merindukan suara anak itu, saya selalu merindukan Bumi yang selalu diam-diam memperhatikan saya sambil tersenyum.
Lagi dan lagi saya bodoh. Harusnya sejak dulu, saya menyayangi Bumi seperti apa yang saya lakukan pada Azri.
Dunia saya hancur, dunia saya runtuh saat saya mendapati bahwa Bumi, anak yang selalu saya abaikan selama ini ternyata ia menderita sendirian, ia sakit dan ia menanggungnya sendirian.
Saya semakin hancur saat ia bilang baik-baik saja dan malah menyuruh saya agar menjaga kesehatan saya. Saya semakin hancur ketika mengetahui bahwa Clarissa benar-bemar membenci Bumi.
Ah, bodoh, saya terlalu bodoh.
Mungkin Tuhan memberi hukuman untuk saya dengan memberi saya kehilangan. Saya kehilangan perempuan yang selalu saya cintai selama ini, saya kehilangannya.
Jika saja bisa, saya ingin memutar kembali waktu dimana semua terasa baik-baik saja. Jika saja bisa, saya tidak akan pernah membiarkan Bumi sendirian dan terluka. Jika saja bisa, saya ingin menjadi sosok ayah dan suami yang selalu dicintai.
Tapi percuma saja, bukankah ini sudah takdir semesta?
Saya harus merasakan kesakitan ini untuk menebus semua dosa-dosa saya pada Bumi. Tapi rasanya luka yang saya tanggung ini tidak semenyakitkan apa yang dirasakan Bumi.
Saya menyesal, sangat menyesal.
Satu hal yang saya inginkan sekarang. Hidup bahagia bersama kedua anak saya, tanpa rasa sakit lagi. Saya ingin Bumi sembuh, saya ingin menjadi ayah yang baik untuk anak itu.
Bumi, cepat sembuh ya sayang? Papa sayang banget sama kamu, jangan pernah ninggalin papa sendirian.