Bumi itu
“Ayah pulang...” ucap Janu sesaat setelah ia sampai di rumahnya.
Seperti biasa, kepulangan Janu selalu di sambut hangat oleh kedua anaknya.
“Ayahhh!!!” Ucap Jea dan Jae bersamaan sambil berlari memeluk erat tubuh Janu.
Lelaki itu merentangkan tangannya, lalu ditangkapnya tubuh kedua anak kesayangannya itu.
“Aduhh anak-anak ayah...” ucap Janu lalu mengecup kening mereka bergantian.
“Ayahhh ayoo katanya mau nyeritain Bumi...” ucap Jea antusias.
Jae mengangkat sebelah alisnya “Bumi siapa ih?”
Janu terkekeh, “ayo duduk dulu, ayah mau nyimpen dulu tas”
Tak perlu waktu lama, kini mereka bertiga tengah duduk di ruang tengah rumah itu.
“Ayah ini, liat deh ini bunda, kan?” Ucap Jea sambil memberikan sebuah foto lama.
Benar, disana ada Senjani serta Bumi, dua orang berarti dalam hidupnya.
Janu tersenyum tipis kala melihat foto lama itu. Ia sangat ingat kapan foto ini di ambil. Kalau tidak salah, waktu Senjani ikut latihan band bersama mereka.
Ada sedikit rasa sesak kala Janu menatap foto itu, banyak sekali kerinduan yang tertahan dalam hatinya.
Janu menghela napasnya, ia lalu menunjuk ke arah Bumi.
“Ini namanya Bumi...” ucap Janu.
Di hadapannya ada si kembar yang terlihat begitu antusias menunggu Janu bercerita.
“Dia itu temennya ayah sama Bunda...” ucap Janu.
“Temen? Terus kenapa gak ada ayah di fotonya?” Tanya Jae heran.
Janu terkekeh pelan “Gapapa...”
“Ayo ayah ih terusin. Jae diem dulu jangan di potong!”
Jae berdecih, lalu melipat kedua tangannya kesal.
Janu hanya tersenyum kecil melihat interaksi kedua anaknya itu.
“Nah, jadi ayah, bunda sama Bumi dulu temenan. Bumi itu temen baik ayah. Dia banget banget...” ucap Janu sambil menahan sesak yang tiba-tiba menyeruak ke seluruh ruang di dadanya.
“Nah, kenapa disini Bunda di foto sama Bumi, sedangkan ayah enggak? Karena...” janu terdiam sejenak.
“Karena apa ayah?”
“Karena, Bumi itu cinta pertamanya Bunda kalian...” ucap Janu tersenyum tipis.
Tiba-tiba saja semua memori semasa dulu terlintas di benaknya, potongan-potongan manis bahkan pahit tiba-tiba saja melintas secara bergantian.
Sesak, sesak sekali.
“Cinta pertama?” Tanya Jae.
Janu mengangguk “Iya...”
“Kok ayah gak marah? Berarti Bumi rebut Bunda dari ayah, ya?” Tanya Jea polos.
Janu terkekeh, ia lalu mengusap pelan pucuk kepala putri kecilnya itu.
“Enggak sayang...”
“Dulu, sebelum ayah ketemu Bunda, Bumi itu udah lebih dulu jadi cintanya Bunda. Bumi sayang sekali sama Bunda...”
“Waktu ayah sama bunda sama bumi masih sekolah, kita itu teman baik sayang...”
“Kalau kamu ingin tau Bumi itu siapa, ayah ceritain...”
“Jadi Bumi itu kan cinta pertamanya Bunda, dia baik banget, dia sayang sekali sama Bunda, bahkan mungkin sayangnya ayah ke bunda juga kalah sama sayangnya Bumi ke bunda kalian.”
“Bumi itu laki-laki hebat banget, dia kuat, ah pokonya ayah gak bisa jelasin pake kata-kata...” Janu terkekeh pelan.
“Banyak banget yang udah Bumi lakuin buat bikin Bunda bahagia...”
“Terus, kenapa Bunda bisa sama ayah?” Tanya Jea.
“Terus sekarang Buminya kemana ayah? Kok Jea gak pernah liat? Terus kalau ayah sama Bunda, Bumi marah enggak sama ayah? Ayah di tonjok enggak? Soalnya Jea suka liat di film-film kalau cowok suka berantem gara-gara cewek ayah...” ucap Jea polos.
Janu terkekeh, ia lalu menggeleng pelan.
“Enggak kok, ayah sama sekali gak pernah di tonjok sama Bumi. Kan udah ayah bilang Bumi itu orangnya baik”
“Nah, kenapa ayah bisa sama Bunda, itu karena....”
Janu tersenyum tipis “itu karena, dulu, waktu Bumi mau pergi, dia minta ayah buat jagain Bunda...”
“Bumi pergi kemana ayah?” Tanya Jae.
Janu tersenyum, ia lalu menatap langit-langit sejenak.
“Kesana, ke atas sana” ucap Janu.
Kedua anak itu menengadah “Ke langit?” Tanya Jae
Lagi-lagi Janu terkekeh.
“Bumi pergi ke surga sayang...”
“Ohhhh, pergi ke surga kayak Bunda ya ayah?” Ucap Jea.
Janu mengangguk pelan.
“Iya, Bumi pergi ke surga kayak Bunda...”
Demi apapun, jika saja di hadapannya tidak ada kedua anak ini, Janu pasti sudah menangis. Menahan sesak dan kerinduan yang sudah lama terkubur di ruang hatinya.
“Ayah...” Ucap Jea.
“Iya sayang?”
Tiba-tiba saja Jea beranjak dari duduknya, lalu memeluk erat tubuh Janu dan di ikuti oleh Jae yang juga memeluk Janu.
“Loh, loh kenapa ini?”
“Ayah, kangen bunda, ya?” Tanya Jea.
Janu terdiam, lalu tanpa ia sadari air matanya jatuh secara perlahan.
“Ayah... jangan nangis” ucap Jae.
“Ayah, kangen Bunda, ya? Jea juga sama kangen Bunda...”
“Ayah, Jae mau liat Bunda, jae gak pernah ketemu Bunda...” ucap anak itu dan semakin membuat hati Janu sakit.
Ia lalu mengeratkan pelukannya pada kedua anaknya itu, berusaha menahan sesak yang sudah terlalu dalam.
“Besok ketemu Bunda, ya? Mau?”
Jea dan Jae mengangguk sangat antusias. Mereka lalu mengecup pelan pipi Janu.
Janu menghela napasnya.
Benar, ia sangat merindukan sosok perempuan itu, perempuan yang sejak dulu selalu saja berhasil membuatnya jatuh cinta, bahkan setelah berkali-kali ia dipatahkan.
Janu merindukannya, sangat merindukannya.