Kapan?

Biru bergegas menuju butik milik perempuan kesayangannya, ia benae-benar melajukan kendaraannya dengan sangat cepat.

Tak butuh waktu lama, Biru sudah sampai disana. Dari luar, Biru bisa melihat Senjani yang tersenyum pada pelanggan di dalam sana. Biru tersenyum.

Lelaki itu kemudian melangkahkan kakinya ke dalam Butik.

“Hei...” ucap Biru.

Senjani menoleh pada Biru. Namun ada yang aneh dari tatapan Senjani.

Biru mendekat sambil tersenyum. Ia lalu segera mendekap daksa istrinya itu “Maaf...” ucapnya.

Senjani hanya terdiam, rasanya sesak sekali.

“Biru...”

“Lepasin...” ucapnya Pelan.

Biru melepaskan pelukannya, lalu menatap Senjani heran.

“Masih marah, ya?”

Senjani menggeleng pelan.

“Terus kenapa?”

“Kita obrolin di rumah aja, ya?”

“Enggak, ayo disini aja Ja” ucap Biru

“Biru...”

“Ja.” Biru menatap Senja

Senjani menghela napasnya, ia lalu mengeluarkan ponselnya dan memberikannya pada Biru.

Biru meraih ponsel itu, lalu selang beberapa saat lelaki itu diam memaku. Sorot matanya terlihat begitu kaget, ia lalu menatap Senjani.

“Enggak, ini gak bener...” Biru menggeleng.

Senjani hanya terdiam, hatinya begitu sakit.

“Ja, ini gak bener, aku gak ngelakuin itu. Sumpah...” ucap Biru.

“Kapan?” Tanya Senjani.

“Ja, enggak aku gak ngelakuin itu. Sumpah” Ucap Biru.

“Sejak kapan Biru?”

Biru menggeleng dengan kuat, berusaha menyangkal ucapan Senjani.

“Enggak, enggak, kamu salah paham. Aku gak pernah ngelakuin apa-apa. Senja percaya sama aku...”

“Aku tanya sejak kapan Biru, ayo jawab” Mata Senjani memerah, dadanya sesak.

“Eng—“

“KAPAN BIRU?!”

Biru terdiam...

“JAWAB!”

“Waktu aku gak balas pesan kamu semalaman, dan semalam...”

Senjani terdiam, ia lalu menjatuhkan tubuhnya, ia menangis.

Biru terdiam, tiba-tiba saja rasa bersalahnya menyeruak tiba-tiba.

Senjani menatap Biru

“Kamu....”

“Ngelakuin itu dalam keadaan sadar?”

Biru terdiam.

“Jawab Biru...” ucap Senjani lirih.

“Iya...”