Jadi milik saya seutuhnya, ya?”
Jalanan kota sore itu terlihat begitu padat. Banyak sekali orang-orang yang baru saja keluar dari kantornya. Entah itu menaiki kendaraan umum, ataupun menaiki kendaraan pribadinya masing-masing. Termasuk Najendra yang kini tengah mengendarai motornya bersama seorang perempuan.
“Macet banget, Jen” ucap Tisya pada Najendra.
Lelaki itu hanya terkekeh “Iya, soalnya pada pulang kerja”
Tisya hanya berdehem pelan.
Perempuan itu tersenyum samar saat ia tak sengaja melihat wajah Najendra dari spion kecil itu.
Ah, rasanya menyenangkan jika ia sedang bersama lelaki ini.
Entahlah, tapi baginya, menaiki motor sambil menikmati udara sore bersama Najendra itu adalah salah-satu hal yang paling ia sukai selama beberapa tahun ini.
Tisya tahu, selama ini kehadirannya di hidup Najendra hanya sekedar teman, tak lebih.
Tisya tidak tahu, kenapa ia bisa sangat menyukai lelaki ini. Tapi seingatnya, dulu, saat mereka pertama kali melakukan ospek di kampus, Tisya tak sengaja melihat Najendra yang tengah duduk di taman belakang saat sedang beristirahat.
Kalau di ingat lucu juga yah. Selama hampir 7 tahun lamanya, Tisya masih saja enggan memberitahukan perihal perasaannya pada lelaki itu.
Najendra itu terlalu luas untuk bisa Tisya genggam.
Najendra itu terlalu manis untuk bisa Tisya rasa.
Najendra itu terlalu khayal untuk bisa Tisya gapai.
Entahlah, ia hanya merasa jika lelaki ini adalah sosok lelaki yang sampai kapanpun tidak akan pernah bisa ia dapatkan.
“Ayo turun,” ucap Najendra sesaat setelah mereka sampai di depan sebuah resort.
“Kok kesini?” Tanya Tisya.
Najendra hanya tersenyum, ia lalu meraih tangan Tisya dan menuntunnya untuk masuk ke dalam tempat itu.
Tisya hanya terdiam saat ia melihat Najendra yang tengah menautkan jemarinya pada sela-sela tangan perempuan itu.
“Ayo duduk” ucap Najendra.
Tisya hanya mengangguk. Tidak mengerti apa yang sebenarnya akan Najendra lakukan.
Najendra menatap perempuan yang kini tengah menikmati pemandangan di hadapannya itu.
“Indah enggak?” Tanya Najendra yang di balas anggukan oleh Tisya.
“Suka?” Ucap Najendra yang kembali di balas anggukan oleh Tisya.
Najendra tersenyum, ia lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi itu.
“Capek juga ya ....”
“Hah?”
Najendra terkekeh “Capek juga nyimpen perasaan lama-lama” ucap Najendra menoleh pada Tisya.
“Maksudnya?”
“Tisya ....” ucap Najendra.
“Maaf, ya?”
“Maaf buat apa Najen?” Ucap Tisya.
Tangan Najendra lalu beralih mengusap pucuk kepala perempuan itu. “Maaf karena selama ini saya cuma jadiin kamu pelampiasan di saat saya lagi sedih. Maaf karena selama ini saya selalu lari dari sakit hati yang saya rasa dengan melibatkan kamu. Maaf juga karena selama ini saya terlalu menutup mata tentang perasaan kamu kepada saya. Saya jahat, ya?” Ucap Najendra.
Tisya terdiam. Pasalnya ia sedikit kaget saat mendengar Najendra yang tiba-tiba saja menjadi formal seperti ini.
“Najen kamu kenapa?”
Najendra tersenyum, ia lalu meraih kedua tangan Tisya untuk digenggamnya.
“Tisya ....”
“Saya gak akan banyak basa-basi. Tapi, alasan saya bawa kamu kesini karena saya mau bilang sesuatu sama kamu.”
Tisya menatap Najendra “Bilang apa?”
Najendra menghela napasnya, ia lalu menatap netra kecoklatan milik perempuan itu.
Tatapannya terasa sangat teduh.
Najendra tersenyum.
“Tisya ....”
“Iya?”
“Jadi milik saya seutuhnya, ya?”
“Jen .... enggak salah?” Ucap Tisya.
Najendra menggeleng “Enggak ....”
Tisya terdiam.
“Tisya ....”
“Jadi semestanya saya, ya?”