Papa gak marah?

Biru menghela napasnya kala ia memasuki mobil Azri.

“Gih kamu duduk di belakang ya sayang, papa di depan,” ucap Biru lembut pada Jea.

Azri hanya menghela napasnya. Ia merasa dejavu. Sorot mata yang Biru pancarkan pada Gian, sangat mengingatkannya pada sang ayah dahulu.

“Biru,” ucap Azri kala Biru duduk di kursi samping kemudi.

“Apaan?”

“Jangan kayak gitu sama Gian,” ucapnya pelan.

Biru menghela napasnya. “Dia bukan a—“

“Dia darah daging lo.” Ucap Azri sembari langsug melajukan mobilnya.

Dibelakang Biru sera Azri. Gian—anak lelaki yang penuh dengan pancaran kerinduan hanya bisa diam-diam memperhatikan pundak sang Ayah dari belakang.

“Papa ....” gumamnya pelan, sangat pelan. Bahkan nyaris tak terdengar.

Disamping anak itu, ada Jea, yang juga diam-diam memperhatikan Gian.

“Hei, kamu gapapa?” Ucap Jea berbisik yang membuat Gian menoleh.

Yang dipanggil hanya menggeleng pelan.

Entah naluri darimana, tanpa sadar Jea menggerakan jemarinya hanya untuk mengusap punggung tangan anak lelaki ini.

“Papa ....” ucap Jea membuat Biru menoleh.

“Nanti Jea mau main sama Gian, ya?”

Biru menatap Jea, kemudian berganti menatap Gian.

Biru menghela napasnya, kemudian ia mengangguk pelan, “iya boleh.”

Sorot mata Jea berbinar kala mendengar ucapan Biru.

Begitu juga dengan Gian.

“Papa, papa enggak marah sama aku?” Ucap Gian takut.

Entah sadar atau tidak sadar, Biru menggeleng pelan.

“Papa gak marah sama Gian, jangan takut.” Ucap Biru, sangat lembut.

“Gian sayang papa!” Ucap Gian berbinar, yang tanpa diketahui siapapun membuat ngilu ulu hati Biru.

“Iya” ucap Biru tanpa kembali menoleh pada Gian.