pulang
Jemari anak perempuan itu bertaut pada jemari lain yang tidak lebih besar dari miliknya. Ia Jea, seorang anak perempuan dengan tatapan teduh yang dimiliknya. Seorang anak perempuan dengan segala kelembutan yang sudah tertanam dalam dirinya sejak kecil.
“Gian, kamu jangan murung terus,” ucap Jea pada anak laki-laki yang dipanggil Gian itu.
Gian hanya menunduk, “papa enggak mau ngobrol sama Gian,” ucap anak itu pelan.
Jea paham, ia sangat paham.
Pasalnya, sejak mereka sampai di tempat ini, Biru hanya menggandeng dirinya, Biru hanya berbicara padanya, tapi tidak pada Gian.
Jea itu sudah cukup dewasa untuk mengerti situasi, entah naluri darimana, tapi ia tahu. Jika saat ini Gian sedang terluka.
“Papa cuma suka sama kamu aja, papa enggak suka sama Gian,” ucap anak lelaki itu.
“Papa tadi kan bilang mau ketemu nenek dulu, nanti Gian tunggu, ya? Papa pasti bakalan ngomong sama Gian,” ucap Jea meyakinkan.
Sudah hampir setengah jam kedua anak itu menunggu diluar, namun Azri serta Biru belum kunjung keluar dari ruangan yang katanya ada nenek di dalamnya.
“Gian, kamu tau wajah nenek enggak?” Ucap Jea tiba-tiba.
Gian menggeleng, “gak tau .....” ucap Gian.
Jea mengerucutkan bibirnya.
Lama sekali.
“Gian keluar, yuk? Tadi aku liat ada ayunan di depan,” ucap Jea dan langsung dibalas anggukan oleh Gian.
“Ayo!”
_
Kedua anak itu berlarian kesana kemari, tertawa serta bercanda bersama.
Tanpa mereka sadari, sejak tadi ada seseorang yang memandang mereka berdua dari jauh.
Ah, rasanya sudah lama Jea tidak tertawa lepas seperti ini.
“Gian, kejar aku!” Teriak Jea sambil tertawa, begitupun dengan Gian.
“Jea aku tangkap kamu!” Ucap Gian seolah ia ingin menerkam Jea.
Menyenangkan sekali.
Dan lagi, tanpa mereka sadari, ada seseorang yang sejak tadi hanya tersenyum kala melihat tawa kedua anak itu.
“Ayah ....” Tiba-tiba saja panggilan itu menyadarkan lamunannya.
“Itu ....”
“Kakaknya Jae, itu kakak Jea,” ucap anak itu.
Lelaki dewasa itu mensejajarkan tubuhnya.
“Ayo, ketemu kakak,” ucapnya sambil tersenyum.
Anak itu kemudian langsung berlari.
“KAKAK JEA!” Teriaknya membuat Jea serta Gian menoleh.
Jea terdiam sejenak.
“JAE?! ADEK?!” Ucap Jea yang langsung berlari memeluknya.
“KAKAK!” Ucap anak bernama Jae itu.
“Adek!” Ucap Jea memeluk hangat tubuh kecil yang selama hampir setahun ini ia rindukan.
Netra Jea beralih pada seseorang yang berdiri di belakang sang adik.
Itu ....
Ayah ....
“AYAH?!” Teriak Jea yang langsung memeluk erat tubuh itu.
“Iya, ini ayah ....” ucapnya yang sama-sama memeluh erat tubuh sang anak yang selalu ia rindukan kepulangnnya.
“Ayah .....” ucap Jea terisak.
“Jea kangen ayah ....” ucapnya lagi.
Sakit sekali mendengar ucapan Jea.
“Maafin ayah baru datang ya cantik,” ucapnya.
Ia Janu, sosok ayah yang selalu Jea rindukan, soaok ayah yang selalu Jea harapkan kehadirannya. Ayah disini, ia disini memeluk Jea.
“Ayah, Jea mau sama ayah, jea mau sama ayah,” ucap Jea terisak.
Janu tersenyum, hangat.
Jemarinya bergerak mengusap helaian hitam anak perempuannya itu.
“Ayah disini, kita pulang, ya?” Ucap Janu.
Jea mengangguk senang.
Dan lagi, dua insan itu kembali memeluk, kembali menyalurkan kerinduan.
“Jea mau pulang, Jea enggak suka papa Biru,”