kamu hebat

Lalu, dengan langkahnya yang tergesa-gesa, Ralita segera menghampiri Haikal yang tengah terduduk lemah disana.

Ada beberapa orang, termasuk teman-teman Haikal disana.

“Ta,” Ucap Zidan sambil menunjukkan keberadaan Haikal.

Ralita kemudia berlari kecil dan langsung memeluk tubuh lelaki itu.

“Haikal tenang ....” ucap Ralita sambil menepuk pelan pundak Haikal.

Entah sudah menangis berapa lama, wajah Haikal sangat kacau. Bahkan kepalan tangannya terdapat beberapa luka.

Ralita menghela napasnya. Ia meringisi ngeri.

Lelakinya ini terlalu rapuh.

“Ralita ....” lirih Haikal.

“Iya aku disini, Kal,” ucap Ralita mengusap wajah lelaki itu.

“Mama ....”

“Mama udah enggak ada ....” lirihnya yang terdengar sangat menyakitkan.

“Tadi pagi mama masih nelepon, tadi pagi mama masih bawel, tadi pagi mama ....” ucapan Haikal terjeda, ia kembali terisak pelan.

“Mama ....”

“Mama sekarang gak ada,” ucap Haikal.

“Kenapa, Ta?”

“Kenapa harus mama?”

“KENAPA HARUS MAMA YANG DIAMBIL TUHAN?! JAWAB TA!” Teriak Haikal pada Ralita.

Ralita tersentak, namun ia berusaha tetap tenang.

Jemari perempuan itu berusaha menggenggam Haikal, memeluknya, menenangkannya.

“KENAPA HARUS MAMA!” Teriaknya lagi.

“Haikal ....” lirih Ralita yang juga ikut merasakan sakitnya Haikal.

“Ta, gue bahkan belum sempet banggain mama. Gue belum sempet ngasih kebahagiaan buat mama. Ralita ....”

“Gue harus gimana?”

“GUE HARUS GIMANA ANJING!” Teriaknya lagi.

Ralita hanya bisa terdiam sambil mendekap erat tubuh Haikal.

“Gue bahkan belum bilang maaf sama mama, gue belum bilang kalau gue sayang mama, gue belum ngasih kebahagiaan apa-apa buat mama, Ta.”

“Gue ....” lagi, Haikal terisak.

“Gue mau mama, Ta .....” lirihnya lagi.

Demi apapun, sakit sekali melihat Haikal yang seperti ini.

Ralita paham, sangat paham.

Dari awal ia mengenal Haikal, ia sangat paham, jika jauh di dalam diri Haikal yang terlihat dingin dan angkuh. Lelaki ini sebenarnya menyimpan banyak lukanya sendirian.

Sekalipun, Haikal tidak pernah mau membagi lukanya pada Ralita.

Ia hanya memendamnya sendirian.

“Haikal, mama bangga sama kamu. Mama selalu bangga sama kamu ....”

“Mama gak minta lebih, mama cuma mau Haikal sehat.”

“Mama kamu pernah bilang sama aku, kalau kamu itu anugerah Tuhan yang berhasil bikin hidup mama bahagia, Haikal.”

“Kamu hebat Haikal, kamu selalu hebat dimata mama,”

“Tapi nyatanya kehadiran gue bikin mama terbuang.”

“Haikal, ga—“

“Ta ....” Haikal memotong ucapan Ralita.

“Jangan kemana-mana ....”

“Jangan bilang udahan lagi kayak tadi, ya?”

“Gue gak punya siapa-siapa lagi.”

“Haikal maaf,” ucap Ralita.

Haikal mendekap erat tubuh perempuan itu, sangat erat seolah ia tidak ingin kehilangan hangat ini.

“Jangan kemana-mana, gue mohon ....”