Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi?
Perempuan itu perlahan berjalan membuka pintu rumah. Dengan sedikit rasa menyesalnya sebab kejadian tempo lalu, perempuan itu lalu menghela napasnya.
Benar, rumah ini terasa sangat dingin. Tidak ada lagi hangat seperti dulu. Jangankan hangat, yang ada malah sunyi.
Perempuan itu kembali melangkahkan kakinya. “Adek …” ucapnya berusaha memanggil sang adik.
Hening.
“Adek, kakak pul—“
“ADEK DI DAPUR!” Terdengar suara teriakan dari arah dapur, membuat Caca-perempuan tadi segera bergegas untuk ke dapur.
Netra perempuan itu terpaku pada sang adik yang tengah tersenyum sambil mempersiapkan beberapa makanan di meja makan.
“Adek …” lirih Caca.
Jinan tersenyum ketika mendapati sang kakak sudah berdiri di hadapannya.
Entahlah, tapi penampakan yang dilihat oleh Caca saat ini terlihat sangat menyedihkan. Kemudian tanpa aba-aba Caca segera berlari memeluk Jinan dengan sangat erat.
Jinan hanya terdiam ketika merasakan peluk erat dari sang kakak.
“Adek maaf ya maaf …” lirih Caca dalam pelukan itu.
Perlahan, jemari Jinan bergerak untuk menepuk pundak sang kakak. Kemudian dalam pelukan itu Jinan tersenyum. “Kakak udah makan?” Tanya Jinan.
Alih-alih jawaban yang Jinan dengar, ia malah mendengar isakan kecil dari sang kakak yang masih setia memeluknya dengan erat.
Berkali-kali Caca menggumamkan kata maaf pada sang adik, sebab ia rasa dirinya terlalu egois dengan mementingkan kebahagiaannya sendiri.
Selama ini Caca selalu egois sebab dirinya selalu merasa jika ialah yang paling menderita. Padahal sebenarnya Jinan pun kesulitan.
“Kakak gapapa, gak perlu minta maaf.”
Lagi, terdengar suara isakan.
Demi Tuhan, Caca menyesal sekali sebab beberapa hari belakangab dirinya sangat-sangat tidak dewasa dalam menyikapi suatu permasalahan.
“Maaf ya adek kalo secara gak langsung kakak bikin adek sedih, kakak minta maa—“ belum sempat Caca menyelesaikan kalimatnya, Jinan sudah lebih dulu memotong sambil melepas pelukannya dan menatap netra sang kakak.
“Udah kak.”
“Mungkin emang kemarin adek sama kakak lagi sama-sama capek, sama-sama gak mau kalah.”
“Maaf, ya, kak? Kalo secara gak sadar adek juga udah keras kepala.”
Caca menatap Jinan.
Sang adik ternyata sudah dewasa.
Lagi-lagi Caca terisak.
Jinan menghela napasnya. “Jangan nangis, adek gak suka,” ucap Jinan yang kemudian mengusap air mata sang kakak. Lalu dengan perlahan Jinan kembali menarik Caca ke dalam pelukannnya.
“Adek tau, kak. Adek sama kakak kadang keras kepala. Kita sama-sama keras kepala kak, makanya mungkin kemarin mau adek atau kakak, kita gak bisa saling redain.”
Jinan menghela napasnya lagi.
“Kak …” lirih Jinan dalam pelukan itu.
“Kalau bukan kita, siapa lagi yang bakal nyembuhin? Kalau bukan kita, siapa lagi, kak?”
“Adek cuma punya kakak …”
“Jadi kakak, adek minta tolong buat jangan benci sama adek, ya? Maaf kalo selama ini adek belum bisa jadi adek yang baik buat kakak.”
Caca menggeleng, kemudian ia mengeratkan pelukannya. “Enggak adek gak salah. Maaf ya maafin kakak …” ucap Caca.
Dalam pelukan itu, Jinan tersenyum. “Kakak ayo makan bareng lagi, adek kangen …”