Anak Pertama Harus Punya Bahu Yang Kokoh.
Benar kata orang, jadi anak perempuan pertama itu sulit, sangat sulit.
Entah sudah berapa kali Caca menangis secara diam-diam hanya karena ia merasa jika dirinya masih belum mampu untuk menopang segala bebannya.
Iya, menjadi seseorang seperti Caca itu sulit. Apalagi ia mempunyai adik dari dua pihak. Ia harus bisa memposisikan dirinya agar tidak menyakiti satu sama lain.
Saat ini Caca tengah terduduk di tepi ranjangnya sambil berusaha keras manahan sesak yang menyeruak.
Berkali-kali Caca memaki dirinya sendiri sebab ia sangat payah.
Tidak, ia tidak sekuat itu. Ia tidak bisa menjadi kuat seperti apa yang selalu ayah bilang padanya.
”Kakak, jadi anak perempuan pertama itu bahunya harus tetap kokoh, ya? Ayah yakin kakak mampu kok. Kan anak yayah kuat, anak yayah pinter, iya, kan?”
Caca menggeleng berkali-kali ketika memori percakapan dirinya dulu dengan sang ayah terlintas. “Enggak ayah, Caca gak sekuat itu, Caca gak bisa …” lirih Caca sambil menghapus air matanya.
Caca menarik napasnya dalam berusaha menghilangkan rasa sesak dan tangis ketika ia mendengar suara sang adik dari luar pintu kamarnya.
“Kakak, adek pulang, kakak di dalem?” Terdengar suara Jinan sambil mengetuk pintu kamar sang kakak.
“Iya sebentar! Kakak abis dari toilet,” balas Caca bohong.
Butuh waktu hampir satu menit hingga akhirnya Caca membuka pintu itu kemudian Caca tersenyum pada Jinan yang sekarang sudah lebih tinggi dari dirinya.
Jinan menatap Caca, lalu tanpa aba-aba ia menarik tubuh Caca ke dalam pelukannya dengan sangat erat. “Maaf ya kalo adek egois. Adek sayang kakak, adek cuma takut kakak lupain adek, maaf ya kak kalo kadang adek enggak bisa kontrol emosi adek dan malah bikin kakak marah …” lirih Jinan.
Caca terdiam lalu kemudian jemarinya bergerak mengusap pundak sang adik.
“Gak adek, ini bukan salah adek kok. Harusnya kakk yang minta maaf.”
“Maaf ya karena kakak belum bisa jadi kakak yang baik buat kamu. Kakak masih banyak kurangnya,” lirih Caca yang tanpa sadar menjatuhkan air matanya.
“Adek jangan ketemu ayah sama ibu sendirian lagi, ya? Maaf, maafin kakak,” gumam Caca sambil mengeratkan pelukannya.
Sungguh, mereka berdua ini sebenarnya sangat keras kepala. Hanya saja diantara keduanya, Jinan lah yang lebih sering mengalah dan hal itu lagi-lagi membuat Caca merasa payah.
“Mau makan? Ayok, kakak masakin makanan kesukaan adek,” ucap Caca yang kini mengusap pelan wajah sang adik yang terlihat sembab.
Caca terkekeh. “Jangan cemberut gitu, udah gede, udah mau lukus SMA, udah punya pacar,” ucap Caca sedangkan Jinan semakin mengerucutkan bibirnya.
“Iya, tapi adek masih jadi adik kecilnya kakak, kan?” Tanya Jinan.
Caca tersenyum. “Iya, adek masih jadi adik kecilnya kakak,” balas Caca mengusap pucuk kepala Jinan.
Benar, sampai kapanpun Jinan akan selalu menjadi adik kecil Caca.
“Kak …”
“Hmm?”
“Makasih ya karena gak ninggalin adek sendirian meskipun kakak masih punya rumah yang hangat.”
“Makasih karena kakak malah milih buat tinggal sama adek berdua, meskipun kakak punya pilihan buat ninggalin adek.”
“Makasih, ya, kak? Karena selalu jadi kakak yang hebat buat adek dari dulu.”
“Adek sayang kakak, dan adek cuma punya kakak. Jadi jangan kemana-mana, ya, kak?”