Si Hebat.
Rasa-rasanya langit malam ini terlihat sangat kosong. Tidak ada kerlip bintang yang bertebaran di atas sana.
Jinan mengadahkan kepalanya menatap langit malam itu. Pemuda itu kemudian menghela napasnya.
“Lo kenapa jadi keras kepala banget Ji?” Tanyanya pada diri sendiri.
Jujur saja, akhir-akhir ini, Jinan merasa jika ia sangat sulit sekali mengendalikan amarahnya. Bahkan sebelumnya, ia berani melayangkan sebuah pukulan pada orang lain.
Berkali-kali Jinan menepuk kepalanya sendiri sambil sesekali mengumpat merutuki dirinya sendiri.
“Hayo, adek lagi apa? Kok sendiri disini?” Tiba-tiba saja terdengar suara lelaki paruh baya yang ternyata adalah Jerico.
Jinan menoleh ketika mendapati Jerico sudah berdiri di dampingnya sambil menggenggam sebuah gelas berisi kopi hitam.
Jinan hanya tersenyum tipis sambil menggeleng. “Gapapa om, pengen ngerasain angin malam aja,” jawab Jinan membuat Jerico terkekeh.
Jerico menatap wajah Jinan yang terlihat semakin dewasa, lalu tanpa sadar ia tersenyum.
“Adek …”
“Iya, om?”
Jemari Jerico bergerak untuk mengusap puncak kepala pemuda itu. “Jangan pernah ngerasa kalo adek sendirian, ya? Ada om. Jangan ngerasa sungkan, ya?”
Jinan menatap Jerico.
“Om gak tau apa masalahnya sampe bikin kamu sama kakak kamu berantem. Tapi adek … jangan benci sama kakak, ya? Walau mungkin emang ada beberapa hal yang secara gak sadar bikin kamu sakit hati.”
“Om juga dulu sering kok berantem sama ayah kamu, haha. Bahkan mungkin lebih parah?” Ucap Jerico sambil diiringi tawa.
Jinan hanya tersenyum.
Ah, berbicara soal ayah, lagi-lagi ia jadi rindu.
“Om …”
“Hmm?”
“Kalo dipikir, kenapa ya om ayah tega ninggalin adek sama kakak berdua aja?” Tiba-tiba saja Jinan berucap membuat Jerico tersedak.
Jerico menatap Jinan. Terlihat sekali sorot matanya yang menyiratkan banyak kerinduan serta kekecewaan.
“Adek …”
“Enggak kok om, adek enggak benci ayah sama sekali. Tapi kadang adek cuma ngerasa gak adil aja …” lirih Jinan.
“Adek masih butuh sosok ayah sama ibu. Tapi kayaknya dunia gak ngebolehin, makanya mereka ngambil ibu sama ayah di waktu yang gak terpaut begitu lama, ya, om?”
Jerico menghela napasnya lalu tanpa aba-aba Jerico memeluk Jinan.
“Adek hebat, om bangga. Ayah sama ibu juga pasti bangga.”
“Maaf ya adek, kalo selama ini adek ngerasa sendirian. Maaf ya karena ayah kamu harus ninggalin kamu.”
“Maaf, maaf ya karena kamu harus dewasa sebelum waktunya.”
Jerico benar-benar memeluk Jinan sangat erat.
Sungguh, ia menyesal sebab selama ini ia masih cukup kurang dalam memperhatikan Jinan. Padahal dulu, dirinya berjanji pada Haikal untuk menjaga Jinan dengan baik.
Dalam pelukan itu, alih-alih menangis, Jinan malah tersenyum kemudian dengan perlahan ia melepas pelukan Jerico.
“Adek gapapa kok, liat, adek gak nangis, kan?” Ucap Jinan kemudian terkekeh.
Jinan lalu menghela napasnya.
“Makasih ya om, karena udah sayang sama adek sama kakak juga.”
“Om Iko janji sama adek mau, gak?”
Jerico menatap Jinan. “Janji apa?”
“Panjang umur, ya, om?”