Jjaejaepeach

Siapa

“Mas, pulang yu?” Ucap Ariel setelah membaca pesan yang ia terima.

“Loh kok tiba-tiba?”

“Ayo mas pulanggg”

“Kenapa dulu?”

“Mas nanti a—“

“Hai Ariel”

Dirga dan Ariel menoleh. Tubuh Ariel menegang saat melihat sosok pria itu.

“Maaf? Anda siapa ya?”

“Saya? Say—“

Ariel tiba-tiba bangkit “Bukan siapa-siapa mas. Ayo pulang, nanti aku ceritain”

Dirga menatap pria itu “Ada urusan apa sama Ariel?”

“Saya mau ketemu lah”

“Anda siapanya dia?” Ucap lelaki itu pada Dirga

“Saya caloj suaminya kenapa?”

“Calon suami, ben—“

Ariel tiba-tiba saja menarik tangan Dirga untuk pergi dari sana.

“Ariel, saya bakal datengin kamu lagi tunggu!!” Ucap lelaki itu berteriak

𝗘𝗻𝗮𝗺; 𝗦𝗲𝗽𝗲𝗱𝗮, 𝗕𝘂𝗺𝗶 𝗱𝗮𝗻 𝗦𝗲𝗻𝗷𝗮

“Permisiii”

“Assalamualaikum permisi”

Itu suara Senjani yang kini tengah berada di depan pintu rumah Bumi.

“Permi—“

Pintu terbuka menampilkan sosok wanita paruh baya dengan senyum manisnya. “Eh? Cari siapa nak?” Ucapnya ramah

“Pasti nyari Azri ya? Bentar ya tante panggilin”

“Eh bukan tant—“

“Ini loh temenmu kak nyariin. Ayo nak masuk” ucap wanita paruh baya itu

“Ma, dia siapa?” Ucap Azri

“Loh? Bukan temenmu?”

Azri menggeleng

“Loh? Terus ini temen siapa? Kamu nyari siapa nak?”

“Anu tante, saya mau ketemu sam—“

“BUMIII!!!” Tiba-tiba Senjani berteriak saat mendapatkan Bumi sedang berjalan dari arah tangga

“Nyari Bumi?”

Senjani mengangguk senang “iya tante, saya temannya Bumi”

Entahlah, raut wajah wanita paruh baya itu tiba-tiba menjadi aneh.

“Oalah, tante kira nyariin Azri. Biasanya kebanyakan nyariin Azri. Temennya banyak”

Senjadi hanya tersenyum canggung “hee, iya tante maaf tapi saya mau ngajak main Bumi. Boleh ya?”

Bumi melirik ke arah mamanya, lalu tak lama mamanya menangguk “ya sana main”

Senja tersenyum “makasih tante. Ayoo Bumi”

———

“Senjaa jangan ngebut bawa sepedanya!!” Itu Bumi yang berteriak di belakang Senja.

Senja memperlambat pedalnya, lalu tak lama ia berhenti tepat di bawah pohon.

“Kok berenti?” Tanya Bum

Senja tersenyum “capek ih Bumi. Ayo sini duduk”

Bumi turun dari sepedanya lalu, lalu mensejajarkan sepedanya dengan milik senjani.

Bumi mendekat lalu duduk di samping Senjani.

“Nih minum dulu, tadi aku di bekelin Mama minuman ini, mama nyiapin dua. Soalnya aku bilang aku mau pergi sama Bumi”

Bumi tersenyum sambil menerima minuman yang dibawa Senjani “Makasih Senja”

“Bumi”

Bumi menoleh “iya?”

“kok tadi mama kamu kayak gak seneng gitu ya pas tau kalo aku nyariin Bumi bukan siapa itu kakak kamu ya?”

Bumi mengangguk “iya kakak aku”

“Emangnya dari dulu gak ada yang ngajak Bumi main ya? Sampe-sampe mama kamu tadi kayak kaget banget”

Bumi tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan “enggak”

“Udah aku bilang kalo kamu itu temen pertama aku Senja”

“Kakak aku emang banyak temennya, gak kayak aku. Wajar aja soalnya kakak pinter aku enggak, jadi semuanya cuma berpusat ke kakak aku, termasuk mama sama papa”

Entahlah rasanya sakit sekali mendengar ucapan Bumi. Senjadi bahkan bisa merasakan perihal apa yang Bumi rasakan, lelaki ini kesepian sangat.

“Hmm. Kalo gitu mulai sekarang Bumi jangan sedih ya? Soalnya mulai sekarang sampai nanti kita udah dewasa Bumi punya Senja yang bakal nemenin Bumi. Jadi Bumi gak boleh sedih ya? Kalaupun Bumi sedih, Bumi gak boleh sedih sendirian. Harus ada Senja yang nemenin bumi kalo Bumi lagi sedih.”

Bumi menoleh pada Senjani.

Ah, ternyata semesta masih peduli ya padanya? Bumi senang karena bisa bertemu dengan Senjani, walau mereka memang belum lama kenal, tapi Bumi rasa semua yang dikatakan Senjani itu tulus.

Akhir-akhir ini semesta baik, ia berhasil membuat lengkung indah di bibir Bumi. Iya, Bumi tersenyum, senyum bahagia.

“Senja, makasih ya udah mau jadi temen Bumi. Semoga Senja tetep mau jadi temen Bumi sampe nanti”

“Iyaa Bumi, jangan sedih lagi ya?

𝗟𝗶𝗺𝗮; 𝗛𝗮𝗹𝘁𝗲 𝗱𝗮𝗻 𝗦𝗲𝗻𝗷𝗮

Senja tersenyum saat melihat sosok anak lelaki yang ia tunggu sedari tadi. Perempuan itu tersenyum sambil melambaikan tangannya

“Bumiiii!!!”

Bumi tersenyum melihat perempuan itu. Ia mempercepat langkah kakinya.

“Bumi ih aku kira kamu gak dateng” ucap Senja begitu Bumi menghampirinya

“Aku dateng lah, kan aku berangkat naik bus”

“Kamu kesini sama siapa? Memangnya rumah kamu deket ya sama halte?”

Senja menggeleng “Tadi di anterin dulu sama kakak aku hehe”

Bumi hanya menganggukkan kepalanya.

“Bumi ini busnya dateng suka jam berapa?”

Bumi melirik jam di tangannya “dua puluh menit lagi”

“Huh masih lama” ucap Senja sambil menggerakan kedua kakinya.

Bumi terkekeh pelan “Kamu baru pertama kali ya naik bus”

Senja menoleh lalu tersenyum menunjukkan deretan giginya yang rapih “hehe iyaaa”

“Kenapa mau naik bus?” Tanya Bumi

“Gak tau, aku mau nyoba aja naik bus kayak Bumi”

Bumi hanya tersenyum sambil sesekali mengarahkan pandangannya ke jalanan.

“Bumi, nanti aku boleh main ke kelas kamu gak? Atau nanti makan bekal bareng”

Bumi menoleh “kamu bawa bekal?”

Senjani mengangguk sambil tersenyum “iyaa!! Soalnya mama suka buatin buat aku sama kakak. Mama suka bikin nasi goreng sama telur mata sapi, enak banget tauu” ucap Senja dengan raut wajah yang senang

“Bumi suka dimasakin bekal apa sama mama Bumi?”

Bumi terdiam sejenak, lalu tersenyum sambil menggeleng pelan “Aku gak pernah dibuatin bekal sama mama”

Senyuman di wajah Senjani seketika padam saat mendengar ucapan lelaki di sampingnya itu “B-beneran? Kenapa ?”

Bumi tersenyum dari dulu Aku gak pernah dibuatin bekal sama mama.Mama selalu masak buat kakak, soalnya kakak pinter, rajin jadi mama sayang banget sama kakak” ucap Bumi tersenyum

“Bumi...”

“Maaf ya gara-gara Senja ngomongin bejal, Bumi jadi sedih maafin Senja” ucap Senja dengan suara bergetar

“Gapapa kok”

“Bumi, besok aku bawain bekal dua ya buat Bumi? Besok aku minta ke mama biar masakin bekal buat Bumi. Pokoknya Bumi harus mau!!!”

Bumi terkekeh mendengar ucapan Senjani “gaperlu Senja, Bumi gak mau ngerepotin mama kamu. Gapapa kok”

“Pokoknya kalo bumi nolak, aku marah!!” Ucap Senja sambil menyilangkan kedua tangannya

“Haha kamu lucu, kayak anak kecil”

“Ihhh Bumi!!! Kamu juga masih anak kecil huh! Masih kelas 2 SMP”

Seketika Bumi tertawa mendengar penuturan Senjani. Entahlah rasanya sangat lucu saat perempuan itu berbicara.

Ah, rasanya sudah lama Bumi tidak tertawa seperti ini.

“Eh, tuh busnya udah dateng. Yu naik”

𝗘𝗺𝗽𝗮𝘁; 𝗦𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗞𝗲𝗻𝗮𝗹

𝘽𝙪𝙢𝙞 𝙋𝙊𝙑

Aku menatap heran perempuan yang kini duduk di sebelahku. Dia ini siapa?

Aku mengalihkan lagi pandanganku untuk menikmati langit sore itu, tanpa memperdulikan perempuan ini.

Aku kira ia akan pergi, tapi ternyata salah. Perempuan itu bergumam padaku “langitnya indah ya?”

Aku hanya menoleh sambil mengangguk.

“Sendirian?” Ucapnya lagi padaku dan aku hanya mengangguk tanpa bersuara.

Tiba-tiba saja perempuan itu mengulurkan tangannya padaku “kenalin namaku Senjani” ucapnya sambil tersenyum padaku

Dengan ragu aku menjabat uluran tangannya “Bumi”

Lagi-lagi ia tersenyum “Nama kamu unik” ucapnya lagi, membuatku menoleh “iya”

“Kamu kenapa? Kok sedih, kamu gapapa kan?”

Deg.

Tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang. Apa perempuan ini baru saja bertanya keadaanku? Ia bertanya keadaanku?

Demi apapun, selama ini tidak ada yang pernah menanyai keadaanku, apakah aku baik-baik saja atau tidak bahkan mama, papa, dan kak Azri pun tidak pernah menanyai keadaanku.

Aku menoleh padanya dengan tatapan kaget sekaligus terharu

“Kamu nanyain keadaan aku?” Ucapku padanya

Perempuan itu hanya menatapku heran.

Aku hanya tersenyum lalu memalingkan pandanganku. “Selama ini, baru kamu aja yang nanyain keadaan aku hehe” ucapku lirih

Perempuan itu masih saja menatapku dengan tatapan yang sulit di artikan.

“Maksudnya?”

“Kamu tadi nanyain aku gapapa atau enggak kan? Dan aku baru denger ada orang yang peduli sama keadaan aku”

“Bumi...”

Aku tersenyum “makasih, Senjani?”

Perempuan itu mengangguk lucu “iya namaku Senjani”

“Kamu baik-baik aja kan? Maaf ya aku tiba-tiba kesini soalnya dari jauh aku liat kamu kayaknya lagi sedih banget. Aku gak suka liat orang lain sedih, walaupun aku gak kenal mereka.”

Aku terkekeh “Iya lagi sedih sedikit”

Tiba-tiba saja perempuan itu menyubitku “ihh, jangan sedih, aku gak suka liatnya. Kamu harus senyum kayak gini nih” ucapnya sambil menunjukan senyum miliknya padaku membuatku terkekeh.

“Padahal aku gak kenal kamu, tapi makasih banyak ya” ucapku

Perempuan itu mengangguk pelan “Bumi jalan-jalan aja yu kesana? Terus abis itu pulang, soalnya aku takut di marahin mama”

Entahlah cara perempuan ini berbicara sangat lucu, membuatku tersenyum, bahkan aku lupa alasan aku sedih karena apa.

Kenapa ya? Orang yang bahkan gak kita kenal selalu lebih peduli daripada orang yang kita harapkan untuk peduli?

Tapi aku senang, setidaknya saat ini sedihku hilang karena perempuan ini. Terimakasih Senjani, salam kenal.

𝗧𝗶𝗴𝗮; 𝗦𝗲𝗻𝗷𝗮𝗻𝗶

𝙎𝙚𝙣𝙟𝙖𝙣𝙞 𝙋𝙊𝙑

Aku sedang berjalan menyusuri pantai sore itu, entahlah rasanya menyenangkan.

Dari sini aku ngeliat ada seorang laki-laki sedang terduduk dengan raut wajah sendu. Entah keberanian dari mana aku menghampiri lelaki itu dan duduk di sebelahnya.

Dia kaget saat aku tiba-tiba saja duduk di sampingnya. Aku terkekeh pelan “maaf, kaget ya?” Ucapku

Lelaki itu hanya menatapku dengan tatapan aneh. Lalu ia mengalihkan lagi pandangannya menikmati langit sore itu.

Rasanya aneh, saat aku melihat lelaki itu, dia kenapa?

Dengan berani aku membuka pembicaraan di antara kita berdua. Masa bodoh dengan rasa malu.

“Indah ya langitnya?”

Lelaki itu hanya menoleh padaku lalu mengangguk pelan

“Sendirian?”

Lagi-lagi ia hanya mengangguk tanpa suara.

Aku mengulurkan tanganku padanya “kenalin namaku Senjani”

Ia hanya menatap uluran tanganku, lalu tak lama ia menjabatnya “Bumi” ucapnya singkat.

Ah, namanya Bumi? Unik ya? Lalu aku tersenyum

“Nama kamu Unik”

“Iya”

“Kamu kenapa? Kok sedih, gapapa kan?”

Coba Lagi

“Mas beneran gapapa?” Ucap Ariel yang kini tengah berada di rumah Dirga.

Dirga tersenyum “gak papa”

“Maafin papa ya mas?” Ucap Ariel

Dirga mengangguk pelan “Gapapa, mungkin papa kamu perlu waktu. Kita coba lagi nanti ya?”

Ariel mengangguk pelan

Dirga tersenyum sambil mengulurkan tangannya untuk mengusap lembut pucuk kepala Ariel “Makasih ya”

𝗗𝘂𝗮; 𝗦𝗲𝗽𝗶

𝘽𝙪𝙢𝙞 𝙋𝙊𝙑

Lagi-lagi, Aku menghela napas. Sesak.

Kenapa tiap kali aku minta sesuatu mereka selalu saja membandingkan aku dengan kakak? Aku nakal banget ya? Sampai mama sama papa ngomelin aku terus.

Aku cuma minta hal kecil padahal hehe.

Kadang aku suka nangis sendirian di kamar tiap kali mama atau papa marah. Dari kecil aku emang suka dimarahin sama mama atau papa, gak tahu kenapa. Kata mereka aku nakal, aku gak kayak kakak, aku gak pinter kayak kakak, aku ngecewain mereka terus gara-gara aku gak kayak kakak.

Kata orang rumah itu tempat paling nyaman buat ngeluapin semua beban ya? Tapi aku gak bisa ngerasain itu hehe soalnya mama papa gak suka sama aku, mama papa sukanya sama kak Azri aja. Kata orang juga, rumah itu tempat paling hangat, tapi menurutku enggak disini sepi, disini dingin, gak ada pelukan, gak ada usapan, disini aku ngerasa asing banget. Padahal aku juga bagian dari keluarga mereka kan?

Sedih banget ya jadi aku? Padahal aku cuma mau diperhatiin kayak kak Azri sama mama papa, tapi rasanya susah banget.

Tapi enggak apa-apa, aku tetap sayang kok sama mama papa sama kak Azri juga, gapapa kalau mama papa marah terus sama aku.

Doain aku ya? Biar aku bisa kayak kakak, biar aku bisa banggain mama papa, biar mereka bisa bilang ‘mama papa bangga sama Bumi’ hehe

𝗦𝗮𝘁𝘂; 𝗖𝗲𝗺𝗯𝘂𝗿𝘂

Bumi terdiam sejenak setelah membaca pesan dari keluarganya. Anak lelaki itu tersenyum kecut, sambil berjalan menyusuri trotoar sore itu.

Apasih yang diharapkan oleh Bumi dari keluarganya? Kasih sayang? Perhatian? Apresiasi? Rasanya tidak mungkin untuk seseorang seperti Bumi.

Sakit? Tentu saja, apalagi Bumi hanya seorang anak kelas 2 SMP, anak ini selalu saja merasa terasingkan.

Bumi membuang napas pelan sambil terduduk di halte “Mama, papa, Bumi juga mau dibanggain sama kalian kayak kakak..” Bumi bergumam sambil berusaha keras menahan air matanya.

Bumi marah, Bumi kecewa, Bumi cemburu pada segalanya. Iya, jauh dilubuk hatinya ia cemburu, karena hampir seluruh semesta hanya berpusat pada saudaranya, termasuk kedua orang tuanya. Sedangkan Bumi? Entahlah, mungkin tidak pernah ada yang menganggapnya.

Papa Gapapa

“Pah, inu abang boleh masuk ya?” Itu Suara Arjeno yang kini tengah mengetuk pintu kamar Dirga bersama dengan adiknya Najendra

“Papa, ini Kakak bawa makanan loh, buka pah” Ucap Najendra

Lalu tak lama pintu terbuka, menampilkan sosok Dirga yang kini berdiri sambil tersenyum, dengan mata yang sedikit sembab

Arjeno menatao heran Dirga. “Papa kenapa?”

Dirga menggeleng “Gapapa. Kalian kenapa kesini tumben?”

“Justru kita yang mau nanya papa. Papa tuh kenapa banting pintu kenceng banget, untung kakak sama abang gak jantungan” ucap Najendra

Dirga terkekeh pelan “maaf gak sengaja”

Arjeno dan Najendra mengangkat sebelah alisnya, lalu menarik Dirga agar duduk di kursi.

“Eh apa ini”

“Bilang, papa kenapa? Abang tau papa lagi ada masalah. Soalnya gak biasanya papa gini”

Ah memang benar kata mereka, jika Dirga tidak baik-baik saja.

Dirga hanya tersenyum “Papa gapapa beneran deh”

Najendra mendekat ke arah Dirga lalu menatap lekat mata Dirga “PAPA BOHONG” ucapnya membuat Dirga terlonjak kaget.

“Astaga kakak kaget papa”

“Makanya cerita ayaok abang Sama kakak dengerin”

“Pah, kalo ada masalah tuh jangaN di pendem sendirian. Apa gunanya abang sama kakak disini kalo gak bisa denger masalah papanya sendiri? Meskipun mungkin abang sama kakak gak bisa bantu banyak, seenggaknya kita tahu masalah papa apa. Cerita ya pah?”

Dirga tersenyum, lalu mengacak pucuk kepala putra sulungnya itu “Beneran mau tahu? Kalian gak akan kecewa?”

Arjeno dan Najendra menggeleng.

“Tunggu waktunya papa buat cerita ya? Nanti kalau papa udah siap papa pasti cerita ke kalian berdua kok. Papa cuma gamau kalian khawatir, ini bukan masalah besar”

“Pah..”

“Papa gapapa beneran. Udah ya? Kalian kekamar gih, papa beneran gapapa. Papa cuma capek aja”

“Beneran?”

“Iya abang”

“Yaudah, awas ya papa kalo gak cerita!” Ucap Najendra.

Dirga menghela napas setelah anak-anaknya beranjak ke kamar masing-masing. “Maafin papa” gumamnya

Dirga

Dirga berusaha mengatur napasnya agar kekhawatirannya segera mereda. Lelaki itu merapikan lengan kemeja yang ia pakai sebelum turun. Lalu menoleh ke arah samping.

“Yuk turun” ucap Dirga pada Ariel yang juga kini tengah berusaha meredakan kekhawatirannya.

“Beneran mas?” Tanya Ariel

Dirga mengangguk, lalu menggenggam tangan Ariel. “Kita coba ya? Jangan khawatir”

Ariel menghela napas, lalu mengagguk mengikuti permintaan Dirga.

“Assalamualaikum” salam Ariel

Terdengar suara seorang wanita parug baya dari dalam sana “Waalaikumsalam”

“Eh ini anak bunda tumben kesini sama siap—“

“Sore tante...” ucap Dirga saat wanita paruh baya itu menoleh ke arahnya.

“Eh, ini siapa neng?”

“Kenalin tante, saya Dirga”

“Temennya Ariel ya? Eleuh, ayo masuk-masuk”

Dirga tersenyum lalu mengangguk dan masuk ke rumah itu.

“Bun, papa ada?” Ucap Ariel begitu mereka duduk

“Ada di atas, sebentar bunda panggil”

Dirga menggenggam tangan Ariel yang terlihat cemas. “Jangan takut” bisik Dirga

Tak lama suara seorang pria paruh baya terdengar. “Loh neng? Sama siapa?”

Dirga berdiri untuj memberi salam pada ayah dari perempuan di sampingnya itu “Sore om, perkenalkan saya Dirga”

“Ya, ada apa ini? Tumben neng Ariel bawa laki-laki ke rumah? Kamu siapanya anak saya?”

Jujur saja, jantung Dirga berdetak sangat kencang, bahkan kini hawa di ruangan terasa sangat panas.

“Maaf om sebelumnya, saya datang kesini ingin meminta izin untuk meminang putri om yaitu Ariel”

Pria paruh baya itu menatap Dirga lekat. “Punya apa kamu sampai-sampai berani meminang putri saya?”

“Pah, dia atasan neng di kantor” sahut Ariel pelan.

“Hanya atasan? Apa alasan kamu sampai berniat seperti itu?”

“Karena saya menyayangi putri om, saya tulus, bahkan saya sudah menyukai putri om sejak lama”

“Oke, terus?”

Dirga diam sebentar.

“Kenapa diam? Apa kamu cuma main-maik dengan anak saya?”

“Saya menyayangi putri om, karena saya suka saat Ariel memperlakukan kedua anak saya dengan baik, saya suka saat Ariel berbicara, saya suka saat Ariel tersenyum, saya suka semua yang ada di diri Ariel. Saya serius, oleh karena itu saya berani memimta izin untuk meminang putri om”

“J-jadi, kamu punya anak?” Sahut wanita paruh baya yang duduk di samping ayah Ariel.

Dirga mengangguk ragu “i-iya tante”

“Kamu punya anak tapi berani dekatin anak saya? Gak, saya gak setuju”

“Saya gak mau anak saya nikah sama lelaki yang pernah gagal dalam beruma tangga, saya gak mau anak saya mengalami itu lagi.”

“Pah..” ucap Ariel lirih

“Tapi mas Dirga tulus sama aku pah, dia sayang sama aku”

“Om, saya janji gak akan biarin anak om merasakan kegagalan dama berumah tangga, saya akan belajar dari masa lalu om”

“Saya bilang enggak ya enggak. Sekeras apapun kamu berusaha, saya tetap tidak akan setuju, saya gak sudi restuin anak saya nikah sama lelaki duda kayak kamu. Gak pantes! Gimana ngurusin anak saya kalau kamu sendiri pernah gagal. Saya gak mau anak saya di suruh-suruh jaga anak kamu nanti!”

“Sekarang pergi!

“PAH!!” Ucap Ariel meninggi

Dirga tersenyum kecut

“Maaf jika memang status saya sebagai lelaki yang pernah gagal berumah tangga membuat om merasa jijik, tapi itu juga bukan kemauan saya, dan saya juga suka berusaha keras agar itu semua tidak terjadi. Saya tulus sayang sama anak om, say—“

“PERGI!! Saya gak akan pernah setuju gak akan. Sekarang lebih baik kamu pergi sebelum saya semakin marah. Ariel gak pantes dapetin kamu!”

Lagi-lagi Dirga tersenyun kecut, lalu mengehal napas panjang.

“Baik kalau begitu terimakasih banyak om atas waktunya maaf menanggu, saya pamit. Assal—“

“Mas aku ikut pulang”

“Gak, diem kamu disini!” Ucap Ayah Ariel.

Dirga tersenyum ke arah Ariel mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja.

Ini sakit, sangat sakit. Apa kegagalan yang pernah terjadi di masa lalu membuat orang lain merasa jijik dan memandang rendah status Dirga?

Dirga kalut, Dirga kacau, ia bahkan tidak pernah mengira akan sesakit ini. Dirga hanya bisa tersenyum seolah ia baik-baik saja, padahal tidak, ia tidak baik-baik saja sekarang.