Andara
Sore itu Galen dan juga putri semata wayangnya datang kembali ke tempat itu, tempat dimana orang yang mereka cintai tertidur untuk selama-lamanya.
Dua orang itu terduduk di samping tempat itu, sambil sesekali membersihkannya dari daun-daun kering yang berserakan disana.
“Bunda” ucap Alena tersenyum sambil mengusap batu nisan bertuliskan nama bundanya itu.
“Alen sama ayah dateng lagi, bunda seneng enggak?” Lanjutnya sambil terus mengusap batu itu.
“Bunda, ayah bawa bunga kesukaan bunda, bunda pasti suka kan?” Alena tersenyum lalu meletakan bungan yang sebelumnya dibawa oleh Galen sang Ayah.
Galen tersenyum mendengar ucapan putrinya itu, lalu matanya beralih menatap batu nisan sambil tersenyum tipis. Lelaki itu menghela napasnya dalam.
“Apa kabar?” Ucapnya sambil tersenyum
“Maaf ya mas sama Alena jarang banget jengukin kamu, sedih enggak? Maafin mas sama Alena ya sayang”
Galen menghela napas “Andara, mungkin ini bukan pertama kalinya aku bicara kayak gini, tapi aku bener-bener kangen kamu, setiap malam bahkan setiap hari bayang-bayang kamu masih terus ada di samping mas” ucap Galen dengan suara sedikit bergetar
“Ah..., maaf kalau mas terlihat cengeng” ia terkekeh pelan sambil mengusap air matanya.
“Enggak bunda, ayah gak cengeng kok, ayah kuat bun, dia hebat, bunda juga pasti liat kan darisana? Gimana kuatnya ayah ngurus dan besarin Alena sendirian” ucap Alena tersneyum sambil mengusap tangan Ayahnya itu.
Alena memperhatikan ayahnya yang sedang tertunduk “ayah..., ayah perlu waktu berdua sama bunda ya? Kalau gitu Alena kesana dulu ya? Ayah luapin aja semua yang mau ayah sampaikan ke bunda, nanti kalau udah panggil Alena ya? Alena di depan sana” ucap Alena, lalu perempuan itu beranjak pergi meninggalkan Galen disana.
Lelaki itu menghela napas dalam. Memang benar, ia perlu waktu untuk mengatakan banyak hal kepada mendiang istrinya itu, karena baginya, tidak ada tempat selain Andara yang bisa menenangkannya.
“Andara..., huhh” ucapnya menghela napas lalu terkekeh sambil mengusap air matanya.
“Banyak hal yang perlu aku sampaikan, bahkan untuk setia hal kecil yang aku lalui setiap hari, rasanya aku perlu nyampein ini ke kamu tapi kayaknya terlalu banyak ya?”
“Andara, maaf, maaf, maaf, maafin aku” Galen tertunduk.
“Maaf kalau dihadapanmu aku lemah, dan memang kenyataannya Aku lemah, aku gak sekuat itu dar buat nyimpen semuanya sendirian, aku butuh kamu. Kalau aja bukan karena Alena, mungkin hidup aku udah kayak mayat hidup kali ya? Gak punya tujuan”
“Dar, Selamat hari jadi pernikahan ya? Gak kerasa ya kita udah sejauh ini. Meskipun tanpa kamu, tapi itu gak ngerubah apapun dar, kamu akan selalu jadi kamu, orang yang aku cintai, bahkan sekalipun kamu udah gak ada aku bakal tetep disini dar” ucap Galen mengusap batu nisan itu.
“Gapapa kok aku bicara sendiri kayak gini, gapapa kalau memang aku terlihat menyedihkan, selagi itu untuk kamu bakal aku lakuin”
“Oh iya, Alena udah besar banget, dia udah sering di antar jemput cowok sekarang haha, aku bahkan ngebayangin kalau disini ada kamu kayaknya kamu bakal heboh banget, apalagi liat putri kecil kita udah dewasa haha, dia cantik dar mirip banget sama kamu, dia penyayang percis kayak kamu. Aku janji dar, akan ngerawat Alena sampe nanti aku liat dia nikah, aku janji aku akan terus disamping Alena, dan aku yakin kamu pun akan beradi samping aku dan Alena walaupun dunia kita udah beda”
“Andara, mas mau minta maaf sekali lagi, maafin mas ya kalau mas nyakitin kamu, maafin mas kalo mas belum bisa jaga Alena dengan baik. Aku sayang kamu, begitupun Alena dia juga sayang kamu.”
Galen menghela napas “Aku pergi dulu ya? Terimakasih udah dengerin curhatan aku, kamu emang pendengar paling baik hehe. Aku pulang ya? Dahh”
Sebelum beranjak pergi Galen mencium batu nisan itu dengan lembut, seperti sebuah ciuman yang menandakan kerinduan, kerinduan pada seseorang yang telah lama pergi.
Sampai jumpa Andara.